Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Mahkamah Agung (MA) tidak ‘imun’ lagi,
setelah Hakim Agung Prof.Gayus Lumbuun mengungkap indikasi ketidakberesan di
tubuh MA. Transparansi sudah menjadi keniscayaan, sehingga sangat aneh
jika desakan keterbukaan MA ditanggapi dengan sikap negatif. MA bukan institusi
pribadi atau milik sekelompok PNS.
Dengan demikian, sebagai institusi negara, MA
tidak bisa menghindar dari arus perubahan. Kalau semua institusi negara
dituntut transparan, MA tidak boleh meminta pengecualian. Sebagai institusi
yang memegang kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Konstitusi, MA harus
tranparan. MA memang tidak bisa didikte oleh unsur atau cabang kekuasaan
lainnya. Namun, tidak berarti MA tidak boleh diawasi publik. Pun, tidak berarti
publik tidak boleh menuntut MA untuk terbuka. Sebaliknya, keterbukaan MA menjadi
wajib hukumnya karena potret keadilan di negara ini ditentukan oleh integritas
MA. Sebab, MA membawahi peradilan umum serta peradilan Tipikor, peradilan
agama, peraadilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keadilan di negara
Karena desakan keterbukaan sudah menjadi
sebuah kewajaran, publik akan beranggapan aneh jika sebuah institusi atau orang
dalam institusi bersangkutan alergi atau sensitif terhadap desakan untuk
keterbukaan. Publik akan curiga bahwa institusi atau orang dalam institusi bersangkutan
berupaya menutup-nutupi sesuatu yang buruk atau tidak pantas. Pada sebuah
komuitas birokrasi yang sarat dengan perilaku korup, kecurigaan seperti itu pun
menjadi hal yang wajar.
Desakan Hakim Agung Gayus Lumbuun terkait
dengan transparansi anggaran di MA sesungguhnya tidak luar biasa. Persoalannya
menjadi luar biasa karena cara kolega Gayus di MA menyikapi desakan Gayus itu
yang pantas dinilai sangat berlebihan. Banyak kalangan tercengang, geleng
kepala dan terheran-heran dengan sikap dan argumentasi kolega Gayus. Selain
keluar dari konteks transparansi, respons atas desakan Gayus cenderung frontal
dan defensif, karena merasa dituduh.
Karena pimpinan MA tidak mampu mengelola atau
melokalisir persoalan, perang kata-kata antara Gayus versus Ketua Muda
Mahkamah Agung (MA) Pidana Khusus, Djoko Sarwoko dan Sekretaris MA Nurhadi,
berlanjut dan memanas. Bahkan mulai mengarah ke saling tuduh.
Gayus mengungkap apa yang kemungkinan menjadi
aib di MA. Gayus mendesak MA dan instansi terkait lainnya memeriksa Nurhadi.
Sebab, menurut Djoko Sarwoko, Nurhadi telah memberikan sumbangan finansial
sangat besar ke MA. Bentuk sumbangan yang disebut Gayus adalah renovasi ruang
sekretariat dan ruang kerja dengan seperangkat meja senilai Rp 1 miliar. Demi
transparansi, Gayus minta agar sumbangan itu diaudit. Apakah sumbangan itu
sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
"Itu meja, duitnya sendiri. Karena
Nurhadi punya usaha sarang burung walet," kata Djoko Sarwoko. Dia menyebut
Nurhadi sebagai pegawai MA yang berprestasi dan berdedikasi tinggi. Sebab,
Nurhadi telah berbuat banyak untuk MA, antara lain mau menggunakan uang pribadi
untuk kepentingan lembaga. Dia berujar, "Karena ikut membina Nurhadi, saya
ikut sakit hati juga dia difitnah seperti ini."
Apa yang salah dari desakan Gayus itu? Di
luar perkiraan banyak orang, Djoko Sarwoko malah berujar, "Menurut saya,
jika dia (Gayus) tidak suka dengan kondisi MA sekarang, ya keluar sajalah.
Daripada membangun permusuhan dan kinerja MA tidak kondusif." Keluar
dari konteks, Djoko coba mengalihlkan persoalan. Dia menyindir Gayus gila
hormat dan berharap menjadi pimpinan MA, ‘tetapi ternyata tidak laku’. Dia
menilai Gayus kecewa dan menciptakan konflik.
Sedangkan respons Nurhadi lebih keras.
"Saya nggak pernah takut sama siapa pun, karena saya clean. Saya nggak
peduli, saya labrak betul (Gayus Lumbuun) karena saya clean. Saya jamin satu
rupiah pun saya tidak punya pikiran untuk main-main terutama dalam anggaran.
Kalau eselon I ketahuan (korupsi) sama saya, saya amputasi," kata Nurhadi.
Hilangnya Keagungan
Reaksi yang demikian ini benar-benar di luar
sangkaan banyak orang, karena disuarakan oleh Ketua Muda MA dan Sekretaris MA.
Apalagi, Djoko coba mengeskalasi persoalan dengan menyatakan kemungkinan
Nurhadi mengajak Gayus berkekalahi. “Yah, kalau sudah menyinggung masalah
perasaan orang, bisa berkelahi itu," kata Djoko. Ini seperti upaya
mengaburkan persoalan. Dorongan transparansi institusi negara, menyinggung
perasaan, bisa memicu perkelahian; apa relevansinya? Jangan sampai ada asumsi
atau anggapan MA itu sebagai milik sekumpulan PNS (pegawai negeri sipil) yang
kebetulan sedang menjalani masa bhakti di MA.
Dengan rangkaian reaksi seperti ini, MA
tampak tidak agung lagi. Harkat dan martabat jabatan tinggi kenegaraan yang
disandang lenyap begitu saja karena yang terlihat di permukaan justru panik,
rasa takut dan emosi yang tak beralasan.
Perlakuan terhadap para Hakim Agung selama
ini cukup memprihatinkan. Derajat mereka direndahkan, bahkan lebih rendah dari
PNS eselon I – II di MA. Padahal, negara mengalokasikan anggaran sangat besar
guna mendukung kerja para hakim agung. Sudah menjadi penegetahuan umum bahwa
ada begitu banyak kasus yang belum atau tidak juga diselesaikan di MA.
Selama ini, Kinerja MA terbilang
mengecewakan. Boleh jadi, kinerja yang buruk itu disebabkan perlakuan
semena-mena terhadap para hakim agung. Diskriminasi di MA pasti sudah melampaui
batas toleransi, sehingga muncul anggapan para hakim agung sebagai warga kelas
II di MA dan diperlakukan seperti kambing. Karena itu, tidak mengherankan jika
desakan Gayus Lumbuun didukung berbagai kalangan.
Kalau para hakim agung diperlakukan seperti
itu, tentu layak untuk mengedepankan pertanyaan mengenai pemanfaatan anggaran
MA. Jawaban paling ideal atas pertanyaan ini adalah transparansi anggaran.
Kalau MA didesak untuk transparansi anggaran, lakukan apa yang semestinya
dilakukan. Bukankah institusi negara lainnya pun mulai transparan? Merasa
tersinggung atau mendorong perkelahian sama sekali tidak relevan.
Kini, desakan transparansi anggaran di MA
bukan lagi persoalan sederhana. Bahkan sudah tereskalasi. Sebab, seorang Ketua
Muda MA sendiri yang mengungkapkan bahwa ada PNS yang merangkap sebagai
pengusaha burung walet telah memberikan sumbangan finansial sangat besar untuk
MA. Artinya, desakan transparansi anggaran adalah satu soal, sementara
sumbangan finansial dari seorang PNS untuk MA menjadi persoalan terpisah.
Bagaimana pun, MA tahu bahwa menerima sumbangan itu ada aturannya agar tidak
dituduh menerima gratifikasi. Kalau aturannya dilanggar, tentu ada risiko
hukumnya.
Kalau memang tidak ada masalah dengan
pengelolaan dan pemanfaatan anggaran, MA tak perlu gentar dengan desakan Gayus
tentang transparansi anggaran. Sajikan saja semua data apa adanya.
Kekurangan atau kekeliruan yang tidak disengaja bisa diperbaiki bersama-sama.
Terpenting bagi MA adalah terbuka menerima perubahan.
Dan, desakan untuk melakukan keterbukaan
dalam pengelolaan anggaran bisa dijadikan langkah awal bagi perubahan besar di
MA. Sebagai lembaga tertinggi di bidang peradilan, MA tidak boleh menolak
pengawasan publik. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar