Senin, 10 April 2017

Mahfud MD: Ada Asa untuk Indonesia



Ada Asa untuk Indonesia
Oleh: Moh Mahfud MD

BANYAK di antara kita yang merasa cemas akan masa depan Indonesia. Mereka cemas dan bertanya, jika situasinya seperti sekarang, sampai berapa lama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa bertahan?

Jika ikatan kebersatuan kita sudah mulai diganggu oleh rasisme, intoleransi, dan radikalisme, bisakah NKRI dipertahankan sesuai dengan jati dirinya yang selalu bersatu dalam keberagaman? Kecemasan seperti ini bukan hanya tumbuh di Tanah Air, tetapi juga menghinggapi putra-putri bangsa yang ada di luar negeri.

Pada awal pekan ini (tanggal 3 dan 4 April 2017), saya diundang untuk berbicara di depan simposium Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) kawasan Timur Tengah dan Afrika yang dilangsungkan di Kota Madinah, Arab Saudi.

Di dalam ToR yang dikirim kepada saya dikemukakan kekhawatiran, sekarang rajutan kebangsaan mulai mendapat ujian. Rasisme dan diskriminasi mulai terlihat merambat masuk ke kehidupan berbangsa, khususnya generasi muda.

Paham liberalisme yang merupakan produk impor mulai menanamkan benih-benih individualisme. Yang dikhawatirkan oleh PPI itu tidak berlebihan sebagai potret atas gejala.

Kita bisa melihat hal tersebut, misalnya, melalui ekspresi seperti unjuk rasa dan suara-suara di media sosial yang sangat marak. Saya dan narasumber lain yang hadir, yakni Muhammad Nuh, Gumilar Rosliwa Somantri, Dien Syamsuddin, mengajukan pandangan yang sama bahwa secara prinsip, konsep, dan sistem ideologi negara kita, Pancasila, masih kuat dan kukuh untuk menjaga kelangsungan NKRI.

Kita masih punya tekad untuk bersatu sebagai bangsa dengan dasar ideologi negara Pancasila. Yang menjadi masalah adalah soal konsistensi penyelenggaraan negara sehari-hari, bukan pada dasar konseptual yang sudah dijadikan sebagai kesepakatan luhur bangsa.

Masalah kita adalah ketidakadilan serta kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Hal-hal itu yang justru mengancam kebersamaan dan keberagaman kita, bukan ras dan bukan agama atau masalah SARA lainnya.

Tidak tegaknya hukum dan keadilan era-era sebelum reformasi terus berlanjut sehingga menimbulkan gejala kebiasaan melanggar hukum dan saling sandera sehingga hukum dan keadilan sulit ditegakkan.

Dalam situasi politik sehari-hari, problem lemahnya penegakan hukum dan keadilan ini disertai dengan maraknya korupsi yang kemudian diikuti pula dengan munculnya sentimen primordial yang mengganggu tenun kebersatuan dalam kebangsaan kita.

Jadi sebenarnya masalah pokok yang kita hadapi sekarang ini bukanlah problem atas tenun kebersatuan sebagai prinsip dan konsepsi yang sudah menjadi modus vivendi (kesepakatan luhur), melainkan soal lemahnya penegakan hukum dan keadilan.

Lemahnya penegakan hukum dan keadilan yang disertai dengan semakin menganganya jurang antara yang kuat dan yang lemah secara ekonomi (seperti bisa dilihat pada index gini ratio) sering dijadikan alat untuk memprovokasi atau menggalang gerakan yang berbau SARA atau memancing radikalisme. Banyak orang yang terjebak di dalam gerakan radikal atau perlawanan politik karena dipicu isu ketidakadilan.

Dengan demikian kunci utama untuk tetap menjaga tenun kebangsaan kita adalah penegakan hukum dan keadilan. Ke depan nasionalisme untuk menjaga kesetiaan kita kepada bangsa dan negara harus dibangun dengan basis penegakan hukum dan keadilan.

Lagipula sebenarnya masih banyak catatan kemajuan yang bisa memberi asa (harapan) bagi masa depan NKRI. Pada saat ini demokrasi sudah tumbuh dengan cukup baik meskipun ada yang menilainya masih lebih mengutamakan demokrasi prosedural.

Indikasinya, pemilu sudah bisa diselenggarakan secara lebih bebas karena rakyat bisa memilih sendiri tanpa tekanan. Selain penyelenggaranya dilakukan oleh KPU sebagai lembaga independen, pemilu kita juga sudah dikawal oleh sebuah lembaga peradilan, yakni Mahkamah Konstitusi, yang bisa mengadili kecurangan-kecurangan dan meluruskan kesalahan-kesalahan.

Kalaupun di Indonesia ada kecurangan-kecurangan di dalam pemilu, misalnya money politics, hal itu bukan dilakukan atas rekayasa sepihak oleh penguasa, melainkan dilakukan sendiri oleh aktor-aktor politik di lapangan yang melibatkan aktivis lintas politik dan warga masyarakat. Ini sudah jauh berbeda dengan era Orde Baru yang pemilunya selalu dihegemoni pemerintah. 

Kehidupan pers, tanpa harus menutup mata atas adanya penyimpangan dari netralitas politik, secara umum dapat dinilai cukup baik. Pada saat ini pers sudah bebas menyiarkan apa pun yang dilihat dan ingin disiarkannya tanpa bayang-bayang ancaman pembredelan dan penangkapan.

Dapat dicatat juga bahwa dalam era pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini telah tumbuh situasi kondusif bagi penguatan ikatan kebangsaan kita. Sebab penggabungan pilihan politik antarparpol yang berbeda-beda basis primordialnya juga tumbuh dengan baik pada era pilkada langsung.

Pada saat ini sudah tidak ada koalisi atau oposisi permanen berdasar ikatan primordial dan aliran politik. Beberapa parpol yang saling beroposisi atau berkoalisi di tingkat pusat atau di suatu daerah, sekarang sudah bisa bersatu atau bertukar koalisi di berbagai daerah lain.

PDIP dan Partai Golkar yang berhadapan dengan Partai Gerindra dan PKS di Jakarta, misalnya, bisa bersatu dan saling bertukar partner secara cair di daerah-daerah lain. Hal itu harus dicatat sebagai bagian dari kemajuan atau penguatan dalam tenun ikatan kebangsaan kita.

Pertumbuhan ekonomi kita juga termasuk yang terbaik di dunia meskipun bagi kita sendiri belum memuaskan. Situasi keamanan sehari-hari juga cukup baik.

Kita tidak harus takut pergi ke tempat umum, masuk kantor, mengantar dan melepas anak-anak ke sekolah karena keadaannya cukup aman. Bayangkan kalau hidup seperti di Syria atau beberapa kawasan Timur Tengah yang serba-mencekam karena selalu diancam oleh teror dan ledakan-ledakan bom.

Jadi ada beberapa kemajuan yang memberi asa bagi kita untuk menguatkan NKRI. Asa-asa tersebut akan bermakna dan bermanfaat jika hukum dan keadilan diusahakan untuk ditegakkan secara serius.

Tidak tegaknya hukum dan keadilan bisa menjadi perobek bagi kebersatuan yang akibatnya bisa lebih dahsyat dari bom-bom para teroris, termasuk bom kimia yang pada pekan ini menyerang Suriah.[]

KORAN SINDO, 8 April 2017
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar