Belajar dari Risalah Sarang
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Sebanyak 99 ulama karismatik berkumpul dalam sebuah forum yang
sangat istimewa, ”Silaturrahim Nasional Ulama Nusantara”, di Sarang, Rembang.
Mengapa saya menyebutnya istimewa, setidaknya karena dua alasan.
Pertama, berkumpulnya kiai karismatik ini praktis jarang kita temui pasca-era
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Zaman Gus Dur, kita mengenal istilah kiai khos
yang dari merekalah ”isyarat langit” bisa kita peroleh. Kedua, jika kiai
karismatik berkumpul, bisa dipastikan sedang ada masalah serius yang sedang dihadapi,
terutama menyangkut bangsa ini.
Terlebih, sejarah mencatat bahwa dari rahim kiai-kiai
karismatiklah konsep nasionalisme itu salah satunya dipahat. Sebagai contoh
kecil adalah soal diktum hubbul warhan minal iman yang dicetuskan KH Hasyim
Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
Sejarah membuktikan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia memandang
hubungan agama dan negara sudah terjembatani dengan baik dengan dibentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ideologi Pancasila sebagai bentuk
final. Bahkan, Nahdlatul Ulama (NU) telah memutuskan hal ini lewat Muktamar
XXVII tahun 1984. Keputusan menerima Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final
merupakan kelanjutan momentum bersejarah yang pernah diputuskan NU pada tahun
1936 saat Muktamar Banjarmasin yang menyatakan Indonesia merupakan darul Islam.
Nasionalisme atau rasa cinta tanah air umat Islam Indonesia,
meminjam Said Aqil Siroj (2016), adalah nasionalisme yang lahir dari nurani
yang paling dalam, bukan semata-mata kesadaran politik, melainkan lebih dari
itu juga kesadaran ideologis dan bahkan mitis. NU sadar bahwa bernegara adalah
salah satu wahana untuk mengejawantahkan nilai-nilai agama. Beragama yang baik
tentu saja tidak cukup dengan ibadah ritual semata, tetapi juga ibadah sosial
harus dijaga.
Tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
bisa dijadikan pedoman untuk mengukur apakah penyelenggaraan negara yang
dijalankan oleh pemerintah selama ini telah sesuai dengan garis-garis yang
dirumuskan para pendiri negara. Apakah negara sudah melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia? Apakah negara sudah memajukan kesejahteraan
umum? Apakah negara sudah menunaikan kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa? Apakah negara sudah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial?
Jika kita cermati lebih jauh, sungguhpun cita-cita para pendiri
negara belum bisa sepenuhnya direalisasikan dengan baik. Pada kenyataannya,
memang berbagai upaya terus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Kebijakan demi
kebijakan terus dilakukan seiring dengan silih bergantinya pemerintahan, tetapi
sejumlah persoalan serius nyatanya masih menghadang bangsa ini.
Sebut, misalnya, dalam bidang pembangunan dan ekonomi.
Perekonomian yang terlalu berfokus pada pertumbuhan, tetapi kurang
memperhitungkan secara matang aspek pemerataan, telah menimbulkan jurang
kesenjangan yang luar biasa. Indeks rasio gini kita adalah 0,041. Ini persoalan
yang sangat serius. Padahal, Islam mengajarkan, selain aspek pertumbuhan, aspek
pemerataan itu merupakan hal yang esensial dan penting adanya.
Temuan terbaru menunjukkan laju kesenjangan antara orang kaya dan
orang miskin di Indonesia merupakan yang tercepat di kawasan Asia Tenggara.
Empat orang terkaya (konglomerat) Indonesia melebihi kekayaan seratus juta
penduduk Indonesia di struktur terbawah. Bahkan, ada satu perusahaan keluarga
yang menguasai 3 juta hektar lahan.
Ini menandakan kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah lebih
kental bernuansa liberal-kapitalistik daripada melaksanakan kebijakan ekonomi
konstitusi (amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33) sebagaimana mestinya.
Sementara itu korupsi masih merajalela di tengah-tengah negeri
yang 28 juta-30 juta penduduknya masih menghadapi problem kemiskinan ini.
Perilaku korup menjangkiti hampir semua elemen masyarakat dan struktur
kenegaraan. Baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Belum
lagi negeri ini sedang menghadapi darurat narkoba, maraknya paedofilia
(kekerasan seksual terhadap anak), juga masalah perdagangan manusia dan LGBT
(lesbian, gay, biseksual, dan transjender).
Di sisi lain, tren perkembangan politik global mengarah pada makin
mengerasnya ide-ide konservatif yang tidak bersahabat terhadap penduduk imigran
(Hadiz: 2017). Ini adalah perkembangan terakhir di tingkat global yang sangat
mengkhawatirkan semua pihak. Dari setiap terjadinya pergantian kekuasaan
negara, arus konservatisme terus menguat, baik di Eropa maupun di Amerika
Serikat. Perkembangan ini akan berujung pada kemungkinan terbukanya konflik
antarnegara, yang cepat atau lambat akan berpengaruh pada negara kita.
Sementara perkembangan Islam di Timur Tengah terus bergerak ke
arah yang tidak menggembirakan. Pandangan keagamaan yang kaku dan cenderung
menyalahkan orang lain sudah menjadi komoditas yang dengan sangat mudah kita
temui dalam kehidupan sehari-hari. Timur Tengah, yang semula diharapkan menjadi
kiblat percontohan dari pengejawantahan Islam rahmatan lil alamin, kini malah
jadi semacam pabrik yang memproduksi ideologi Islam radikal yang anti pada
kemajemukan (Ismail: 2017). Ideologi ini diekspor ke sejumlah negara, termasuk
Indonesia.
Kondisi terkini, di Indonesia sedang terjadi tarik-menarik dua kekuatan
yang sedang berkembang. Satu paham didasarkan pada liberalisme, sementara di
pihak lain sedang berkembang sebuah paham yang didasarkan pada semangat
ortodoksi dan puritanisme yang disalahartikan.
Keterpanggilan ulama khos
Pelbagai situasi di atas adalah beberapa di antara
persoalan-persoalan penting yang dibahas secara serius oleh ulama-ulama
karismatik di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Lima poin yang dihasilkan dari
pertemuan tersebut dibingkai dalam sebuah keputusan yang diberi tajuk ”Risalah Sarang”.
Kerangka yang ingin dibangun oleh Risalah Sarang tersebut tampaknya adalah
pentingnya kembali untuk berperilaku ”moderat”, toleran, demokratis, dan selalu
mengedepankan akhlakul karimah (Tajuk Kompas, ”Kembali ke Jalur Moderat”,
21/3).
Kelimanya meliputi, pertama, NU mengajak segenap elemen bangsa
untuk senantiasa menjaga negara dari berbagai kemungkinan yang mengancam dan
memecah belah. Sikap moderat dan toleransi menjadi kata kunci yang harus terus
dipelihara demi menjaga keutuhan bangsa.
Kedua, sulitnya bertemu dengan yang namanya keadilan adalah sumber
utama dari pelbagai persoalan: ekonomi, hukum, dan tentu saja pendidikan.
Jurang yang terlalu lebar antara si miskin dan si kaya, penegakan hukum yang
masih beraroma tebang pilih, dan juga sulitnya akses pendidikan bagi kaum papa
adalah persoalan serius menyangkut keadilan.
Kondisi yang demikian itu pada prinsipnya menyalahi apa yang sudah
digariskan dalam jargon fikih: tasharraful imam ala raiyyah mauuthun bil
mashlahah. Kebijakan pemimpin harus terutama didasari untuk mewujudkan
kemaslahatan rakyat.
Ketiga, efek negatif dari revolusi komunikasi di era digital ini
menyebabkan keresahan yang tidak remeh. Berita palsu, fitnah, dan juga ujaran
kebencian menjadi persoalan sehari-hari yang menghiasi kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. Jurnalisme gosip yang tidak mengindahkan sama sekali kaidah
jurnalisme menjadikan berita palsu dan fitnah begitu mengecambah bak cendawan
di musim hujan.
Pada saat yang sama, minimnya literasi membuat bangsa kita
terseok-seok di hadapan perubahan. Masyarakat menjadi mudah terpecah belah dan
terpolarisasi hitam putih pro dan kontra di nyaris seluruh persoalan bangsa,
termasuk dalam peristiwa pemilihan kepala daerah. Solusi yang harus dicoba
adalah dengan meningkatkan edukasi agar kemampuan literasi bagi masyarakat
meningkat. Ini penting dilakukan sebagai bentuk penyesuaian agar kita tidak
tumbang digerus perkembangan dan perubahan zaman.
Keempat, pemimpin harus benar-benar menjadi pengayom masyarakat.
Di dalam level masing-masing pemimpin harus bisa menjelma menjadi sosok yang
”ngemong’”, bukan sebaliknya menjadi sosok yang provokatif dan cenderung
memasok bahan bakar kebencian kepada umatnya.
Kelima, perlunya dihelat pertemuan antarelemen bangsa untuk
membahas serta mendudukkan segala persoalan yang sedang mendera. Pertemuan ini
penting sebagai sarana untuk mencari solusi dan langkah-langka konkret dalam
menghadapi persoalan kebangsaan.
Penting untuk dicatat bahwa kemampuan yang hilang dari mayoritas
bangsa ini adalah kemampuan untuk mendengar. Belakangan, bangsa ini kelihatan
lebih rewel dan banyak komentar. Sebaliknya, bangsa ini tampaknya hanya sedikit
sekali mendengar. Dan, pada pertemuan antarelemen itu diandaikan tiap-tiap
pihak belajar untuk mendengarkan, menghargai, untuk kemudian saling memahami.
Alhasil, Risalah Sarang adalah suara kiai-kiai sepuh yang
berbicara dengan hati. Dan, senyatanyalah apa yang dihasilkan dari pertemuan
tersebut dimaksudkan untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara yang kita cintai
ini. Setali tiga uang dengan hal itu, hendaknya semua elemen bangsa lebih
reflektif dan mengoreksi ke dalam dirinya masing-masing tanpa perlu saling
menuding dan menyalahkan satu sama lain. []
KOMPAS, 10 April 2017
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar