Rabu, 21 November 2012

(Ngaji of the Day) Pemberian Grasi, Sikap Kita dan Tinjauan Fikih


Pemberian Grasi, Sikap Kita dan Tinjauan Fikih

Oleh Zainal Fanani*

 

Maju dan mundurnya suatu bangsa terletak pada seberapa jauh kekuatan yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Kekuatan yang penulis maksud di sini adalah kekuatan moral-spiritual. Jika benteng ini kuat, maka aspek-aspek yang lain pun juga akan kuat. Karena moral-spiritual inilah yang menjadi pondasi utama kemajuan suatu bangsa. Tetapi sebaliknya, jika aspek moral ini sudah tidak kokoh, maka tinggal menunggu waktu saja untuk suatu bangsa itu akan runtuh.


Kaitannya dengan hal di atas, bangsa kita rupanya telah terjajah secara moral. Oleh karenanya, bangsa Indonesia sekarang sulit untuk maju. Bagaimana mau maju jika generasi bangsanya terserang oleh penyakit yang sangat kronis? Narkoba! Inilah virus yang sedang menyerang generasi kita, sehingga kita tidak bisa bersaing secara sehat dengan bangsa lain.


Masalah narkoba memang sudah menjadi ancaman global bagi negara-negara di seluruh dunia. Penulis ambil contoh China dan Singapura sebagai permisalan. Pada contoh dua negara ini, para pengedar dan bandar narkoba ditindak secara tegas. Bahkan pemerintah di kedua negara tersebut tidak segan-segan untuk menjatuhkan hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Salahkah tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan dua negara tersebut, dengan menghukum mati para bandar narkoba? Jawaban penulis adalah tidak! Karena memang itu adalah langkah yang paling baik demi menjaga kemaslahatan umat dan negara. Selain itu, dengan hukuman mati, juga akan menambah efek jera terhadap para pengedar dan bandar yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.


Lalu bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah juga mempunyai ketegasan seperti dua negara yang penulis sebutkan di atas, atau malah justru tunduk kepada bandar narkoba dan intervensi-intervensi pihak tertentu.


Pasalnya, beberapa saat yang lalu presiden melalui wewenangnya yang diatur dalam pasal 14 ayat 1 UUD 1945 telah memberikan grasi (ampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang dijatuhi hukuman) kepada gembong pengedar narkoba tingkat Internasional. Yaitu Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohammed Majid. Berkat pemberian grasi dari presiden itu, ia bisa lolos dari hukuman mati. Maka tidak bisa dielakkan lagi, putusan itu membuat sebagian besar kalangan merasa kecewa. Bahkan Prof. Dr. Mahfud MD, seorang pakar hukum terkemuka di Indonesia yang juga sebagai ketua Mahkamah Konstitusi sempat menyatakan bahwa, “presiden telah mendapat masukan yang salah”. Sebelumnya, pada tanggal 15 Mei 2012 presiden melalui Keppres No 22/g/2012 dan No 23/g/ 2012 juga telah memberikan grasi kepada dua orang terpidana kasus narkotika, Schapelle Corbi (warga negara Australia) dan Frans Grobmann (seorang warga negara Jerman).


Dalam menangani kasus pengedar narkoba ini, pemerintah kita memang seakan menaruh sikap permisif dan cenderung tidak tegas dalam menegakkan hukum. Hal ini terlihat dengan sangat jelas ketika para pengguna dan pengedar barang haram tersebut tidak ditindak secara tegas. Dengan dibebaskannya dari hukuman mati contohnya. Pemerintah—yang dalam hal ini adalah presiden—malah memberikan grasi kepada nara pidana kasus narkoba dengan dalih wujud perhatiannya kepada warga negara Indonesia yang dijatuhi vonis hukuman mati dalam kasus pidana.


Adalah benar bahwa presiden mempunyai kekuasaan untuk mengampuni seseorang yang terkena kasus pidana hukuman mati. Akan tetapi, alangkah lebih bijaknya jika putusan itu tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, apalagi hanya menguntungkan individu tertentu. Yang menjadi masalah adalah, dengan adanya pemberian grasi itu, berarti telah mengerdilkan semangat masyarakat dalam pemberantasan narkoba. Selain itu, dalam pandagan penulis, pemberian grasi itu belum sepenuhnya mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Jika ditinjau dari segi hukum fikih, memberikan sangsi dengan mengeksekusi (al-qatl) para pengedar dan bandar narkoba adalah legal dan mendapatkan pembenarannya. Memang, secara asal, hukuman yang berupa ta’zir tidak sampai pada tingkatan membunuh. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam surat al-An’am ayat 151 yang artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Rasulullah Saw. juga pernah bersabda: Tidak halal darahnya seorang Muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat kecuali karena tiga hal: janda yang berzina; orang yang membunuh; dan orang yang murtad (HR. Muslim).


Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, para ulama juga memperbolehkan hukuman ta’zir dengan cara membunuh (eksekusi). Di antara deretan ulama yang memperbolehkan akan hal tersebut adalah para ulama dari kalangan Hanafiyah (madzhab Hananfi); sebagian ulama Hanabilah dengan pentolannya Ibnu Taimiyah beserta muridnya, yaitu Ibnu Qayyim; dan minoritas pengikut Malikiyyah. Rumusan ini berlaku ketika eksekusi itu menjadi jalan satu-satunya untuk menutup “kran jaringan bandar narkoba” serta ada kemaslahatan umum yang mununtut hal tersebut. (Abd al-Qadir ‘Udah, Tasyri’ al-Jana’i al-Islami, Beirut: Dar al-Katib al-Aroby, vol. I, hal. 688)


Dalam banyak kasus yang penulis temukan dalam literatur turats klasik, para ulama sering mengambil contoh orang yang mengintai orang-orang Islam demi kepentingan musuh untuk melegalkan hukuman ta’zir dengan membunuh. Menurut hemat penulis, apa yang sudah dicetuskan oleh para ulama itu sudah sangat rasional. Mengapa? Karena dengan cara tersebut, yakni mengintai, bisa melumpuhkan kekuatan negara. Dan sudah selayaknya apabila si pengintai itu dibunuh, mengingat hal ini berkenaan dengan masalah pertahanan negara.


Relevansinya dengan penindakan terhadap pengedar narkoba, juga selayaknya jika para bandar narkoba itu juga dihukum mati. Karena jika tidak, maka—ia dengan jaringannya yang tersebar di berbagai wilayah, atau bahkan sampai tingkat Internasional—akan merusak generasi bangsa kita. Implikasinya, jika generasi bangsa ini sudah rusak, maka dengan sendirinya segenap kekuatan yang dimiliki oleh bangsa ini akan melemah. Dan penulis kira, alasan yang seperti ini sudah sesuai prosedur yang ditetapkan oleh para ulama yang penulis sebut di atas.


Mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah, bahwa orang yang berbuat kerusakan apabila perbuatan orang tersebut tidak dapat diberangus kecuali dengan dibunuh, maka cara yang ditempuh dengan membunuh pun menjadi legal. Dasar yang dijadikan pijakan oleh Ibnu Taimiyah ini adalah hadits riwayat ‘Arfajah al-Asyja’i bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila ada orang yang datang kepadamu dan ingin mencerai beraikan jama’ah kamu, maka bunuhlah dia” (HR. Muslim). (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah, KSA: Wizarah Syu’un al-Islamiyyah wal Auqaf wal Da’wah wal Irsyad, cet. I, h. 93).


Lebih jauh lagi, Dr Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya yang berjudul al-Fiqhu-l-Islamy juga membenarkan hukuman mati bagi para pelaku tindak kriminal, pengonsumsi arak, para penebar kerusakan dan segala bentuk kejahatan yang mengancam stabilitas negara. (Dr. Wahbah Az-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, vol. VII, h. 518)


Berdasarkan pemaparan di atas, penulis sangat setuju dengan sikap yang diambil oleh ketua MUI KH Ma’ruf Amin, bahwa hukuman mati sangat tepat sekali untuk para penjahat narkoba. Karena jika pemerintah terus bersikap permisif terhadap para bandar narkoba, maka jangan salahkan siapa-siapa jika wabah virus narkoba akan terus menjalar di bumi Indonesia!!


* Mahasiswa jurusan Syariah Universitas Al-Ahgaff, Hadhramaut-Yaman. Sekarang menjabat sebagai Kepala Departemen Pendidikan dan Dakwah DPW Hadhramaut PPI Yaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar