Nama Baru Setelah Haji
Diantara tradisi yang berlaku di masyarakat
kita dalam ibadah haji adalah nama baru yang ‘didapat’ dari tanah suci. Nama
baru ini tentunya sangat islami dan berbau Arab. Misalkan Abdul Rasyid atau
Rasyidah sebagai nama pengganti Sugiarmo atau Supangati. Sebenarnya perubahan
nama ini tidak harus dilakukan setelah menjalankan ibadah haji, bisa kapan saja
waktunya. Akan tetapi sebagaian masyarakat lebih senang menjadikan ibadah haji
sebagai momentum perubahan nama. Dengan harapan meningkatkan semangat
peribadatan.
Dalam pandangan fqih perubahan nama itu adakalanya
wajib, sunnah dan atau mubah. Perubahan nama bisa menjadi wajib apabila namanya
yang selama ini digunakan terlarang (haram), seperti Abdusysyaithan (hamba
setan) atau Abdul Ka’bah. Dan hukumnya sunnah, apabila namanya yang sudah ada
itu makruh (dibenci), seperti nama Himar, Monyong, dan Pencor. Dan adakalanya
hukumnya mubah apabila namanya itu tidak haram, juga tidak makruh semisal Sani,
Midi dan lain sebagainya. Sebagaimana diterangkan dalam Tanwir al-Qulub
وَيَجِبُ
تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمُحَرَّمَةِ وَيُسْتَحَبُّ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ
الْمَكْرُوْهَةِ.
Mengubah nama-nama yang haram itu hukumnya
wajib, dan nama-nama yang makruh hukumnya sunah.
Demikian juga disebutkan dalam Hasyiyah
al-Bajuri
وَيُسَنُّ
أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ لِخَبَرِ أَنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ أَبَائِكُمْ فَحَسِّنُوْا أَسْمَائَكُمْ إِلَى أَنْ
قَالَ: وَتُكْرَهُ اْلأَسْمَاءُ الْقَبِيْحَةُ كَحِمَارٍ وَكُلِّ مَا يُتَطَيَّرُ
نَفْيُهُ أَوْ إِثْبَاتُهُ وَتَحْرُمُ التَّسْمِيَّةُ بِعَبْدِ الْكَعْبَةِ أَوْ
عَبْدِ الْحَسَنِ أَوْ عَبْدِ عَلِيٍّ وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلاسْمِ الْحَرَامِ
عَلَى اْلأَقْرَبِ لِأَنَّهُ مِنْ إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ تَرَدَّدَ
الرَّحْمَانِيُّ فِيْ وُجُوْبِهِ وَنَدْبِهِ .
Dan disunahkan memperbagus nama sesuai dengan
Hadis: “Kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian
dan nama-nama bapak kalian, maka perbaguskanlah nama-nama kalian”. Dimakruhkan
nama-nama yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang
diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya. Haram menamai dengan
Abdul Ka’bah, Abdul Hasan atau Abdu Ali (Hamba Ka’bah, Hamba Hasan atau Hamba
Ali). Menurut pendapat yang lebib benar wajib mengubah nama yang haram, karena
berarti menghilangkan kemungkaran, walaupun al-Rahmani ragu-ragu apakah
mengubah nama demikian, wajib atau sunah. []
(Ahkamul Fuqaha)
Sumber: Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama
ke-8 di Jakarta 12 Muharram 1352 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar