Senin, 26 November 2012

Cak Nun: Supremasi Keselarasan - I


Supremasi Keselarasan – I

 

Dengan kondisi obyektif manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, yang merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak mungkin kita bisa menegakkan Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi Keadilan. Yang kita handal membangun dan sangat lihai menyelengarakan adalah Supremasi Keselarasan.

 

Tema ini memerlukan uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang, sehingga malam ini sekedar kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli kebudayaan,sebaiknya mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan mohon disiapkan kerja sama penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah kepakaran yang lebih luas, misalnya antropologi, biologi dan fisika bahkan genekologi, sejarah umat manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta.

 

Semua wilayah itu saling terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di puncak ketidak-mengertian atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan saya deretkan itu, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang menyangkut dirinya sendiri.

 

Dengan ganti kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan apapun,pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan membuat rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera di lakukan.

 

Bangsa Indonesia tidak punya kosa kata untuk hukum dan keadilan.

 

Keduanya kita import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata hukum dan adil itu segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hukum dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.

 

Yang kita punya adalah kata laras. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan. Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan.

 

Kita korupsi bareng-bareng di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita sama-sama menjaga keselarasan. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara Keselarasan Nasional. Siapa harus di hukum dan siapa harus di pertahankan, pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur di bangun dan di informasikan, bukan obyektifitas hukum atau keadilan.

 

Bangsa kita menomersatukan 'norma', menomerduakan 'nilai'. Nilai mengikat setiap orang untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Norma adalah kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara mereka yang berkuasa untuk selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang, hukum dan moral asalkan tetap selaras dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita jaga adalah "apa kata tetangga".

 

Kalau kita menangkap maling di kampung, kita bentak dia, "Jangan seenaknya berbuat di kampung kami, kalau mau mencuri jangan di sini!" Prinsipnya bukan maling itu tidak boleh melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa jangan ada yang tampak mencuri. Mencuri tidak ada tapi jangan kelihatan mencuri. Melanggar hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu yang tidak boleh adalah melanggar keselarasan.

 

Perbenturan antara KPK dengan POLRI dan Pemerintah secara keseluruhan adalah perbenturan antara keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu disadari oleh Bibit dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan. Mereka juga belum faham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras Indonesia, hukum dan keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak boleh merusak pekerjaan para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja lagi hukum dan keadilan melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan,maka ia akan diberi label anarkisme atau makar. []

 

Emha Ainun Nadjib,

Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar