Sembelihan Allah
Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Manusia selalu
dirundung problem bahasa. Bahkanpun para penyair, yang biasanya berada di dalam
“istana” eksklusif yang jauh dari politik dan masyarakat umum. Dewasa ini
problematika budaya-bahasa dan politik-bahasa berkembang dan membengkak
sedemikian rupa, sehingga sangat menyempitkan kemungkinan kekayaan komunikasi.
Dulu penyair
kontemplatif Goenawan Muhamad kasih dalil: “Musuh utama penyair adalah salah
cetak”. Kalau “binatang jalang” salah cetak menjadi “binatang jalan”, atau
“represi” menjadi “ekspresi”, maka habislah semuanya. Tak hanya penyair, semua
penulispun mengalami tantangan yang sama. Para pelukispun bulan-bulan ini harus
hati-hati: sementara singkirkan dulu cat hijau, kuning dan merah.
Saya bukan
benar-benar seorang penyair, tapi sering disuruh bikin kalimat-kalimat yang
nanti orang menganggapnya puisi. Dan akhir-akhir ini rasa takut saya membengkak
setiap kali hendak memutuskan menggunakan suatu kosa kata atau susunan kalimat.
Ketakutan saya itu karena pada dasarnya saya sangat menghormati ajaran para
leluhur bahwa dalam hidup ini kita harus lebih banyak mendengarkan orang
dibanding mengomongi orang.
Bahkan Allah sendiri
sangat lebih menekankan fungsi sami’ (mendengar) dibanding bashir (melihat).
Jadi orang omong apa saja selalu saya anggap penting, karena mereka sudah
besar, sudah dewasa, sudah sangat mampu berpikir dan memutuskan segala sesuatu
yang hendak diungkapkan. Kalau saya acuhkan dan abaikan, itu kekeliruan sosial.
Suatu saat saya bikin
kalimat: “Muhammadkan hamba ya Allah….” Seseorang menuduh saya sok suci.
Manusia biasa yang banyak dosa kok pengin jadi Nabi. Padahal yang dimaksud
“muhammadkan hamba” adalah upaya dan doa mohon perkenan Allah agar membantu
kita memakai wacana kepribadian Muhammad untuk bisa kita terapkan dalam diri
kita.
Allah sendiri bahkan
kabarnya menciptakan manusia dengan formula seperti “miniatur” Dia sendiri. Itu
berarti merupakan anjuran agar kelengkapan dan komprehensi-dialektis asma Allah
kita jadikan acuan. Jadi, kita membina perilaku ini berdasarkan cakrawala
karakter Allah sendiri. Ia rahman rahim, penuh kasih sayang. Tapi Ia juga bikin
neraka, Ia juga qabidl (penahan rejeki), Ia juga syadid (penyiksa), Ia juga
mutakabbir (pentakabur) — namun semua watak yang dalam pandangan kita seolah
negatif itu selalu berfungsi positif karena diterapkan pada tempat dan
konteksnya yang tepat.
Mentang-mentang kita
menganut ajaran kasih sayang rahman rahim maka lantas kita menolak bikin rumah
penjara, mengampuni koruptor, membatalkan pasal-pasal hukum mengenai
perampokan, penindasan atau kekejaman. Lembaga Pemasyarakatan itu bukan
institusi kekejaman. Nerakanya Allah adalah wujud dialektis dari kasih
sayangNya juga. Cara menyayangi anak yang bersalah adalah dengan menghukumnya.
Tapi hal-hal semacam
itu tidak selalu gampang dijelaskan kepada manusia. Sehingga tatkala untuk Idul
Adha saya mau bikin kalimat “Ismailkan hamba ya Rabbi….” — saya begitu kawatir
orang akan salah paham. Padahal maksud saya adalah kalau saya disembelih dalam
pengalaman sejarah, saya mohon kepada Allah agar kambing yang tersembelih.
Gelar Nabi Ismail AS
adalah dzabihullah. Sembelihan Allah. Saya ingin sekali menggunakannya untuk
judul suatu tulisan, namun dengan perasaan was-was. Apakah Allah tukang
sembelih? Apakah Allah itu Maha Jagal, sebagaimana dalam konteks lain saya juga
takut mengumumkan idiom wallohu khoirul makirin, Allah itu Maha Pemakar?
Mungkin sudah ratusan
kali kita mengkomunikasikan bahwa untuk urusan tertentu peradaban kita ini
pra-Ibrahim. Kalau Ibrahim AS. hidup sekarang dan pada suatu pagi menyembelih
anaknya, para tetangga segera akan melaporkannya ke Polsek, atau mungkin
langsung memukulinya sampai meninggal. Di zaman ini kita tidak memiliki
perangkat ilmu pengetahuan dan tingkat legalitas hukum yang sanggup
mengakomodasikan fenomena (vertikal) Ibrahim dan Ismail.
Jangankan fenomena
penyembelihan. Sedangkan kita suatu hari nongkrong di dekat kandang kambing
saja orang lantas menyimpulkan kita adalah kambing. Saya berpapasan dengan
angin pada suatu siang dan omong-omong sejenak, orang di sekitar saya langsung
menyangka saya masuk angin. Orang sekarang gila label.
Kalau saya jum’atan,
saya memutuskan untuk berjamaah hanya dengan kaum gelandangan. Kalau
berjum’atan dengan pedagang kaki lima, saya kawatir ada yang modalnya dari Pak
Carik sehingga nanti saya ikut dituduh direkrut oleh Pak Carik. Kalau ada
satpam dalam jamaah di mana saya ikut, nanti saya dituduh orangnya pejabat ini
atau pengusaha itu di mana satpam itu bekerja. Susahnya yang nuduh saya itu
bukannya para gelandangan, melainkan orang yang memang benar-benar bekerja di
kekuasaan dan konglomerasi.
Bahkan terakhir saya
mendengar label baru bahwa saya adalah intel karena suka bergaul dengan
gelandangan, yang sebagian dari mereka adalah memang intel yang menyamar jadi
gelandangan.
Demikianlah saya
senantiasa bersetia mendengarkan orang lain. Dan itulah sumber pengetahuan
hidup saya. Tapi susahnya, orang sering tak bisa diduga apa maunya. Pernyataan
orang juga tidak selalu mencerminkan sikap dan kemauannya. Kalau seseorang
bilang “Nun, kamu sekarang bukan temanku lagi”, lantas saya percaya, saya
terapkan, sehingga ketika bertemu di jalan saya tidak berani menegur dan
tatkala dia membutuhkan pertolongan saya tidak menolong — ternyata reaksinya
begini: “Kamu memang sombong! Kamu tidak berperikemanusiaan, tidak peka
terhadap kebutuhan orang lain”.
Bahkan ketika saya
butuh pertolongan namun tidak merasa berhak minta tolong kepadanya, ia
berkomentar: “Dia memang sok kuat. Egosentris. Tidak merasa bahwa orang hidup
itu saling membutuhkan. Disangkanya saya sedemikian lemahnya sehingga tidak
bisa menolong dia!”
Saya melihat itu
semua adalah peristiwa cinta. Kalau kita tidak menimba, orang yang kita cintai
dan mencintai kita marah: “Kok nggak mau nimba sih?”. Kalau kemudian kita
menimba, ia tuding: “Terpaksa ya nimbanya!”. Lantas kita hentikan menimba, ia
bersungut-sungut: “Memang aslinya tidak mau menimba!”.
Cinta itu terkadang
over-sensitif. Kalau yang terlibat dalam percintaan adalah orang besar, lebih
susah lagi. Kalau bersikap biasa-biasa saja, ia naik pitam: “Nggak tahu siapa
saya ya! Belajar menghormati dikit kek!” Kalau kemudian kita membungkuk
menghormatinya, ia tuduh: “Nyindir ya! Saya tidak mau kau menghina dengan
pura-pura menghormatiku!”. Kemudian kita kembali bersikap biasa, dan ia serbu
kita: “Dasar tak tahu diri!”
Lama-lama saya
“curiga”, kayaknya doa saya dikabulkan oleh Allah. Mudah-mudahan saya adalah
the tiny Ismail yang sedang disembelih. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar