Pilkada Berkeadaban
Oleh: Azyumardi Azra
Hampir bisa dipastikan, Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta
putaran kedua, Rabu besok, adalah pilkada terpanas dan paling ketat. Dalam
ingatan bersama (collective memory), sejak pemilihan gubernur langsung mulai
tahun 2005, Pilkada DKI Jakarta kali ini boleh dikatakan paling panas.
Oleh karena itu, tak heran jika banyak juga kalangan luar negeri
memberikan perhatian khusus pada Pilkada DKI Jakarta. Dalam percakapan penulis
dengan kalangan pemerintahan, politisi, dan masyarakat di Berlin, London, dan
Amsterdam, mereka melihat Pilkada DKI Jakarta sebagai kasus menarik. Isu double
minority dan tuduhan penodaan agama dapat memengaruhi proses dan hasil
demokrasi.
Pilkada DKI Jakarta juga sangat memecah belah (divisive). Ada
mertua marah kepada anak dan menantu yang berbeda pilihan. Juga sering
ditemukan pertemanan yang rusak karena perbedaan perilaku pemberian suara
(voting behavior). Pilkada DKI Jakarta yang panas berbeda dengan pemilu tingkat
nasional, baik untuk lembaga legislatif (DPR dan DPD) maupun eksekutif
(presiden), terakhir pada 2014. Dalam pemilu, pemilih umumnya tidak terlalu
terkait emosional dengan calon atau partai pengusung. Sebaliknya, dalam
pilkada, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pemilih
cenderung lebih melekat emosional dengan pasangan calon yang bertarung.
Karena itu, kekerasan yang terjadi di seputar pemilu kebanyakan
terkait pilkada. Ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pilkada tidak jarang
berujung aksi massa yang mengamuk dengan merusak fasilitas umum.
Sikap emosional massa dalam menyikapi proses dan hasil pilkada
juga banyak terkait kepentingan warga, baik secara politik, sosial, budaya,
maupun agama. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta bahkan isu agama menjadi
terkait atau dikaitkan langsung oleh kelompok dan kalangan pemilih dengan
agama.
Oleh karena itu, dalam berbagai literatur tentang pemilu lokal
disimpulkan, pilkada di tingkat provinsi (negara bagian) dan kota/kabupaten
pada praktiknya hampir selalu lebih penting daripada pemilu legislatif dan
pemilu presiden di tingkat nasional.
Kenapa demikian? Hasil pemilu pada tingkat nasional tak terkait
banyak dengan kepentingan warga di tingkat lokal. Kebijakan pada tingkat
nasional malah sering mengabaikan masyarakat lokal di daerah tertentu. Pilkada
seolah menjadi pertaruhan, tidak bisa ditawar-tawar, menjadi pertarungan tanpa
kompromi (zero-sum game). Apalagi pilkada itu adalah Pilkada DKI Jakarta, ibu
kota Republik Indonesia yang sering menjadi barometer bagi daerah lain.
Panasnya Pilkada DKI Jakarta menghasil- kan berbagai ekses yang
secara substantif kebanyakan bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan
antar-golongan). Ini terlihat, misalnya, dari penolakan pengurus masjid
menshalatkan jenazah yang di masa hidupnya mendukung pasangan calon tertentu.
Kasus terakhir adalah "pengusiran" calon wakil gubernur Djarot Saiful
Hidayat seusai Jumatan di sebuah masjid di Tebet, Jakarta Selatan.
Berbagai ekses itu mencerminkan bahwa menjelang Pilkada DKI
Jakarta terjadi kemerosotan keadaban (civility) secara signifikan. Bukan tidak
mungkin, tindakan tidak berkeadaban juga muncul pada hari pencoblosan 19 April.
Memang keadaban politik mesti bisa dise- maikan kepada anak-anak
dan remaja sejak dari lingkungan keluarga dan sekolah. Mereka diberi panduan
tentang kewarganegaraan yang baik, misalnya tentang berdemokrasi berkeadaban,
menghormati perbedaan pandangan dan sikap politik, serta menghindari terjerumus
ke politik divisif dan konflik.
Para pemimpin mahasiswa dari 14 perguruan tinggi di Amerika
Serikat memberikan beberapa tips tentang bagaimana menumbuhkan keadaban
politik: bersedia mendengar pandangan politik berbeda; mencari komonalitas di
antara pandangan dan sikap politik; mengakui legitimasi pandangan dan sikap
politik berbeda; menghindari penggam- baran karikaturis dan pelabelan lawan
politik; dan mempertimbangkan konsekuensi pernyataan dan sikap politik tertentu.
Meski ada panduan semacam itu, keadaban warga bisa dengan cepat
merosot. Kemerosotan keadaban terjadi ketika elite politik dan elite sosial
mengeluarkan pernyataan emosional. Atau mengambil langkah tertentu yang
meningkatkan tensi dan ketegangan dalam masyarakat luas.
Padahal, elite sosial (dan agama) semestinya dapat menenangkan
keadaan. Ketenangan sosial jelas merupakan prasyarat penting tidak hanya untuk
penyelenggaraan pilkada berkualitas, tetapi juga guna memelihara kohesi sosial
yang mutlak untuk stabilitas politik dan pembangunan.
Dalam konteks itu, masing-masing pasang- an calon dengan elite
politik dan elite sosial keagamaan mesti mengadopsi sikap "siap menang,
siap kalah" dalam menyikapi hasil pilkada. Dengan cara begitu,
masing-masing pihak bisa menghindari terjerumusnya massa ke dalam aksi
kekerasan dan anarki.
Penegakan kembali keadaban, seperti dalam situasi Pilkada DKI
Jakarta yang panas, tak bisa hanya dengan imbauan moril kepada pasangan calon
serta elite politik dan elite sosial-keagamaan. Di sini perlu peran aparat
keamanan dan penegak hukum. Aparat penegak hukum, misalnya, harus memastikan
tidak ada intimidasi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat
memengaruhi pemilih di tempat pemungutan suara.
Tak kurang pentingnya adalah pengamanan penghitungan suara. Aparat
penegak hukum agar menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk memastikan tidak
terjadi kericuhan. Taruhannya terlalu besar untuk stabilitas politik dan
pembangunan. Seyogianya semua pihak memastikan Pilkada DKI Jakarta berlangsung
damai, umum, dan rahasia. []
KOMPAS, 18 April 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar