Cara Habib Syech Membela Nabi
Oleh: Mohamad Guntur Romli ·
Ada yang luput dari perhatian media massa soal pembelaan terhadap
Nabi Muhammad. Yang umum adalah demo, barisan manusia yang bergerak,
mengacungkan pamflet dan teriakan yang hingar-bingar. Mungkin ini yang menjadi
selera media sehingga dianggap sebagai laporan utamanya. Sementara di seberang
sana, lautan manusia yang konsisten (istiqamah) memuji dan bershalawat kepada
Nabi Muhammad justeru luput dari mata media. Pun mereka bershalawat memang
tidak untuk "nampang". Bahkan liputan dianggap mengganggu keikhlasan
bershalawat. Cara ini yang ditempuh Habib Syech Abdul Qadir Assegaf—yang biasa
disebut Habib Syech dari Surakarta, Jawa Tengah.
Majelis Shalawat Habib Syech adalah fenomena saat ini. Kalau dalam
istilah dan pujian orang-orang tua, beliau dianugrahi "suara Nabi
Dawud". Konon kalau Nabi Dawud mendaras pujian pada Tuhan, semilir angin
berhenti, ranting bergeming, burung-burung menyimak tak berkicau. Suara Habib
Syech menyihir pendengarnya, mengikuti bacaan shalawat yang dilantunkan yang
semuanya sudah dihafal. Jemaah dan santri Habib Syech membentuk Syecher Mania
Club (SMC), jejaring fans club anak-anak muda yang maniak shalawat.
Suara Habib Syech empuk dan merdu, dengan ciri khas cengkok yang
aduhai membuat pendengarnya menggigil bak tersengat demam rindu yang membara.
Bacaan shalawatnya yang paling terkenal Salamu-l Mubin kini menjadi penghantar
orang shalat selepas adzan. Terdengar di langgar dan masjid yang umumnya
selepas adzan Maghrib.
Shalawat dibaca bukan hanya karena dianggap kewajiban agama dalam
bacaan shalat, juga berguna untuk menawar penyakit hati, meneguhkan iman dan
menguatkan keramahan. Shalawat identik dengan damai dan perdamaian. Di Mesir
saya sering melihat kalau ada dua orang bertikai di jalanan, akibat benturan
tidak sengaja, orang yang berpapasan akan menghampiri mereka yang bertikai itu
dan berseru shalluu ala-n Nabi (bershalawatlah pada Nabi). Shalawat adalah
penawar kemarahan dan kebencian. Yang bertengkar pun buru-buru mengucapkan
shalawat, mulai sadar diri, dan mereka berdamai yang tak jarang diakhiri dengan
pelukan.
Bacaan shalawat memang mengandung keintiman dan kemesraan dengan
Nabi. Para penganggit shalawat dan pembacanya memandang Nabi Muhammad sebagai
kekasih dan pujaan yang membuat mabuk dan tergila-gila. Majelis Habib Syech pun
bernama Ahbab al-Musthafa yang artinya “Para Pencinta Nabi Muhammad”.
Perhatikan juga terjemahaan dari shalawat Salam Mubin yang kini
terkenal, Doa dan salam yang terang/untukmu Rinduku titik (dari semua) penetapan/Nabi
adalah asal-muasal dari penciptaan/dari zaman “Kun Fayakun”hai Rinduku/Hai kau
yang datang sebagai pengingat kebenaran/penolong dan petunjuk jalan
kebenaran/hai utusan Allah yang wajahnya memancar cahaya/hai yang datang dengan
kebenaran yang terang/shalawat tiada henti tercurah kepadamu/bagaikan wewangian
semerbak yang terhadiahkan untukmu.
Habib Syech melantukan pelbagai shalawat yang rata-rata sudah
dihafal oleh masyarakat pencinta shawalat. Misalnya Shalawat Badar yang
terkenal di kalangan NU yang disusun Kiai Ali Manshur dari Banyuwangi. Kutipan
dari Qasidah Burdah yang dianyam al-Bushiri sebagai hadiah kepada Rasulullah
karena ia sembuh dari sakitnya setelah didatangi oleh Nabi Muhammad. Ya Rabbi
bil Mushthafa balliqh maqâshidana/wa-ghfir lana ma madla ya wasi’a-l karami
Tuhanku dengan (perantara) ia yang Terpilih (Nabi Muhammad) sempurnakan
tujuan-tujuan kami/ampuni dosa-dosa kami yang lalu, wahai Kau yang Mahamulia.
Shalawat-shalawat lain yang dibaca dipetik dari al-Barzanji,
al-Dibâ’î, dan lain-lainnya. Termasuk kidung-kidung berbahasa Jawa yang berisi
ajakan menyambut panggilan moral agama yang luhur, mengabdi pada Allah dan
Rasul-nya dan berbuat baik terhadap sesama. Dalam kidung ini juga mengandung
sindiran-sindiran halus bagi mereka yang lupa diri.
Bacaan yang juga masyhur dari Habib Syech adalah “Syi’ir Tanpo
Waton” yang dikenal “Shalawat Gus Dur”. Ternyata syiir ini karangan Gus Nidzom
as-Shofa dari Krian, Sidoarjo. Gus Nidzom memiliki suara yang mirip dengan
suara Gus Dur, berat dan serak. Akeh kang apal Qur’an Haditse, seneng ngafirke
marang liyane, kafire dewe dak digatekke, yen isih kotor ati akale—Banyak yang
hapal Qur’an dan Haditsnya, senang mengkafirkan orang lain, tapi kafirnya
sendiri tak dihiraukan, jika masih kotor hati dan akalnya.
Siapa pun yang hadir dalam majelis Habib Syech akan merasakan
limpahan energi yang positif. Mendengarkan lantunan shawalat-shawalat yang
dibawakannya menyegarkan rasa dan fikiran. Suara merdu Habib Syech melekat dalam
ingatan yang membedakannya dari tokoh agama yang posternya hanya menancap di
baleho-baleho pinggir jalan. Bagai deru ombak dan angin di lautan yang luas,
alunan shalawat tak menghiraukan dan mampu meredam kesumbangan suara terhadap
Rasulullah. Hinaan itu seperti teriakan orang yang mencoba cari perhatian di
pantai, tak terdengar sama sekali.
Nabi Muhammad yang dipercaya sebagai Rasul Allah oleh lebih 1.6
milyar orang di dunia, yang mayoritas membaca syahadat kerasulan Muhammad dan
shalawat padanya lima waktu sehari semestinya mampu meredam dan tak hirau
dengan cemoohan yang datang dari satu, dua orang pelaku yang bodoh.
Gerakan shalawat yang dibawakan oleh Habib Syech dan
majelis-majelis shalawat lainnya adalah lautan yang menunjukkan keagungan,
kemuliaan, dan cinta pada Nabi Muhammad yang tak bisa mudah berubah, meskipun
ada orang yang mencoba-coba misalnya meludah ke dalam lautan.
Cahaya ajaran Rasulullah pun tak kan bisa dihalang-halangi, karena
kekuatan cahaya itu, seperti dalam kutipan al-Barzanji—kau matahari, kau bulan
purnama, kau cahaya di atas cahaya.
Mohamad Guntur Romli
Sumber: GATRA edisi 51, 25-31 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar