Pancasila dan Penyakit Antikeragaman
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
EDITORIAL harian Media Indonesia, Kamis (30/3), bertajuk
Antikeberagaman kian Mencemaskan membuat kita harus menarik napas panjang.
Sejumlah pertanyaan kemudian menyusul begitu saja. Benarkah sedemikian
mengkhawatirkan kondisi kebangsaan kita? Apakah betul penghayatan terhadap
nilai-nilai keberagaman sudah sangat luntur? Saya ingin memulai menjawab
kegelisahan pertanyaan itu dengan sebuah inisiatif kecil yang beberapa waktu
lalu saya tempuh. Insiatif itu, terus terang saya ambil sebagai wujud ekspresi
kekhawatiran saya atas merebaknya semangat menghargai perbedaan antara elemen
bangsa. Saya membuat video pendek berdurasi satu menit yang saya sebarkan via
akun media sosial Instagram yang saya miliki. Video itu saya beri tajuk Makna
Perbedaan. Isinya berupa grafis visual soal bagaimana seharusnya kita memaknai
perbedaan. Saya membuka video itu dengan kalimat.
"Saat engkau melihat awan di langit membentuk lafaz Allah,
engkau berkata: inilah tanda kebesaran Allah. Namun, saat engkau melihat manusia
yang berbeda-beda suku, rasa, agama, golongan, engkau malah menganggap mereka
musuh yang harus dibunuh dan diperangi. Mengapa tak kau lihat tanda
kebesaran-Nya?" Apa hasilnya? Video itu dilihat ratusan ribu orang. Ia
menyebar begitu masifnya. Bahkan, belakangan saya tahu, beberapa kalangan
selebgram juga ikut menyebarkan video itu. Saya menangkap ada semacam dahaga
asupan renungan untuk memaknai dan menyikapi keberagamaan yang dirasakan
kebanyakan kita. Saya menyebut kegiatan itu sebagai dakwah virtual. Sebuah
ikhtiar dakwah atau ajakan yang mediumnya berupa dunia digital. Hal ini sudah
mulai marak dilakukan, utamanya di Nahdlatul Ulama (NU) dengan gerakan netizen
NU-nya. Lalu hubungannya apa dengan kebinekaan?
Tentu saja titik tekan yang ingin saya sampaikan ialah semangat
memaknai perbedaan di bangsa kita memang belakangan terindikasi memudar.
Maraknya kelompok yang anti liyan dan cenderung membenarkan pandangannya
sendiri adalah tanda utama memudarnya semangat menghargai keragaman ini.
Penting untuk disadari bahwa kita hidup bergelimang perbedaan. Antara satu
dengan yang lainnya sudah pasti berbeda. Itulah yang disebut dengan istilah
binneka. Kita tidak bisa menolak perbedaan. Yang bisa kita lakukan ialah
mengolahnya menjadi energi yang positif dan berguna. Yang bisa kita kerjakan
ialah meletakkan perbedaan sebagai bahan baku mencari titik-titik persamaan
sekaligus mentransformasikannya menjadi kekuatan positif. Saya sepakat dengan
pendapat yang mengatakan, ibarat benda, Indonesia benda yang berbahan baku
perbedaan. Ia harus dirajut dan ditenun. Pekerjaan merajut dan menenun ialah
tugas kita bersama agar kain keindonesiaan itu tidak terkoyak atau bahkan
robek. Saya ingin mengatakan, secara terminologis, ada yang patut untuk
dikritik dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu.
Sejak kanak-kanak jika selalu diajari bahwa arti dari Bhinneka
Tunggal Ika ialah meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Padahal jika
kita telaah lebih dalam manakah di kalimat Bhinneka Tunggal Ika itu yang
bermakna satu? Kata tunggal artinya bukan satu, melainkan hanya satu, the only,
satu-satunya. Tunggal berarti tiada duanya, bukan satu, melainkan satu-satunya.
Jadi, Bhinneka Tunggal Ika itu artinya berbeda-beda, tapi hanya satu jua. Makna
berbeda-beda, tapi hanya satu jua ini mengandaikan Indonesia yang berbahan baku
beragam aneka suku, bangsa, budaya dan juga karakter ini bisa melebur hanya
satu-satunya menjadi dan dalam wadah Indonesia yang tiada duanya. Dalam kaitan
menyatunya kebinekaan itu, yang patut untuk disadari ialah bukan dengan cara
menghilangkan identitas asalnya, tapi sebaliknya identitas dan budaya asal
justru harus diperkuat adanya. Ini mutlak diperlukan karena banyaknya pandangan
yang menyatakan bahwa jika kita ingin menjadi Indonesia, kita harus meninggalkan
budaya asli kita.
Kerap kita temui cemoohan anak muda di Ibu Kota terhadap rekannya
dari Jawa, Madura, atau Batak yang mengejek serta mengolok-olok corak bahasa
Indonesianya yang katanya medok rasa Jawa, Madura, dan juga Batak. Padahal,
ibarat makanan, Indonesia ialah rujak. Untuk menjadi rujak yang berkualitas
baik, diperlukan bahan baku yang baik pula. Rujak itu membutuhkan cabai dengan
kualitas nomor satu, mentimun yang segar, petis udang yang asli. Kualitas bahan
baku itulah yang membuat rujak itu menjadi rujak nomor satu. Artinya, untuk
menjadi Indonesia kita harus tetap menjaga keragaman serta keaslian budaya
kita, bukan malah sebaliknya menghilangkannya. Kebinekaan itu harus kita kelola
dan kita rayakan. Bahkan manusia memang secara fitrah diciptakan dalam beragam
macam perbedaan. Dalam Alquran disebutkan "Yaa ayyuhannas inna kholaqnakum
min dzakarin wa unsta wajaalnaakum suuban waqobaila lita'arofu," yang
berarti, Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan
perempuan dan aku menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal." Pada hemat saya, menjamurnya gerakan-gerakan yang
antiliyan akhir-akhir ini disebabkan minimnya kesadaran dan penghargaan kita
terhadap realitas kemajemukan yang ada. Kita mungkin sudah lupa bahwa betapa
realitas konstruksi keindonesiaan dibangun di atas konsensus perbedaan yang
disatukan sebuah cita-cita menuju kehidupan yang makmur, merdeka, dan
bermartabat.
Kerap kita temui cemoohan anak muda di Ibu Kota terhadap rekannya
dari Jawa, Madura, atau Batak yang mengejek serta mengolok-olok corak bahasa
Indonesianya yang katanya medok rasa Jawa, Madura, dan juga Batak. Padahal,
ibarat makanan, Indonesia ialah rujak. Untuk menjadi rujak yang berkualitas
baik, diperlukan bahan baku yang baik pula. Rujak itu membutuhkan cabai dengan
kualitas nomor satu, mentimun yang segar, petis udang yang asli. Kualitas bahan
baku itulah yang membuat rujak itu menjadi rujak nomor satu. Artinya, untuk
menjadi Indonesia kita harus tetap menjaga keragaman serta keaslian budaya
kita, bukan malah sebaliknya menghilangkannya.
Kebinekaan itu harus kita kelola dan kita rayakan. Bahkan manusia
memang secara fitrah diciptakan dalam beragam macam perbedaan. Dalam Alquran
disebutkan "Yaa ayyuhannas inna kholaqnakum min dzakarin wa unsta
wajaalnaakum suuban waqobaila lita'arofu," yang berarti, Wahai manusia
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan aku
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."
Pada hemat saya, menjamurnya gerakan-gerakan yang antiliyan akhir-akhir ini
disebabkan minimnya kesadaran dan penghargaan kita terhadap realitas
kemajemukan yang ada. Kita mungkin sudah lupa bahwa betapa realitas konstruksi
keindonesiaan dibangun di atas konsensus perbedaan yang disatukan sebuah
cita-cita menuju kehidupan yang makmur, merdeka, dan bermartabat. []
MEDIA INDONESIA, 1 April 2017
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar