Senja
Kala Demokrasi Transaksional
Oleh:
Yudi Latif
Kemelut
yang menimpa kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah melengkapi kesempurnaan
krisis demokrasi di negara ini. Pemilihan umum menjadi ajang elevasi
orang-orang semenjana (medioker) untuk meraih kedudukan tinggi dengan
menyingkirkan orang-orang berprestasi. Panggung politik diwarnai kegaduhan
remeh-temeh. Jabatan menjadi wilayah transaksional padat modal. Undang-undang
disusun mengikuti penawar tertinggi. Supremasi hukum tersungkur di bawah logika
kepentingan kedudukan dan fasilitas. Kesenjangan lebar antara idealitas dan
realitas demokrasi, antara apa yang dipikirkan warga dan apa yang dilakukan
para penyelenggara negara.
Setiap
sistem politik harus mencapai keseimbangan di antara dua aspek fundamental:
legitimasi dan efisiensi. Legitimasi menyangkut tingkat kepercayaan dan
persetujuan rakyat pada lembaga kenegaraan dan kebijakannya. Efisiensi
menyangkut seberapa cepat pemerintahan dapat menemukan solusi tepat dalam
menjawab aspirasi dan masalah. Legitimasi berkaitan dengan dukungan rakyat,
sedangkan efisiensi berkaitan dengan tindakan lugas (decisive). Demokrasi
dikatakan sebagai bentuk pemerintahan paling sedikit keburukannya tiada lain
karena usahanya untuk mencari keseimbangan yang sehat antara legitimasi dan
efisiensi. Namun, demokrasi Indonesia saat ini justru diwarnai krisis keduanya:
miskin legitimasi dan efisiensi.
Krisis
legitimasi demokrasi Indonesia di- tandai oleh kecenderungan kian menurunnya
tingkat partisipasi warga dalam pemilu/pilkada (voter turnout), kecuali di
beberapa dae- rah yang padat politisasi identitas. Kedua, kecenderungan merosotnya
tingkat keperca- yaan dan loyalitas terhadap parpol dengan tingginya angka
pelarian dukungan (voter turnover). Ketiga, kian tingginya tingkat keti-
dakpercayaan terhadap lembaga perwakilan seperti diindikasikan hasil berbagai
survei yang menempatkan DPR sebagai lembaga paling tak dapat dipercaya.
Keempat, indeks persepsi korupsi tetap tinggi.
Krisis
efisiensi demokrasi diindikasikan oleh kemerosotan daya respons dan daya
produktivitas lembaga perwakilan dalam menyusun dan merealisasikan Program
Legislasi Nasional. Kedua, kian lamanya kegaduhan dan waktu yang diperlukan
untuk menego- siasikan urusan antara berbagai kepentingan di lembaga perwakilan
dan kian besarnya potensi kebocoran keuangan negara dalam menegosiasikan
kepentingan-kepentingan tersebut, seperti tecermin dalam persoalan KTP
elektronik. Ketiga, kecenderungan meningginya tingkat ketidakpuasan terhadap
pemimpin petahana, yang diindikasikan oleh naiknya tingkat ketidakterpilihan
petahana.
Kecenderungan
krisis demokrasi serupa itu dalam istilah David van Reybrouck (2016) sebagai
”sindrom keletihan demokrasi” (democratic fatigue syndrome). Di berbagai
belahan dunia, respons atas sindrom ini melahirkan serangan balik beragam
bentuk. Ada yang menimpakan krisis ini sebagai kesalahan elite politisi dengan
solusi populisme. Ada yang melihatnya sebagai kesalahan demokrasi itu sendiri,
dengan menawarkan teknokrasi atau berpaling ke bentuk pemerintahan lain. Ada
yang menyalahkan demokrasi perwakilan dengan solusi kembali ke model demokrasi
Athena yang menginginkan segala keputusan lewat partisipasi rakyat langsung.
Ada yang melihat akibat kelemahan sistem pemilihan demokrasi perwakilan.
Akar
tunjang dari segala krisis ini sesungguhnya bermula ketika input kepemimpinan
dalam demokrasi yang hanya mengandalkan faktor keterpilihan, mengabaikan
keterwakilan. Yang jadi perhatian dalam institutional crafting hanyalah
bagaimana orang terpilih, bukan memperbaiki mutu perwakil- an demokratis.
Akibatnya, lembaga-lembaga negara diisi orang-orang yang penuh ambisi berbekal
modal popularitas dan kantong tebal, tetapi miskin kompetensi dan tidak
mencerminkan rakyat yang diwakilinya.
Prinsip
demokrasi perwakilan Indonesia sesungguhnya telah dipikirkan sungguh- sungguh
oleh pendiri bangsa dengan mengombinasikan antara keterpilihan dan keterwakilan
dalam semangat permusyawaratan. Perwujudan terpenting dari institusi
permusyawaratan dalam demokrasi Pancasila adalah keberadaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. MPR ditempatkan sebagai mandataris kedaulatan rakyat yang
diharapkan dapat mencerminkan ekspresi seluruh kekuatan rakyat. Hal ini
tecermin dari kemampuan menampung perwakilan hak liberal-individual (perwakilan
rakyat), perwakilan hak komunitarian (perwakilan golongan), dan perwakilan hak
teritorial (perwakilan daerah).
Dalam
demokrasi permusyawaratan, persoalan legitimasi dan efisiensi dapat dicapai
sejauh demokrasi bisa berjalan dengan mengapit dua sayap: persatuan dan
keadilan. Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan dan
diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan
semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu, dan setelah demokrasi
politik dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat
mewujudkan keadilan sosial.
Negara
persatuan diperjuangkan dengan menempatkan lembaga perwakilan tidak sekadar
memperhatikan keterpilihan berdasarkan hak-hak individual, juga keterwakilan
golongan dan keterwakilan daerah (bukan keterpilihan orang dari daerah, apalagi
orang partai mengatasnamakan daerah). Sementara negara keadilan diperjuangkan
dengan menempatkan parlemen (MPR) sebagai lembaga yang menetapkan
prinsip-prinsip direktif pembangunan semesta-berencana, yang bernama
garis-garis besar haluan negara.
Untuk
itu, sistem pemilu harus dipikirkan secara sungguh-sungguh agar mampu
melahirkan mutu lembaga perwakilan yang sungguh-sungguh representatif dengan
diisi wakil-wakil rakyat yang memiliki hikmat kebijaksanaan untuk menjalankan
permusyawaratan yang positif, bukan asal akomodasi transaksional yang negatif.
[]
KOMPAS,
11 April 2017
Yudi
Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar