Terorisme
dan Islamofobia
Oleh:
Azyumardi Azra
Kembali
ke Berlin dan London pada pekan-pekan akhir Maret dan April 2017, penulis
“Resonansi” ini menyaksikan peningkatan kesiagaan aparat keamanan
mengantisipasi aksi terorisme. Pengawasan dan pemeriksaan ketat diberlakukan di
gedung pemerintahan. Di Berlin dan London, pengunjung bukan hanya di-skrening, tapi juga harus
meninggalkan dokumen identitas seperti paspor, misalnya.
Peningkatan kewaspadaan menghadapi aksi terorisme jelas terkait dengan peristiwa London (22/3/2017), ketika pengendara truk yang kemudian diketahui bernama Khalid Masood dengan kecepatan tinggi sengaja menabrakkan truknya ke para pejalan kaki di depan gedung parlemen. Akibatnya, lima orang tewas; empat tertabrak truk dan satu polisi meninggal karena ditikam sopir truk yang kemudian ditembak mati polisi.
Kurang dua pekan setelah itu, truk lori digunakan menabrak pusat kerumunan orang di pusat perbelanjaan Ahlen di Queens Street, Stockholm, Swedia (7/4/17). Empat orang tewas dalam kejadian nestapa ini dan 15 lainnya luka-luka. Pelakunya, Rahmat Akilov, disebut pihak keamanan Swedia sebagai berasal dari Uzbekistan yang permohonan suakanya ditolak Pemerintah Swedia.
Aksi terorisme dengan menabrakkan truk ke kerumunan pejalan kaki Tampaknya menjadi mode di Eropa. Modus ini tampaknya dimulai dengan kejadian di Nice, Prancis, pada Hari Bastille (14/7/2016). Truk kargo seberat 19 ton ditabrakkan ke kerumunan pejalan kaki di Promenade des Anglais sehingga menewaskan 87 orang termasuk pelaku Mohamed Lahouaiej-Bouhlel yang berasal dari Tunisia dan melukai 434 lainnya.
Penabrakan
dengan truk kemudian terjadi di Berlin (19/12/2016). Pelaku, Anis Amri, pencari
suaka asal Tunisia, menabrakkan truknya ke kerumunan orang-orang yang sedang
berbelanja di pasar yang menjual kebutuhan Hari Natal. Akibatnya, 12 orang
tewas dan 56 luka-luka. Pelaku yang melarikan diri akhirnya tewas dalam baku
tembak dengan aparat keamanan di dekat Milan, Italia.
Aksi terorisme dengan menggunakan truk di berbagai kota di Eropa memang bukan benar-benar baru. Gerilyawan IRA (Irish Republic Army) sampai paruh kedua 1990-an juga menggunakan truk untuk menyerang berbagai target di Inggris. Berbeda dengan aksi terorisme sejak 2016, IRA menggunakan truk membawa bom dalam jumlah besar guna menghancurkan target tertentu.
Seperti
terlihat dari nama pelaku, semua pelaku aksi terorisme dengan menggunakan truk
adalah “oknum-oknum” Muslim. Aksi kekerasan yang mereka lakukan lazimnya
diklaim sebagai “aksi ISIS”. Klaim seperti ini sangat sulit diverifikasi.
Sangat boleh jadi, para pelaku lebih merupakan “lone wolf”, rubah sendirian,
yang melakukan aksi teror karena alasan pribadi.
Apa pun alasan aksi kekerasan-personal atau komunal-dengan menggunakan truk atau alat lain seperti parang atau bahan peledak, atau apakah berkaitan dengan ISIS atau tidak, yang jelas tindakan itu jauh daripada menolong Islam atau kaum Muslim. Sebaliknya, apa pun bentuk aksi kekerasan, meningkatkan kembali sikap anti-Islam atau Islamofobia di banyak kalangan masyarakat Eropa atau Barat umumnya.
Sikap
Islamofobia itu terekspresikan kian meningkat ketika partai politik dan figur
anti-Islam dan anti-Muslim-yang biasa disebut sebagai “sayap kanan”-menjadikan
aksi kekerasan itu sebagai amunisi guna mendapatkan dukungan dari konstituen di
negara masing-masing. Masih mendingan
figur politik semacam Geert Wilders, Belanda, kalah dalam Pemilu Belanda 15-16
Maret 2017. Masih harus ditunggu apakah tokoh ultrakanan Marine Le Pen,
presiden Partai Front Nasional, bakal dapat memenangi pemilu presiden 23 April
sampai 7 Mei 2017.
Dalam pertemuan dan pembicaraan penulis Resonansi ini dengan pejabat pemerintah, tokoh politik dan figur masyarakat madani di Berlin dan London, terungkap keprihatinan mendalam tentang peningkatan aksi kekerasan yang dilakukan “oknum-oknum” Muslim. Mereka menyadari, aksi kekerasan yang tersebut tidak sama sekali mewakili Islam dan kaum Muslim.
Namun, juga jelas dalam penilaian objektif mereka, aksi kekerasan tidak membuat Islam dan kaum Muslimin bisa diterima lebih baik oleh masyarakat lokal di berbagai negara Eropa. Mereka ini umumnya memilih sikap politik yang benar (politically correct) dengan tidak melakukan ngebyah uyah atau generalisasi-Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan adalah agama dan pemeluknya yang suka melakukan aksi kekerasan.
Jika kalangan elite pemerintah dan masyarakat sipil memilih sikap berhati-hati untuk tidak terjerumus ke dalam generalisasi yang dapat memperburuk keadaan bagi kaum Muslim, sebaliknya banyak masyarakat akar rumput Eropa kian menjadikan kaum Muslimin sebagai sasaran kecurigaan dan pelecehan sosial (social harassment).
Karena itu, dalam pembicaraan ada semacam kesepakatan tentang urgensi penguatan sikap moderasi dan cinta damai umat Muslimin. Dari segi doktrin, hal ini tidak sama sekali baru. Sebaliknya, menjadi bagi integral ajaran Islam. Masalahnya, apakah kaum Muslimin secara keseluruhan mau dan siap kembali ke ajaran Islam tentang kedamaian, harmoni, dan toleransi; menjauhkan diri dari aksi kekerasan apa pun bentuknya. []
REPUBLIKA,
13 April 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar