Rabu, 26 April 2017

Shambazy: Pilpres Sebentar Lagi



Pilpres Sebentar Lagi
Oleh: Budiarto Shambazy

Sekali lagi, ingar bingar Pilkada DKI Jakarta yang kita saksikan selama setengah tahun terakhir adalah ”pilgub rasa pilpres”. Pilpres 2019 yang akan digelar bersamaan dengan Pileg tinggal sekitar dua tahun lagi. Ini bukan waktu yang lama bagi yang berminat menjadi capres-cawapres dalam mencari dukungan partai, membangun karisma, membentuk jaringan, merumuskan program, dan menyiapkan logistik.

Tampaknya Pilpres 2019 berbeda dengan Pilpres 2014 yang hanya menghadap-hadapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla versus Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pilpres 2019 juga mungkin tidak akan diikuti sampai lima pasang capres-cawapres seperti yang terjadi tahun 2004. Barangkali Pilpres 2019 mengulang Pilpres 2009 yang diikuti tiga pasang: Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo, dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Jika merujuk pada hasil Pilgub DKI, Prabowo sedang berada di ”langit ketujuh”. Prabowo sendiri mengatakan akan mencalonkan diri jika warga DKI memenangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Harapan itu menjadi kenyataan. Kini sukar bagi Prabowo untuk mengurungkan niatnya.

Karier politik Prabowo mengalami kurva naik-turun dan penuh suka-duka. Ia gagal sebagai cawapres 2009 dan sebagai capres 2014. Ia dua kali kehilangan pemenang yang dia dukung, yakni Gubernur DKI Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahja Purnama, hanya dalam tempo singkat. Namun, Partai Gerindra yang dia ketuai mendulang sukses lumayan dalam perolehan suara pada pilkada Desember 2015.

Namun, yang dihadapi Prabowo pada hari-hari ini adalah déjà vu all over again. Terdapat tantangan bagi dia untuk mengelola agar Anies tidak mengulang apa yang sudah dilakukan Jokowi ataupun Basuki. Jokowi “loncat” dari gubernur DKI menjadi presiden pesaing dia, sementara Basuki meninggalkan Gerindra untuk menggantikan Jokowi.

Prabowo sudah menegaskan bahwa Anies akan merampungkan tugas sebagai gubernur DKI selama lima tahun sampai 2022. Apakah ada garansi Anies akan memenuhi atau tidak memenuhi janji tersebut? Tentu saja kita tidak bisa menjawab dengan pasti, kecuali mengatakan bahwa politics is the art of the possible.

Prabowo perlu menegaskan Anies akan menyelesaikan masa jabatan gubernur selama lima tahun mengingat rekam jejak politik yang bersangkutan. Setelah mengikuti Konvensi Partai Demokrat sebagai seleksi capres partai itu, Anies diterima sebagai salah seorang deputi Tim Transisi Jokowi-Kalla. Setelah diberhentikan oleh Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies menjadi calon gubernur yang didukung Prabowo.

Lagi pula, Anies sedang mendapatkan momentum, hanya dalam waktu singkat dicalonkan dan memenangi kontes di Jakarta. Tak mustahil ia mengulang sukses Jokowi, menyeberang dari Jalan Merdeka Selatan ke Jalan Merdeka Utara hanya dalam tempo sekitar dua tahun. Dan, mengapa tidak mengingat ia ”darah muda” atau ”wajah baru” yang sedang naik daun saat ini.

Sekurang-kurangnya, Anies bisa saja digandeng sebagai cawapres untuk Prabowo pada 2019. Pilihan lain, melihat perkembangan politik belakangan ini, Prabowo bisa menggandeng Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo sebagai cawapres. Dari segi logistik dan media, Hary merupakan pilihan yang untuk sementara tergolong ideal.

Saat ini, Anies berusia 47 tahun, Hary 51 tahun. Anies keturunan Arab, Hary keturunan Tionghoa. Anies beragama Islam, Hary beragama Kristen. Namun, jangan memandang fitur-fitur minoritas ini sebagai kelemahan. Prabowo pasti bisa mengalkulasi dan mengelolanya sehingga mereka dapat diterima semua kalangan.

Sebagai cawagub, Anies didukung pula oleh Jusuf Kalla. Mereka sesama alumnus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Jusuf Kalla secara terbuka pernah menyatakan hasrat agar alumnus HMI yang memenangi Pilgub DKI. Sama dengan Prabowo, Kalla pada hari-hari ini juga berada di ”langit ketujuh” berkat kemenangan Anies-Sandi.

Sudah cukup lama muncul spekulasi Kalla juga akan mencalonkan diri sebagai presiden. Kalla pernah pula nyapres tahun 2009 berduet dengan Wiranto dan dua kali terpilih sebagai wapres, 2004-2009 dan 2014-2019. Selain modal pengalaman, Kalla juga bermodal besar untuk melakoni pencapresan yang butuh dana ratusan miliar rupiah tersebut.

Kelemahan Prabowo (65) ataupun Jusuf Kalla (74) adalah keduanya wajah lama. Namun, pilpres itu layaknya menjual sebuah produk baru yang pasti akan laris jika disiapkan sebaik-baiknya ibarat menjual baju dengan manekin di etalase. Eks Wapres AS Joe Biden (74) menyesal batal nyapres tahun lalu karena berpotensi mengalahkan Donald Trump, sementara Hillary Clinton (69) mungkin masih bisa ”berbicara” tahun 2020.

Lebih dari itu, tak mudah bagi Prabowo ataupun Jusuf Kalla mengalahkan sang petahana, Jokowi. Sampai hari ini, job approval Jokowi masih lebih dari 50 persen. Kinerja pembangunan infrastruktur Jokowi terbilang sukses. Sosoknya yang tergolong merakyat tetap menjadi kekuatannya.

Andai saja tidak ada kasus penodaan agama, Basuki layak menjadi cawapres untuk Jokowi. Betapapun, Jokowi memiliki banyak pilihan cawapres yang sekarang berada di sekeliling dia. Pendek kata, Jokowi tidak akan mengalami kesulitan memilih cawapres yang bisa mengimbangi kelemahan-kelemahan dia.

Akan tetapi, dalam olahraga, berlaku prinsip ”mempertahankan gelar lebih sulit daripada merebutnya”. Inilah tantangan terbesar bagi Jokowi sekaligus menjadi peluang terbesar capres-capres lainnya kelak. Bersiap-siaplah, pilpres sebentar lagi. []

KOMPAS, 22 April 2017
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar