Selasa, 11 April 2017

BamSoet: Desentralisasi dan Inkompetensi Aparatur



Desentralisasi dan Inkompetensi Aparatur
Oleh: Bambang Soesatyo

POLITIK desentralisasi belum menyelesaikan banyak persoalan, karena negara mengabaikan faktor kompetensi aparatur daerah. Setelah hampir dua dekade melakoni otonomi, banyak daerah tampak masih tertatih-tatih karena aparaturnya belum mampu menginisiasi pembangunan wilayahnya. Peningkatan kompetensi aparatur daerah harus menjadi perhatian pemerintah pusat.

Tidak ada yang salah dengan politik desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pusat kepada daerah. Namun, setelah berjalan hampir 20 tahun, pelaksanaan otonomi daerah mungkin harus diperbarui lagi, setelah penerapan Undang-Undang  (UU) Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Tentu saja setelah dilakukan evaluasi komprehensif atas implementasi pelimpahan wewenang dan kekuasaan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota, khususnya dari aspek kinerja atau produktivitas. Seperti diketahui, bupati dan wali kota menjadi penguasa tertinggi di wilayahnya, tidak lagi berada dalam kendali gubernur.

Seperti di tingkat pusat, keleluasaan menjalankan kekuasaan dan melaksanakan wewenang besar oleh bupati/wali kota juga mendapat pengawasan dari DPRD. Kekuasaan dan kewenangan besar yang digenggam bupati/wali kota dan DPRD ini tentu saja menjadi faktor sangat strategis bagi masyarakat setempat, karena akan memengaruhi kesejahteraan warga dan pilihan prioritas pembangunan. Sebab, bupati/wali kota bersama DPRD punya kuasa mutlak atas rencana, pemanfaatan dan pengawasan keuangan (anggaran) daerah.

Kalau bupati/walikota dan DPRD kapabel, visioner dan kompeten, kesejahteraan warga dan pembangunan daerahnya akan mencatatkan progres. Sebaliknya, akan menjadi persoalan serius bagi warga lokal jika bupati/wali kota dan DPRD tidak kapabel, tidak visioner pun tidak kompeten sebagai pimpinan dan elite daerah.

Baru beberapa tahun belakangan ini sejumlah daerah bisa menghadirkan bupati/wali kota yang reformis; dalam arti peduli pada warganya, berani mereformasi birokrasi, dan berani menginisiasi pembangunan daerahnya. Tetapi jumlah kabupaten/kota dengan kriteria seperti ini belum banyak.

Jumlahnya masih dalam hitungan jari. Itu sebabnya, dari total 416 kabupaten dan 98 kota, hanya ada beberapa nama bupati dan wali kota yang populer di mata publik. Mereka populer karena dedikasinya melayani warga, membersihkan birokrasi dari virus korupsi, menerapkan transparansi keuangan daerah dan berani menginisiasi pembangunan infrastruktur.

Ratusan kabupaten dan puluhan kota tampak masih tertatih-tatih menanggapi desentralisasi kekuasaan dan kewenangan itu. Secara umum diketahui bahwa penyebab utamanya adalah inkompetensi bupati atau wali kota.

Mereka pun tidak kapabel untuk memimpin dan mengelola sekian banyak satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Banyak pimpinan daerah tidak mampu mendeteksi kebutuhan prioritas daerah dan warganya.

Akibatnya, banyak daerah gagal menetapkan program prioritas. Inkompetensi bupati/wali kota menyebabkan banyak kabupaten/kota memiliki kelemahan dalam perencanaan.

Misalnya tentang sebuah kabupaten yang warganya selalu mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Bupati tidak mampu mendeteksi masalah ini sehingga pembangunan infrastruktur bagi penyediaan air bersih tidak pernah diprioritaskan.

Kasus lainnya tentang sejumlah kabupaten yang memiliki potensi besar di sektor wisata laut. Potensi ini tidak pernah dieksplorasi secara terencana dan sistematis. Lalu, warga di banyak daerah, termasuk sejumlah wilayah di Jawa, terus mengeluh karena laporan mereka tentang kerusakan jalan nyaris tidak direspons bupati atau wali kota.

Akibatnya, dalam sejumlah aspek pembangunan di daerah, banyak program harus dirancang dan diturunkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian. Sejumlah kementerian kini fokus ke daerah-daerah, sesuai potensi dan masalahnya.

Misalnya untuk mengamankan potensi perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus turun tangan langsung, karena pemerintah kabupaten tidak pernah menggagas perang melawan pencuri ikan. Atau, karena sejumlah daerah gagal melindungi  hutan, sejumlah kementerian harus turun tangan ketika hutan terbakar.

Sistem Plus Kompetensi

Ada beberapa indikator yang memperjelas inkompetensi aparatur daerah. Tetapi yang utama adalah gagap mengelola anggaran, kekeliruan menerbitkan peraturan daerah (perda) hingga perilaku semena-mena oknum bupati/wali kota yang menyebabkan mereka terjerat kasus korupsi.

Salah satu indikator yang cukup jelas terbaca bisa disimak pada kasus mengendapnya anggaran banyak pemerintah daerah di perbankan. Tahun 2015 tidak kurang dari Rp282 triliun dana daerah mengendap di bank.

Presiden Jokowi sampai berkali-kali mendorong semua kepala daerah memaksimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, akibat inkompetensi itu, aparatur daerah tetap saja bergerak lamban.

Buktinya, hingga akhir Februari 2016, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan mencatat bahwa dana milik pemda yang mengendap di bank masih sebesar Rp185,4 triliun. Baru pada Desember 2016, dana daerah yang mengendap itu bisa berkurang menjadi Rp83,85 triliun.

Menurut kajian Kemenkeu, menurunnya jumlah dana simpanan pemda di bank itu mengindikasikan perbaikan awal dalam belanja APBD dan pola pengelolaan keuangan daerah. Artinya, pada tahun-tahun sebelumnya ada persoalan dalam hal belanja daerah dan pengelolaan keuangan daerah.

Menarik untuk dipahami bahwa kemauan melakukan perbaikan dalam pengelolaan keuangan daerah itu terjadi setelah pemerintah pusat mengancam atau berniat menerapkan sanksi berupa penundaan dana alokasi umum (DAU) serta dana bagi hasil (DBH) bagi daerah yang lalai memenuhi kewajibannya.

Semua pemerintah daerah diwajibkan menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran, posisi kas, dan perkiraan kebutuhan belanja operasional dan modal untuk periode tiga bulan. Data-data itu harus dilaporkan tepat waktu kepada pemerintah pusat melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.

Indikator kedua berkaitan dengan penerbitan peraturan daerah yang serampangan. Banyak pemda seakan tidak peduli manakala perda yang diterbitkan itu bertentangan dengan konstitusi, undang-undang (UU), peraturan pemerintah pusat, peraturan atau keputusan presiden hingga keputusan menteri.

Keputusan di tingkat pusat bisa dimentahkan ketika dihadapkan pada wewenang sejumlah pemerintah daerah. Akibatnya, proses perizinan atau jasa pelayanan lainnya menjadi semakin mahal (high cost) dan menyita waktu lebih panjang. 

Pada Juni 2016, menteri dalam negeri (mendagri) membatalkan 3.143 perda. Ribuan perda itu memang harus dibatalkan karena nyata-nyata menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, dan tentu saja karena bertentangan dengan konstitusi maupun UU yang lebih tinggi. Banyak perda digunakan sebagai payung hukum untuk memungut biaya tambahan.

Sayangnya, wewenang mendagri membatalkan ribuan perda bermasalah itu telah menimbulkan persoalan baru. Karena digugat Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, Mahkamah Konstitusi pun menggugurkan wewenang mendagri membatalkan ribuan perda bermasalah itu. Untuk membatalkan perda bermasalah, pemerintah pusat harus bertarung terlebih dahulu dengan pemda di Mahkamah Agung. 

Indikator ketiga yang menggambarkan inkompetensi sejumlah pemda tecermin pada jumlah kepala daerah yang terjerat kasus hukum dalam perkara korupsi. Pada periode 2016, KPK  (Komisi Pemberantasan Korupsi) menetapkan 10 kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Tiga di antaranya  terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Jumlahnya bertambah karena di pengujung 2016, KPK menangkap Bupati Klaten Sri Hartini. Dia diduga sebagai pelaku kasus jual-beli jabatan di Pemkab Klaten. KPK menyita Rp2 miliar sebagai barang bukti.

Persoalan kompetensi pemda sudah sering didiskusikan. Pembaruan sistem dan mekanisme terus diperbaiki melalui penajaman UU tentang Pemerintah Daerah. Namun, pembaruan sistem dan mekanisme saja terbukti belum cukup.

Kompetensi aparatur pemerintah daerah harus terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Peningkatan kompetensi dan kapabilitas sangat diperlukan agar aparatur daerah berkemampuan merencanakan, melaksanakan dan mengawasi proses pembangunan daerahnya. Ketergantungan pada pemerintah pusat harus dikurangi.

Presiden bisa menugaskan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), Kemenkeu, dan semua inspektorat jenderal untuk menyusun program peningkatan kompetensi aparatur pemda. Bappenas menyediakan program perencanaan pembangunan, Kemenkeu tentang pengelolaan anggaran atau keuangan daerah dan para inspektorat jenderal menyiapkan program pengawasan. 

Perlunya perhatian ekstra dari pemerintah pusat terhadap masalah kompetensi pemerintah daerah sangat beralasan. Utamanya  karena para kepala daerah yang menjabat pada era sekarang tidak dipersiapkan dengan matang seperti di masa lalu.

Untuk meraih jabatannya, kepala daerah sekarang ini cukup memenangkan pilkada. Aspek kompetensi dan kapabilitas tidak menjadi syarat utama. Akibatnya tidak sedikit bupati/wali kota yang gagap ketika pertama kali beradaptasi dengan budaya kerja birokrasi pemerintah daerah. []

KORAN SINDO, 10 April 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar