Jurus Debat Kiai
Wahab Chasbullah
Dalam sejarah
Nahdlatul Ulama, Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971) merupakan tokoh debat dan
diplomat yang piawai memainkan jurus politiknya. Kiai Wahab merupakan rujukan,
bagaimana memainkan jurus politik dalam banyak laga, dengan memperhitungkan
langkah taktis lawan sembari menyusun strategi. Langkah-langkah strategis Kiai
Wahab dalam sejarah panjang perjuangan pesantren dan pendirian Nahdlatul Ulama,
merupakan sejarah abadi bagaimana santri-kiai mengaktualisasi fiqh as-siyasah
(fikih politik).
Kiai Wahab setidaknya
menjadi maestro debat dalam tradisi pesantren. Beliau menguasai ragam ilmu
fiqh, ushul fiqh, manthiq, tata bahasa Arab hingga dengan cerdik melakukan
gerak politik yang dilandasi etika. Kiai Wahab selalu tampil pede dalam beragam
laga tandang dengan lawan politiknya, juga selalu siap beradu argumentasi
dengan para kiai sepuh. Kisah-kisah yang penulis temukan dari kiai-kiai sepuh
maupun Gawagis penikmat humor, Kiai Wahab kalau berdebat sangat konsisten
mempertahankan prinsip dan argumentasinya. Bahkan, sampai menggebrak meja
menggunakan kaki.
Sebuah kisah yang
disampaikan Gus Yahya Staquf, Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri berdebat
tentang hukum drum band. Dalam perdebatan ini, Kiai Bisri menggebrak meja untuk
mempertahankan prinsipnya. Kiai Wahab tidak mau kalah, beliau menggebrak meja
menggunakan kaki! Peserta bahtsul masail tercengang, dan khawatir jika NU
menjadi bubar hanya karena drum band. Namun, ketika jamuan makan, beliau berdua
berebut untuk saling melayani. Sungguh etika debat yang luar biasa. Di luar
panggung perhelatan, para pesilat akan saling menghormati. Di luar ruangan
bahtsul masail, para kiai akan saling melayani dan melempar tawa.
Kiai Wahab Chasbullah
merupakan tulang punggung pergerakan Nahdlatul Ulama. Bersama Hadratus Syaikh
Hasyim Asy'ari dan Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab menggerakkan roda organisasi
dengan silaturahmi ke ribuan kiai dan pesantren di seluruh kawasan Nusantara.
Selama berminggu-minggu, Kiai Wahab melakukan perjalanan untuk konsolidasi
jaringan pesantren. Mengaktifkan kembali para kiai agar mau bergabung dalam
jam'iyyah (organisasi), tidak sekedar terikat dalam jama'ah (komunitas).
Indonesianis Greg
Fealy menggambarkan peran penting Kiai Wahab Chasbullah, dalam jurnal Tashwirul
Afkar, mengungkapkan betapa Kiai Wahab merupakan ahli dekat yang dihormati.
"Wahab dicirikan secara menonjol dalam hal-hal sebagai berikut. Seorang
ahli debat yang giat dan semangat, mahir memadukan diskusi serius mengenai
prinsip hukum dengan anekdot jenaka atau kisah yang tepat dari kitab dan
sejarah Islam. Meski mendukung usaha-usaha kalangan modernis dalam pembaruan
bidang pendidikan dan sosial, dia menolak serangan mereka atas ortodoksi Sunni
dan keutamaan Ulama" (1996: 10).
Kisah interaksi Kiai
Wahab dengan kelompok Islam modernis, patut dicermati. Pada awalnya, Kiai Wahab
berkawan baik dengan Mas Mansur, yang dianggap sebagai sahabatnya. Pada 1924,
Mas Mansur bertemu dengan Kiai Wahab Chasbullah. Pertemuan keduanya, terjadi
dalam forum sesama anggota Indonesische Studie Club, sebuah kelompok studi yang
didirikan oleh dr. Soetomo di Surabaya pada Juli 1924. Kagum akan kekompakan
yang ada dalam kelompok ini, kedua kiai muda ini pernah berselisih pendapat,
bersepakat untuk mengadakan sebuah pertemuan yang bertujuan menggalang persatuan.
Namun, selanjutnya
cita-cita keduanya untuk membentuk satu organisasi bersama, harus tenggelam
karena perbedaan prinsip. Mas Mansur membentuk Mardi Santosa, sedangkan Kiai
Wahab Chasbullah mendirikan Syubbanul Wathan. Pada periode selanjutnya, Syubbanul
Wathan bermetamorfosis menjadi Angkatan Nahdlatul Oelama (ANO), yang kemudian
menjadi Gerakan Pemuda Ansor.
Hubungan antara
kelompok Islam modernis yang dimotori Mas Mansur dan kelompok Islam
tradisionalis yang dikomando jaringan pesantren Kiai Wahab, mengalami dinamika
ketegangan. Keretakan hubungan ini, di antaranya karena ketidakpuasan para
ulama tradisional yang aspirasinya tidak terwakili. Ketika itu, utusan ulama
yang berangkat ke Makkah adalah Mas Mansur (1896-1946) dan Tjokroaminoto (1882-1934).
Keduanya mewakili delegasi MAHIS (Mu'tamar al-Alamul Islami far'ul Hindish
Syarqiyyah), Kongres Islam Sedunia Cabang Hindia Timur (semula bernama Kongres
al-Islam), untuk menghadiri Kongres Khilafah yang diprakarsai Raja Ibn Saud di
Makkah pada 1 Juni 1926. Kisah ini, terdokumentasi dalam Kiai Haji Mas Mansur
1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran (2005: 57).
Padahal, Kiai Wahab
juga terpilih sebagai salah satu dari tiga utusan umat Islam yang berangkat ke
Makkah, tapi urung dikirim sebagai delegasi. Pada kongres al-Islam ke-4 dan
ke-5, nama Kiai Wahab dimunculkan sebagai utusan resmi mewakili umat Islam
Hindia Belanda. Akan tetapi, Kiai Wahab tidak lantas memusuhi tokoh-tokoh
muslim dari kelompok modernis. Mereka tetap bergerak untuk melayani ummat, dengan
membangun komunitas yang sesuai dengan visi masing-masing.
Kisah lain, Kiai
Wahab juga berani berdebat dengan Charles Olke Van Der Plas (1891-1977).
Sebagai utusan Hindia Belanda, Van Der Plas memiliki kedudukan sangat penting,
dalam mengatur politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahan. Van Der Plas juga
pernah menjadi Gubernur Jawa Timur (1936-1941), serta pernah menjadi konsul
Belanda di Jeddah. Perdebatan antara Kiai Wahab dan Van Der Plas, dalam bidang
teologi yang merujuk pada keimanan terhadap Nabi Isa dan Muhammad. Singkat
kisahnya, perdebatan ini dimenangi Kiai Wahab, dengan jurus diplomasi yang
bersendi ilmu manthiq.
Dalam ilmu debat dan
jurus diplomasi di komunitas santri, Kiai Wahab adalah Koentji. []
Munawir Aziz, Wakil
Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, buku terbarunya bertema
"Gus Dur & Jaringan Tionghoa Nusantara", dalam proses terbit.
(Komunikasi via email: moena.aziz@gmail.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar