Jumat, 28 April 2017

Gus Ipul: Belajar dari Spirit Perubahan RA Kartini



Belajar dari Spirit Perubahan RA Kartini
Oleh: Saifullah Yusuf

JUMAT (21/4) saya dan beberapa akademisi, wartawan, dan pimpinan OPD Provinsi Jatim bersama-sama melihat film Kartini karya Hanung Bramantyo. Film tersebut layak ditonton semua kalangan, semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Berikut catatan saya setelah melihat film tersebut:

Hari kelahiran seorang perempuan yang menginspirasi perubahan bagi bangsa Indonesia. Dia adalah Raden Ajeng Kartini, putri seorang bupati Jepara yang lahir pada 1879, jauh hari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Seorang perempuan terpelajar yang hidup di dalam tradisi kebangsawanan zaman itu.

Kelahiran Kartini sangat penting karena dia dianggap sebagai tokoh emansipasi di tengah tradisi yang menempatkan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum pria. Ia dianggap sebagai tokoh yang dengan gigih memperjuangkan perlunya pendidikan bagi kaum miskin. Perempuan yang dengan berani memperjuangkan kesetaraan perempuan di tengah tradisi yang sama sekali tidak mendukungnya. Tokoh yang menjadikan perempuan lebih bermakna di saat perempuan hanya dilihat sebagai konco wingking alias seseorang yang harus di belakang.

Tapi, apakah seluruh perjalanan hidup Kartini sekadar memperjuangkan emansipasi perempuan? Menurut saya tidak. Kartini adalah lebih sebagai tokoh perubahan. Perubahan dari pola berpikir tentang tradisi, tentang pandangan hidup, tentang keluarga, dan tentang kehidupan yang lebih luas. Ia adalah sosok perempuan yang mendorong perubahan dalam keluarganya, kaumnya, dan masyarakat pada umumnya.

Memanfaatkan Akses Kebangsawanan

Pada abad ke-19, saat Kartini hidup, perempuan tidak boleh memperoleh pendidikan tinggi. Bahkan untuk kaum bangsawan sekali pun. Perempuan Jawa, di mana Kartini tumbuh, perempuan hanya diharapkan menjadi raden ayu dan menikah dengan pria ningrat untuk menghasilkan keturunan ningrat pula. Dia menjadi saksi bagaimana ibunya sendiri, Ngasirah, menjadi orang terbuang di rumah sendiri dan bahkan dianggap sebagai pembantu karena tidak menjadi darah ningrat.

Kenyataan yang dihadapi sehari-hari itulah yang membuat dia berontak. Ia tak mau menyerah dengan tradisi yang membelenggunya. Kartini pun memperkuat diri dengan membaca buku. Kebetulan, sebagai anak bupati, ia berhak memperoleh pendidikan dasar dan bisa berbahasa Belanda. Kemampuannya itulah yang kemudian memperluas wawasan sekaligus mampu membangun komunikasi dengan guru-guru Belanda.

Kartini tidak hanya berjuang mendobrak tradisi untuk kepentingan diri sendiri. Ia juga memperjuangkan perlunya pendidikan bagi kaum perempuan dan orang miskin. Karena itu, ia bersama dua adiknya mendirikan sekolah yang mengajari mereka huruf Latin. Huruf yang diajarkan kaum Barat. Huruf yang hanya dimengerti kaum bangsawan.

Selain itu, ia memanfaatkan akses kebangsawananya yang bisa berkomunikasi dengan bangsa Belanda untuk meningkatkan harkat hidup warganya. Yang tidak banyak diketahui orang selama ini, Kartini melatih para perajin ukiran untuk membuat produk yang sesuai dengan pasar. Ia bikinkan gambar desain sesuai kesukaan pasar dan menjualkannya ke pasar global. Langkahnya itulah yang mengangkat ekonomi warga Jepara yang hidup dari kerajinan tersebut.

Karena itu, bagi saya, Kartini bukan hanya seorang pahlawan bagi kaum perempuan. Ia adalah tokoh perubahan yang memikirkan kemajuan bagi kaum dan bangsanya. Dan semua perjuangan yang dilakukan saat itu adalah sesuatu yang melompat jauh ke depan. Sesuatu yang ternyata tetap menjadi persoalan umat manusia hingga sekarang.

Spirit perubahan yang diperjuangkan Kartini itulah yang seharusnya kita pegang terus hingga sekarang. Hanya dengan berpegang teguh pada spirit perubahan, kita akan bisa menjadi masyarakat yang maju. Hanya keberanian untuk berubahlah yang akan mendorong kita pada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.

Peran Seorang Ayah

Yang juga selama ini kurang diketahui kita semua, segala perjuangan dan kemajuan Kartini sebagai perempuan bisa terwujud karena peran ayahnya, Raden Mas Ario Sosroningrat. Karena rasa sayangnya kepada Kartini, ia memberikan ruang lebih luas kepada anaknya untuk belajar. Memberikan ruang gerak untuk berbuat lebih banyak, meski dalam batas-batas tertentu ia tidak bisa mengelak dengan tradisi yang berkembang saat itu.

Hal tersebut meyakinkan kepada saya bahwa keluargalah yang menjadi inti dari segala perubahan. Keluarga harus kita jadikan simpul dari segala tujuan pembangunan. Keluarga harus menjadi basis bagi pembangunan peradaban bangsa ini. Keluarga harus menjadi tempat anak-anak kita berkembang menjadi generasi yang punya mimpi, cita-cita, dan tujuan hidup yang lebih baik di masa depan.

Jika kemarin saya mengajak para pria, para suami, dan para kepala keluarga untuk menonton film Kartini bukan tanpa tujuan, saya ingin kawan-kawan dan bapak-bapak ini bisa mengambil pelajaran bagaimana ayah Raden Ajeng Kartini memberikan ruang kepada anaknya untuk menjadi orang berpendidikan, punya semangat perubahan, dan perhatian pada persoalan di lingkungannya.

Mengapa demikian? Bagi saya, perjuangan emansipasi Kartini kini sudah menjadi kenyataan. Kesetaraan antara perempuan dan pria sudah bisa dinikmati bersama. Akses perempuan terhadap pendidikan, dunia kerja, ekonomi, dan politik sudah sama. Dalam hal prestasi juga sudah tidak kalah oleh kaum pria. Perempuan berprestasi telah tersebar di berbagai sektor kehidupan.

Namun, yang masih sering kita dengar dan saksikan adalah masih banyaknya kekerasan dalam rumah tangga. Masih tingginya angka perceraian yang diakibatkan kegagalan dalam membangun kebersamaan dalam rumah tangga. Kegagalan banyak orang dalam membangun keluarga yang bahagia. Dalam hal inilah, kaum pria menjadi sangat penting untuk belajar dari spirit perjuangan Kartini.

Kita semua harus mulai melihat kaum perempuan bukan hanya dalam kacamata emansipatoris. Tapi, juga melihat perempuan sebagai bagian penting dari upaya membentuk keluarga bahagia dan sejahtera untuk menciptakan generasi baru yang lebih baik. Keluarga yang mampu menginternalisasi nilai-nilai kamajuan bagi anak-anak kita. Keluarga yang memberikan ruang kepada anak kita agar lebih maju dari diri kita sekarang.

Belajar Perubahan

Pada akhirnya, marilah kita jadikan Hari Kartini ini sebagai upaya kita belajar tentang spirit perubahan. Perubahan tidak hanya untuk kaum perempuan. Tapi, juga untuk keluarga kita, untuk masyarakat kita, dan bangsa kita. Perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Perubahan yang berbasis pada nilai-nilai tradisi yang baik dan menempatkan keluarga sabagai unit terkecil dalam komunitas kita.

Perjuangan emansipasi Kartini rasanya sudah cukup kita nikmati saat ini. Kini saatnya kita (kaum perempuan dan kaum pria) bergandengan tangan untuk membangun keluarga yang baik dalam menciptakan generasi unggul. Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan akses pendidikan, mengurangi angka kemiskinan, dan membantu keluarga kurang mampu dalam menggapai kehidupan yang lebih sejahtera. []

JAWA POS, 25 April 2017
Saifullah Yusuf | Wakil gubernur Jawa Timur, ketua PB NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar