Kamis, 20 April 2017

Kang Sobary: Memberantas Korupsi secara Adil



Memberantas Korupsi secara Adil
Oleh: Mohamad Sobary

CARA kita hidup bernegara, khususnya dalam segi pemberantasan korupsi, perlahan-lahan membaik. Lembaga-lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, yang belum bisa bekerja dengan baik, sebagaimana harusnya, dibantu lembaga baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK. Ini lembaga istimewa.

KPK hadir di tengah kita sebagai mandat reformasi. Rakyat Indonesia berharap besar terhadap KPK. Kenyataan bahwa di sana-sini rakyat belum bisa menikmati hak-hak konstitusional untuk bisa merasakan sedikit kemakmuran, tidak ada masalah. Mungkin memang diperlukan waktu panjang untuk menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat belum memperoleh ke­adilan pun tak begitu masalah, karena adil secara sosial untuk seluruh rakyat Indonesia bukan pekerjaan mudah. Diperlukan suatu perjuangan yang sungguh luar biasa.

Tapi kesenjangan jangan terlalu mencolok. Uang rakyat, yang secara adil harus dinikmati rakyat, jangan dicuri oleh sebagian kecil pejabat. Tak menjadi masalah bahwa di sana-sini rakyat menyekolahkan anak dengan susah payah di sekolah-sekolah biasa di dalam negeri, tapi hendaknya para pejabat jangan terlalu mencolok mata dengan menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah pilihan di luar negeri.

Ini kesenjangan yang menyakitkan. Para pejabat, barang kali terutama kaum muda yang bisa bermain politik dan berhasil menduduki posisi istimewa, wajib tahu bahaya kaya karena menjadi pejabat, atau menjadi pejabat lalu kaya, itu tidak etis. Kalau dikritik, mengapa sekarang kaya dan istrinya pun tiba-tiba memiliki sebuah perusahaan, jangan menjawab apa salahnya kaya.

Menjadi pejabat kemudian menjadi kaya, apa lagi kaya raya, jelas tidak etis. Kalau dia bukan keturunan orang kaya, bukan pula pengusaha yang sudah kaya, tiba-tiba kaya sesudah menjabat, jelas sebuah dosa sosial-politik yang tak layak dibiarkan saja. Jawaban apa salahnya kaya, itu salah. Pejabat publik hidup dalam bingkai etis untuk tidak kaya.

Kalau kenyataannya kemudian mereka kaya, niscaya ada suatu tingkah laku yang tak layak. Barangkali di dalam kekayaannya itu terdapat harta gelap yang tak punya sejarah cukup meyakinkan untuk diumumkan dari mana datangnya. Ada yang menyatakan kekayaannya merupakan warisan. Tapi warisan dari mana? Orang tuanya tidak kaya, dan boleh dikatakan tak memiliki apa-apa. Begitu juga kakeknya, mertuanya, kakek mertua, dan seluruh leluhurnya.

Kekayaan gelap seperti itu hanya satu sumbernya, yakni bahwa kemungkinan terbesar uang rakyat yang dipindah tangankan ke dalam aset pribadinya. Ini prasangka buruk yang salah? Prasangka buruk memang salah. Tapi kalau telusuran kita atas kekayaan pejabat yang sebelum menjabat miskin, dan tiba-tiba menjadi kaya sesudah menjabat, prasangka ini sehat secara politik maupun secara moral. Ajaran agama dan ke­luhur­an etis pasti mendukungnya. Tidak ada yang dilanggar oleh prasangka seperti itu.

Apalagi, seperti disebut di atas, dalil “warisan leluhur” yang ada di dalam asetnya tak bisa dibuktikan. Leluhur ke atas sampai tujuh generasi tidak ada yang kaya. Begitu juga leluhur istri atau suaminya. Apa yang harus dikatakan dalam keruwetan aset pejabat macam ini kecuali hasil curian dari perbendaharaan negara yang menyimpan uang rakyat?

KPK hadir sebagai kekuatan pemberi jaminan keadilan. Mereka yang mencuri uang rakyat ditangkap dan diborgol baik-baik agar tidak lari. Mereka diselidiki lebih mendalam dan hati-hati, agar penegak tak berbuat secuil pun kesalahan ketika menetapkan pencuri dan bukan pencuri. Orang boleh menjerit-jerit hingga suaranya terdengar dari langit ke tujuh bahwa dia tidak mencuri dan tidak korup, tapi kalau bukti-bukti sangat mencukupi?

Sangkalan atau sanggahan bukan barang bukti bagi KPK. Wajar kalau pencuri tak mau disebut pencuri. Tapi kalau tindakannya menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa dialah pencuri itu, apa yang ditakutkan KPK? Diteror dengan kata-kata? KPK pantang mundur. Anggota komisioner KPK disergap, dilukai, dan diancam untuk dibunuh?

KPK tak merasa kecil hati menghadapi tindakan seperti itu. Peneror pasti orang bayaran. Penggerak teror itu pasti bukan orang baik-baik. Kita bisa menduga, di belakang aksi teror itu berdiri diam-diam dalam kegelapan, para pelaku pencurian atau koruptor yang merasa gerah. Mereka cemas tindakan di masa lalunya bakal diungkap. Lalu dalam kecemasan itu, mereka berbuat nista.

Ini negara hukum. Teror tak perlu dibalas dengan teror. Kekerasan tak perlu dibalas dengan kekerasan. Biarlah pasal-pasal hukum berbicara sendiri apa dosa mereka dan berapa lama sebaiknya mereka dikerangkeng dalam kurungan yang mengisolasi mereka dari masyarakat ramai. Dengan cara ini, tindakan KPK masih dianggap kurang adil? Apa yang bisa disebut adil?

Semua penjahat, pencuri, dan koruptor ditangkap tanpa pandang bulu. Orang bilang, semua koruptor ditindak tanpa tebang pilih. Ini persoalan yang bisa ruwet. KPK punya strategi bertindak. Siapa didahulukan, siapa menyusul, itu hanya strategi. Secara ideal, KPK juga berpikir begitu.

Semua ditangkap, semua diadili, semua dihukum. Segalanya dilakukan bukan karena dendam dan dengki, tapi karena penegakan hukum yang adil. Semoga ada efek  mengeri­kan dalam pengalaman hidup mereka sehingga tak mungkin ada lagi koruptor baru.

Tapi mengapa koruptor bermunculan dari keluarga partai yang dulu berkuasa? Orang demi orang, kelompok demi kelompok, terjaring dan ditaruh di dalam kurungan? Begitu banyak kalangan muda tertangkap. Begitu banyak kalangan yang kelihatannya sopan, lembut, dan tak terduga bahwa mereka korup, tapi ternyata korup dan mencuri uang rakyat dalam jumlah besar?

Mungkin ini pelajaran penting, jangan percaya pada sekadar kata-kata sopan dan sikap lem­but. Sopan dan lembut mungkin hanya tanda kemunafikan. KPK tak peduli sopan atau brangasan. Sopan tapi mencuri, dihukum. Brangasan, kasar, dan mencuri, juga dihukum.

Apa yang kurang adil di dalam tindakan hukum KPK? Mungkin yang tidak adil itu dukungannya. Mengapa KPK didukung seluruh kekuatan “civil society “ di negeri kita? Mengapa lembaga-lembaga lain tidak? “Civil society “ tidak buta. Kekuatan ini hanya mendukung yang terbaik. Banyak kalangan yang iri kepada KPK. Banyak wakil lembaga yang tak begitu berbahagia melihat KPK menjadi demikian mentereng.

KPK mentereng, baru didukung. Mari kita buat lembaga-lembaga lain menjadi mentereng, kita akan mendukung­nya. Mari berlomba dengan KPK, usahakan lembaga lain lebih bagus dari KPK dan dukungan akan berdatangan. Rakyat tak pernah dibayar oleh KPK supaya memberi dukungan kepada lembaga itu. Rakyat mendukung karena bisikan hati nuraninya sendiri.

KPK mentereng, tak perlu dimusuhi.  KPK itu milik bangsa. Jadi, juga milik kita semua. Tin­dakannya memberantas korup­si secara adil patut menjadi suri teladan kita. []

KORAN SINDO, 19 April 2017
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar