Kartini dan Perempuan Pelaku Bom
Oleh: Musdah Mulia
MENDADAK banyak orang tersentak ketika perempuan bernama Dian
Yulia Novi tertangkap ketika hendak melakukan aksi bom bunuh diri di Istana
Negara, Desember tahun lalu. Ternyata dia pernah jadi buruh migran di Singapura
dan istri Bahrun Naim, pelaku bom Thamrin. Tragedi ini menyibak fakta
keterlibatan sejumlah perempuan muslim dalam gerakan terorisme di Indonesia.
Tren baru aksi terorisme di Indonesia menjadikan perempuan sebagai pelaku
utama. Kalau sebelumnya aksi-aksi teror berwajah maskulin dan menggunakan
pendekatan patriarki, belakangan perempuan jadi pelaku. Pendekatannya juga
feminin. Meskipun faktanya perempuan ialah pelaku, hakikinya mereka hanyalah
korban.
Tanggal 21 April setiap tahun diperingati sebagai Hari Kartini,
dan tahun ini merupakan peringatan ke-138kelahiran Kartini. Artinya, kehadiran
Kartini yang membawa gagasan-gagasan baru bagi kemajuan perempuan Indonesia
telah berlalu hampir satu setengah abad, tapi ide dan gagasannya masih sangat
relevan diperbincangkan. Usia Kartini relatif sangat pendek. Namun, karena ia
tekun membaca dan bertukar pikiran secara kritis dengan ilmuwan Belanda,
wawasan dan pengetahuannya sangat luas. Ide dan gagasannya dituangkan dalam
surat-surat yang ia kirimkan kepada sahabatnya yang kemudian diterbitkan
Abendanon pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht yang selanjutnya
dialihbahasakan Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah
Terang. Kartini mengungkapkan kegelisahan intelektual dan penderitaan batinnya
ketika melihat perlakuan diskriminatif dan tindakan kekerasan terhadap
masyarakat, khususnya perempuan akibat budaya patriarki, sistem feodalisme, dan
kolonialisme.
Emansipasi yang diperjuangkan Kartini, seperti terbaca dalam
surat-suratnya, bukanlah untuk menjadikan perempuan bumi-putra kehilangan jati
dirinya dan menjadi bersifat kebarat-baratan. Kartini menghendaki perempuan
mendapatkan pendidikan sehingga mampu memberikan kontribusi positif dan
konstruktif bagi diri, keluarga, dan bangsanya. Jika Kartini masih hidup,
beliau pasti kecewa dan mengutuk keberadaan perempuan sebagai pelaku bom yang
pasti merusak dan membahayakan kehidupan banyak orang. Kartini dari awal
mengingatkan perempuan tentang pentingnya mengembangkan nalar kritis dan
keberpihakan pada kemanusiaan. Tujuannya tiada lain, agar perempuan tidak mudah
dimanfaatkan dan dijadikan korban serta dicekoki dengan pikiran patriarki yang
merugikan kemanusiaan dan menghancurkan sendi-sendi utama peradaban manusia
seperti terjadi pada perempuan pelaku bom.
Mengapa perempuan? Wacana feminisme menyimpulkan, perempuan ialah
kelompok paling diandalkan dalam soal kesetiaan dan kepatuhan. Perempuan juga
kelompok paling mudah percaya dan tunduk jika hal itu terkait dengan agama.
Perempuan umumnya sangat bersahabat dengan agama meski agama sering kali tidak
ramah terhadap mereka. Lihat saja, hampir semua pengajian dan majelis taklim di
Indonesia dipenuhi kaum perempuan. Ironisnya, interpretasi keagamaan yang
sering disampaikan dalam lembaga keagamaan itu menempatkan perempuan hanya
sebagai makhluk seksual dan melihat perempuan sebatas objek. Perempuan selalu
dianggap lemah dan tidak berdaya. Namun, fenomena terorisme meyakinkan kita
bahwa tidak semua perempuan lemah dan tidak berdaya. Sebagian perempuan justru
lebih nekat dan berani mengambil risiko meski maut menghadang. Motivasi utama
perempuan terlibat dalam gerakan ini bersifat teologis.
Awalnya mereka terpapar ideologi Islam radikal yang mematikan.
Buya Syafii Maarif menyebutnya sebagai 'teologi maut'. Berupa pemahaman
keislaman yang radikal, misalnya memercayai wajib hukumnya membunuh orang-orang
kafir (nonmuslim); meyakini kewajiban menegakkan negara Islam dengan melakukan
jihad menumpas ketidakadilan, walau dengan cara membunuh sekali pun. Perempuan
harus ikut berjihad membela Islam dan muslim yang tertindas. Mereka sangat
meyakini umat Islam kini dalam kondisi tertindas.
Karena itu, mereka harus diselamatkan dengan jihad yang umumnya diartikan sebagai membunuh semua yang tidak sepaham. Biasanya, dari radikalisme, hanya perlu satu langkah lagi untuk menuju terorisme. Kelompok Islam radikal sangat mudah dikenali karena mereka sering mengusik tradisi keislaman yang sudah lama diamalkan umat Islam di negeri ini. Seperti tradisi pembacaan barzanji dan zibaan, tradisi peringatan maulid nabi, dan tradisi takziah.
Selain itu, biasanya mereka gencar menyebarkan paham anti-Pancasila,
antidemokrasi, antikebinekaan dan keberagaman, serta antifeminisme. Mereka juga
alergi dengan semua yang datang dari Barat dan non-Islam. Fatalnya lagi, mereka
juga benci dengan simbol-simbol keindonesiaan, seperti bendera Merah Putih,
lambang garuda, dan lagu Indonesia Raya. Mereka menyebut semua itu bidah dan
tagut (musuh Islam) yang harus dilenyapkan. Perempuan seperti apa yang banyak
terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia? Penelitian Yayasan Prasasti
Perdamaian mengungkapkan umumnya mereka ialah para istri dan keluarga teroris
yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, istri dan
keluarga para ekstremis di Suriah, Lebanon, dan Turki. Para suami atau keluarga
mereka ialah anggota Jamaah Islamiah, Jamaah Ansharut Tauhid, gerakan Negara
Islam Indonesia, IS, Salafi Jihadis, dan organisasi Islam radikal lain. Menarik
disebutkan, sebagian besar mereka bukanlah perempuan bodoh dan tidak terdidik.
Kebanyakan mereka lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan
pesantren dan sekolah menengah atas. Lalu dari aspek ekonomi, mereka tidak
selalu dari kelompok miskin, tidak sedikit dari kalangan menengah ke atas.
Profesi mereka pun beragam: dosen, guru, mubaligah, ustazah, dokter, buruh
migran, karyawan, aktivis organisasi, pedagang daring, pelayan toko, dan
pekerja pabrik. Sebagian mereka direkrut melalui pernikahan. Suami melakukan
upaya terencana untuk menanamkan ideologi radikal dengan cuci otak. Artinya,
mereka sengaja dinikahi untuk dicekoki ideologi radikal, bahkan sebagian dinikahi
ketika berada di penjara. Sebagian perempuan dinikahi belakangan setelah mereka
menerima doktrin radikal itu. Tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan
indoktrinasi yang sangat masif dari teman dekat suami atau dari sesama
perempuan yang telah terlebih dahulu aktif dalam jaringan tersebut. Tidak
sedikit perempuan yang direkrut dalam gerakan terorisme ialah buruh migran.
Mengapa? Karena umumnya mereka punya uang, mandiri, dan berani
serta yang paling penting mereka sudah biasa ke luar negeri. Mereka umumnya
pengguna aktif internet dan media sosial. Sebagian mereka terpapar ideologi
radikalisme lewat internet ketika bekerja di luar negeri. Pertemuan mereka
dengan suami dan kelompoknya umumnya lewat sosial media. Tugas dan peran
perempuan dalam gerakan radikalisme cukup beragam dan signifikan. Di antaranya,
mereka berperan sebagai pendidik dan pelatih, agen perubahan, pendakwah ulung,
pencari dan pengumpul dana. Bahkan, mereka sangat profesional dalam merekrut
perempuan-perempuan muda dan potensial dari berbagai kalangan. Sebagian lagi
berperan sebagai pengatur logistik, kurir antarkota, bahkan antarnegara,
membawa pesan-pesan rahasia. Sebagian lagi berperan sebagai pengantin untuk bom
bunuh diri.
Perempuan hanyalah korban
Akan tetapi, perlu diingat bahwa meskipun perempuan menjadi pelaku bom dan aktivis utama dalam gerakan radikalisme, sejatinya mereka hanyalah korban. Korban dari ideologi suami atau keluarga, korban indoktrinasi agama yang tidak memihak kemanusiaan. Korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik. Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan para elite kekuasaan patriarki. Oleh karena itu, upaya mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberikan tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang terus-menerus memojokkan mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan hanya akan membuat mereka mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat bergelora dan berujung dengan ledakan maut. Perempuan selalu bisa menjadi agen perdamaian. Kalau mereka bisa direkrut menjadi teroris seharusnya lebih mudah mengajak mereka menjadi agen perdamaian karena secara alami perempuan diciptakan untuk merawat keberlangsungan kehidupan.
Diperlukan strategi yang lebih manusiawi, komprehensif, dan
pendekatan yang jauh dari maskulin, tapi mengena kepada mereka yang terlibat
gerakan terorisme. Pendekatan yang semata bertumpu pada kekuatan militeristis
dengan prinsip keamanan harus ditinjau ulang. Hal paling penting ialah
keinginan politik yang kuat dari negara dan pemerintah untuk mengikis akar-akar
penyebab terorisme, seperti kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang sudah
sedemikian akut di masyarakat. Selain itu, sangat penting bagi semua elemen
dalam masyarakat, khususnya bagi ormas keislaman, untuk mengusung ajaran Islam
yang mengedepankan nilai-nilai human, keadilan, kesetaraan, toleransi, dan
perdamaian. Esensi Islam ialah memanusiakan manusia dan membangun masyarakat
yang berkeadilan dan beradab. Islam seharusnya menjadi rahmat bagi semua
makhluk di alam semesta. []
MEDIA INDONESIA, 21 April 2017
Musdah Mulia | Ketua Umum Indonesian Conference on Religions for
Peace (Organisasi Lintas Iman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar