Supremasi Keselarasan
– I
Dengan kondisi
obyektif manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, yang
merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak mungkin kita
bisa menegakkan Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi Keadilan.
Yang kita handal membangun dan sangat lihai menyelengarakan adalah Supremasi
Keselarasan.
Tema ini memerlukan
uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang, sehingga malam ini
sekedar kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli
kebudayaan,sebaiknya mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan mohon
disiapkan kerja sama penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah kepakaran
yang lebih luas, misalnya antropologi, biologi dan fisika bahkan genekologi,
sejarah umat manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan manusia dan alam
semesta.
Semua wilayah itu
saling terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di puncak
ketidak-mengertian atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan saya
deretkan itu, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang
memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang menyangkut
dirinya sendiri.
Dengan ganti
kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan
apapun,pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan membuat
rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera di
lakukan.
Bangsa Indonesia
tidak punya kosa kata untuk hukum dan keadilan.
Keduanya kita import
dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa, Sunda,
Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata hukum dan adil itu segera
diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hukum dan
keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.
Yang kita punya
adalah kata laras. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan. Tak apa
mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan.
Kita korupsi
bareng-bareng di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita
sama-sama menjaga keselarasan. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara
Keselarasan Nasional. Siapa harus di hukum dan siapa harus di pertahankan,
pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur di bangun dan
di informasikan, bukan obyektifitas hukum atau keadilan.
Bangsa kita
menomersatukan 'norma', menomerduakan 'nilai'. Nilai mengikat setiap orang
untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Norma adalah
kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara mereka yang berkuasa untuk
selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang, hukum dan moral asalkan
tetap selaras dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita
jangan lakukan ini atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak
baik, melainkan yang kita jaga adalah "apa kata tetangga".
Kalau kita menangkap
maling di kampung, kita bentak dia, "Jangan seenaknya berbuat di kampung
kami, kalau mau mencuri jangan di sini!" Prinsipnya bukan maling itu tidak
boleh melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa jangan ada yang
tampak mencuri. Mencuri tidak ada tapi jangan kelihatan mencuri. Melanggar
hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu yang tidak boleh adalah melanggar
keselarasan.
Perbenturan antara
KPK dengan POLRI dan Pemerintah secara keseluruhan adalah perbenturan antara
keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu disadari oleh Bibit
dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan. Mereka juga belum
faham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras Indonesia, hukum dan
keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak boleh merusak pekerjaan
para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja lagi hukum dan keadilan
melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan,maka ia akan diberi label anarkisme
atau makar. []
Emha Ainun Nadjib,
Kado Ulangtahun buat
Gatra, 22 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar