Kontribusi
Agama dalam Keindonesiaan
Oleh:
Akbar Tandjung
Dalam
dinamika kontestasi politik Indonesia belakangan ini, ada kesan seolah sebagian
umat Islam anti-keanekaragaman.
Kesan itu
kian menguat seiring munculnya gerakan-gerakan radikal yang membawa nama agama.
Hal ini bisa berkonsekuensi pada generalisasi pendapat bahwa umat Islam di Indonesia
telah tergerus komitmennya pada kebinekaan sehingga dapat dianggap sebagai
kelompok yang intoleran, jauh dari sikap menghormati dan menghargai pihak lain
yang berbeda.
Ditinjau
dari perspektif historis, hal itu jauh dari kenyataan, mengingat umat Islam di
Indonesia memiliki kontribusi besar dalam pembentukan dan perjalanan kehidupan
bangsa. Rekam jejak kontribusi dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia
sangat nyata dan jelas. Demikian pula partisipasinya dalam merumuskan
nilai-nilai dasar Indonesia yang merdeka.
Lahirnya
Pancasila sebagaimana kita kenal selama ini tak lain gagasan dan pandangan dari
The Founding Fathers yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mewakili
berbagai umat beragama, khususnya Islam.
Mereka
menyusun sila-sila dalam Pancasila dengan penuh kearifan dan semangat
persatuan, termasuk ketika pada akhirnya disepakati sila pertama,
"Ketuhanan Yang Maha Esa", pagi hari menjelang Sidang Pertama Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945, yang agenda utamanya
adalah pengesahan UUD Negara Republik Indonesia dan pemilihan presiden-wakil
presiden pertama, yakni Soekarno-Hatta.
Dengan
demikian, Indonesia merupakan negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Nuansa
keagamaan atau religiositas kebangsaan kita juga ditegaskan dalam alinea ketiga
Pembukaan UUD 1945, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".
Bahkan,
secara khusus, dalam batang tubuh UUD 1945 Bab IX tentang agama disebutkan
dalam Pasal 29, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" (Ayat
1), dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu" (Ayat 2).
Hal itu
tak berarti Indonesia negara agama dalam pengertian sistem politik dan
ketatanegaraannya merupakan derivasi formalisasi syariat keagamaan. Indonesia
juga bukan negara sekuler, mengingat nilai-nilai substansial dan universal dari
agama-agama yang ada punya peranan penting membentuk dan memperkuat
keindonesiaan.
Islam,
kebinekaan, dan keindonesiaan
Karakter
Islam di Indonesia pada hakikatnya menggambarkan Islam yang rahmatan lil
alamin,rahmat bagi semesta alam. Karena itu, apabila ada peristiwa-peristwa
yang bisa dikategorikan sebagai bentuk dari radikalisasi keagamaan, maka itu
pasti bukan mencerminkan sejatinya karakter Islam. Dalam konteks inilah,
cendekiawan Islam, Nurcholish Madjid, menyebutkan, Islam yang rahmatan lil
alamin bercirikan menghormati keberagaman, inklusif, toleran, dialogis,
mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, tak ekstrem (ummatan
wasathan), dan sejalan nilai-nilai kemodernan dan demokrasi.
Pemikiran-pemikiran
tersebut sudah melekat dalam sistem perkaderan HMI dengan platform Nilai-nilai
Dasar Perjuangan (NDP) yang dikembangkan terutama oleh Nurcholish Madjid,
bahkan disahkan dalam Kongres IX HMI di Malang pada 1969. Demikian pula,
organisasi-organisasi keagamaan Islam arus utama, terutama Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, menggambarkan wajah Islam Indonesia sebagaimana ciri-ciri di
atas. Mereka mengetengahkan Islam secara substansial dan tak menghendaki
formalisasi agama dalam produk-produk kenegaraan.
Dalam
semangat memperkokoh keindonesiaan perlu terus dibangun komunikasi dan dialog
antar-berbagai komunitas keagamaan. Khususnya umat Islam diharapkan agar tak
terpengaruh ide-ide dan gerakan-gerakan radikal yang kini banyak berkembang di
beberapa negara di dunia, khususnya Timur Tengah. Selain itu, juga sangat
dibutuhkan pendidikan tentang pemahaman dan penghormatan terhadap keberagaman
sejak dini bagi anak-anak didik, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga. []
KOMPAS,
22 April 2017
Akbar
Tandjung | Ketua Umum PB HMI (1972-1974)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar