Prananda,
Puan, atau yang Lain?
Oleh:
Budiarto Shambazy
Ketua
Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang
mengernyitkan dahi. Dalam pidato peresmian Kantor DPP Banteng Muda di Jakarta,
Kamis (30/4), Megawati yang baru saja genap berusia 70 tahun mengungkapkan
keinginan pensiun dari dunia politik. Dengan kata lain, Megawati membuka
kemungkinan mengundurkan diri dari jabatan ketua umum partai sebelum kongres
yang dijadwalkan tahun 2020.
Barangkali
pernyataan itu cuma pelampiasan dari kegundahan sesaat, sekadar ingin mengetes
pasar politik. Namun, bisa juga hal serius karena Megawati sudah terlalu lama
menjadi ketua umum partai. Megawati mencetak rekor ketua umum partai terlama
yang pernah menjabat dalam sejarah, sebuah pencapaian luar biasa.
Ia
memulai karier politik pada masa Orde Baru, meletuskan perlawanan terhadap
Presiden Soeharto, mencatat kemenangan Pemilu 1999, gagal mempertahankan gelar
juara pada Pemilu 2004 dan 2009, serta kembali merebut kemenangan pada Pemilu
2014. Ia gagal menjadi presiden dalam pemilihan di MPR 1999, menggantikan
Abdurrahman Wahid sebagai presiden 2001-2004, dan dua kali mencalonkan diri
sebagai presiden, yaitu pada 2004 dan 2009.
Pasang-surut,
naik-turun, dan suka-duka politik telah ia lalui dalam waktu panjang. Wajar
jika tiba-tiba ia merasa jenuh sekalipun jalan terjal perjuangan masih
menghadang. Betul atau tidak ia akan mengundurkan diri, baik dengan tiba-tiba
maupun di kongres 2020, ini jadi sinyal bagi semua pengurus PDI-P untuk
mengantisipasinya.
Namun,
rasanya mustahil Megawati mengundurkan diri karena ia akan menunggu kongres
tahun 2020. Lagi pula PDI-P sampai detik ini adem ayem saja, belum dilanda
”konflik internal” antara hidup dan mati sampai mengganggu partai. Apalagi,
Megawati sebagai ketua umum periode 2010-2015 terbilang sukses memenangi Pemilu
2014 dan, khususnya, Pilpres 2014 yang diadakan secara langsung sejak 2004.
Bayangkan,
setelah 10 tahun jadi oposisi, PDI-P memenangi Pemilu 2014 walau masih jauh di
bawah target 27 persen suara. Kader partai, Joko Widodo, terpilih sebagai
presiden. Dalam masa keemasan PDI-P ini, Megawati dipandang sebagai tokoh
politik paling berpengaruh di republik ini.
Megawati
mustahil mengundurkan diri karena akar rumput tidak akan bergerak membangkang
atau patuh selain pada saat kongres saja. Telah terbukti pada empat kali
kongres, Megawati terpilih secara aklamasi. Suka atau tidak, akar rumput tetap
meyakini warisan Soekarnoisme masih terpatri pada sosok putri tertuanya itu.
Terlepas
dari ”cerita-cerita sukses” tersebut, kondisi kekinian PDI-P tidaklah imun dari
berbagai masalah yang dapat menyuramkan masa depan partai. Setelah Taufiq Kiemas
tutup usia 8 Juni 2013, hilang sudah sosok politisi/aktivis ulung yang
pragmatis sekaligus kompromistis, yang, seperti peselancar, piawai meniti buih.
Dalam sepak bola, Taufiq Kiemas ibarat playmaker yang mengotaki pertandingan.
Betul
Megawati memang lebih leluasa menjalankan roda day-to-day politics. Namun, juga
ada kerugian besar karena ketiadaan sang suami yang terbiasa berperan sebagai
the devil’s advocate. Para pengurus DPP cenderung sungkan kepada Megawati,
hanya satu-dua yang nyaris seusia dia yang ”berani bicara”, misalnya Emir
Moeis.
Rasa
sungkan terhadap Megawati terbilang wajar karena hubungan yang bersifat
patron-client (bapak-anak buah) berhubung perbedaan usia yang cukup jauh.
Namun, kelemahan ini cukup tertutupi oleh fakta bahwa tak sedikit kader di luar
trah yang mumpuni, seperti Sekjen Hasto Kristiyanto dan Wasekjen Utut Adianto.
Belum lagi yang berkiprah di birokrasi, seperti Mendagri Tjahjo Kumolo dan
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta.
Bahwa
trah Soekarno yang harus melanjutkan kepemimpinan partai, itu mungkin benar. Di
lain pihak, estafet kepemimpinan dinasti partai politik di dunia ini, termasuk
di Indonesia, memang cukup kompleks. Sebagian pemilih yang pejah gesang nderek
Gusti mengharapkan semacam hasil ”fotokopi” yang mendekati sosok tulen Soekarno
pada anak ataupun cucunya.
Padahal,
mustahil mengharapkan kedatangan ”Soekarno baru” dari trah tersebut. Politik
kita makin hari makin membumi dan makin mudah dikelola, antara lain dengan
menyesuaikan diri dengan selera pasar/pemilih. Dalam konteks itu, mungkin tidak
sulit memasarkan produk dinasti, seperti Puan Maharani dan Prananda Prabowo.
Masalahnya,
mereka mungkin belum maksimal memanfaatkan peluang untuk muncul. Megawati
adalah orang yang sungkan berbicara secara terbuka dalam soal ini, lebih suka
membimbing dari belakang sembari mengamati dari kejauhan. Ia mungkin juga masih
menjaga perasaan kader-kader lain karena politik dinasti kadang masih dipandang
dengan sinis.
PDI-P,
seperti halnya partai lain, merupakan korporasi (bukan lagi sekadar partai
politik) yang sudah berjalan sesuai lajur ideologi, program, dan aksi nyata.
Cepat atau lambat, masalah regenerasi kepemimpinan merupakan keniscayaan yang
harus diantisipasi. Apakah Puan atau Prananda yang disiapkan PDI-P untuk menggantikan
ibu mereka atau barangkali kader ideologis lainnya, itu akan jadi debat menarik
untuk diikuti secara saksama. []
KOMPAS, 8
April 2017
Budiarto
Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar