Rabu, 28 November 2012

(Ngaji of the Day) Kebijakan Pemberlakuan UMP di Mata Hukum Fiqih


Kebijakan Pemberlakuan UMP di Mata Hukum Fiqih

Oleh: Ahmad Hayyan Najikh


Sejak terjadinya krisis moneter melanda bangsa Indonesia, dunia buruh di negara ini semakin tidak jelas dan menentu nasibnya. Karena tidak stabilnya perekonomian negara, banyak sekali imbas yang dirasakan rakyat kecil diantaranya lahan pekerjaan sempit, mencari pekerjaan sulit, banyak perusahaan mengalami kerugian sehingga mengakibatkan tidak stabilnya upah pekerja dan bahkan banyak perusahaan yang berani menggaji karyawannya dibawah standart hingga sampai saat ini. Jadi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi dan menjaga hak-hak para buruh adalah memberlakukan Upah Minimum Provinsi.


Walaupun sudah ada ketentuan UMP, karena berbagai hal masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Akibatnya timbullah demonstrasi buruh, mogok kerja dan banyak diantara mereka yang melakukan tindakan anarkhis.


Maka tidak heran apabila perubahan UMP 2013 DKI Jakarta, yang sebelumnya dirasa masih berada dibawah standar kebutuhan hidup layak, kemudian berubah menjadi Rp. 2,2 Juta disambut gembira oleh para buruh di DKI Jakarta. Karena upah mereka saat ini bisa dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak mereka. Bahkan sangking bahagianya, Sarbumusi (Sarekat Buruh Muslimin Indonesia), organisasi buruh di bawah NU, lewat Sekretarisnya Baitul Khairi memberikan pernyataan bahwa: “pemerintah harus mengawasi kebijakan penetapan UMP itu agar dapat berjalan” (NU Online, Rabu 21/11/2012 14:36).


Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana fiqih menyikapi adanya ketentuan yang berupa UMP sebagai keharusan bagi perusahaan-perusahaan dari pemerintah untuk kesejahteraan karyawan?


Dalam sebuah buku berjudul Mutiara Samudra Fiqih, hasil forum bahtsul masa-il purna siswa MHM. Lirboyo Kediri 2004, dijelaskan bahwa kejadian diatas dapat diserupakan dengan kebijakan pemerintah yang dikenal fiqih dengan istilah tas’ir, yakni peraturan dari pemerintah yang diberlakukan kepada pelaku pasar untuk menjual barangnya dengan harga yang telah ditentukan.


Hukum tas’ir itu sendiri menurut mayoritas ulama tidak diperbolehkan karena bertendensi pada ayat:


ياَ اَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَأْ كُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

 

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepada kamu.” (QS. Al-Nisa’: 29)


Mereka menyimpulkan bahwa hukum tas’ir adalah haram, karena manusia mempunyai hak asasi untuk membelanjakan hartanya. Dan juga, prinsip yang ada dalam jual-beli adalah harus berdasarkan pada unsur ridho antara kedua belah pihak. Pemberlakuan tas’ir berarti telah memasung kebebasan salah satu dari mereka. Disini pemerintah diuji harus adil dan seimbang dalam memberikan porsi yang semestinya mereka miliki (penjual dan pembeli).


Kendati demikian, sebagian ulama dari Syafi’iyah, Hanafiah, dan Imam Malik memperbolehkan tas’ir ketika dalam kondisi tertentu. Yaitu dalam keadaan sebagai berikut:

 

Terjadi kesewenangan pedagang yang sangat merugikan.

• Kebutuhan umat akan barang-barang tersebut, berada pada taraf darurat,

• Penentuan harga dihasilkan dari kesepakatan para ekonomi (ahl al-khubrah)

• Harga yang ditetapkan berada dalam batas yang wajar/standart (qimah al-mitsly).


Ulama yang memperbolehkan melihat bahwa tas’ir dengan kriteria di atas justru suatu keadilan yang mesti dilakukan. Pembatasan yang dilakukan bukan semata-mata pemangkasan hak penjual, akan tetapi permasalahan di atas sudah dalam konteks darurat. Dari dua kondisi yang serba dilematis, tindakan yang paling kecil resikonya adalah memilih kerugian yang paling ringan. Mereka melihat kasus ini sebagaimana mengambil barang secara paksa dari para muhtakir (penimbun) yang masuk dalam kaidah fiqih:


يحتمل الضرر الخاض لأجل دفع الضرر العام

 

Menanggung kerugian yang khusus karena demi menghindari kerugian yang umum


Walaupun kebijakan pemerintah dalam UMP terdapat sisi perbedaan untuk disebut tas’ir, karena tas’ir adalah membatasi dengan satu harga, dimana pedagang tidak diperkenankan melebihi atau mengurangi harga yang ditentukan, sementara realita penerapan UMP hanya memberi batas minimal. Dan batasan harga dalam tas’ir harus sudah lolos dari seleksi para ekonom, padahal batas minimal harga dalam UMP juga masih kabur, belum sepenuhnya diketahui, apakah sudah melalui pertimbangan para ekonom atau belum. Yang jelas, dalam segi paradigma maslahah yang digunakan dalam UMP, tas’ir masing-masing terdapat unsur kesamaan, yakni lebih memprioritaskan kepentingan umum dari pada kepentingan khusus.


* Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar