Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR
RI
PENYUSUPAN mafia narkoba ke dalam tubuh
birokrasi negara sudah menjadi fakta tak terbantah. Maka, kontroversi grasi
bagi terpidana mati kasus narkotika Meirika Franola atau Ola harus menjadi
faktor pendorong bagi pemerintah melakukan aksi pembersihan di tubuh birokrasi
negara.
Benar bahwa grasi untuk Ola otomatis menjadi
tanggung jawab presiden, karena presiden-lah yang menandatangani dokumen grasi
Ola . Tetapi, Pernyataan sikap Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti
itu tidak menghapus kontroversi proses pemberian grasi itu. Bahkan, penjelasan
SBY itu justru lebih menguak ketidakwajaran proses terbitnya grasi Ola. Dalam
jumpa pers di Bali pekan lalu, presiden mengaku diberi masukan bahwa terpidana
mati Ola sesungguhnya hanya seorang kurir, bukan bandar atau pengedar.
Informasi inilah yang menjadi dasar keputusan presiden memberikan grasi. Jadi,
alasannya sangat berbeda dengan yang dikemukakan seorang pembantu presiden yang
menjelaskan bahwa grasi diberikan kepada Ola karena pertimbangan kemanusiaan.
Kalau benar Ola hanya kurir, berarti terjadi
kesalahan dakwaan yang menyebabkan dia divonis hukuman mati. Kalau kuasa hukum
Ola yakin terjadi kesalahan dakwaan, mekanisme yang layaknya ditempuh adalah
Peninjauan Kembali (PK) perkaranya di Mahkamah Agung (MA). Maka, logikanya,
para penasihat hukum presiden pun mestinya menyarankan pihak Ola luntuk
mengajukan PK. Sebab, mengajukan permohonan grasi menjadi tidak relevan dengan
alasan atau pertimbangan yang diberikan kepada presiden mengenai peran Ola
sebagai kurir.
Di situlah kontroversinya. Apalagi, MA dalam
rekomendasinya kepada Presiden sudah menyatakan pendiriannya bahwa permohonan
grasi Ola tidak memiliki cukup alasan untuk dikabulkan. Pertanyaannya, darimana
atau dari siapa para pembantu presiden menerima informasi bahwa Ola itu sekadar
kurir? Siapa juga yang membisik ke presiden bahwa Ola itu bukan pengedar atau
bandar, melainkan hanya kurir, sehingga terpidana mati itu layak mendapatkan
grasi? Dalam merumuskan rekomendasinya kepada SBY, mengapa para pembantu
presiden tidak mengacu pada vonis pengadilan negeri Tangerang, yang kemudian
diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bandung dan putusan Kasasi MA atas vonis mati
Ola?
Seperti diketahui, Ola divonis mati setelah
dinyatakan bersalah karena berencana menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan 3
kilogram kokain. Vonis mati bagi Ola sudah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Bandung dan Kasasi MA. Dengan demikian, ketika harus menanggapi permohonan
grasi Ola, rekomendasi para pembantu presiden kepada SBY mestinya mengacu pada
fakta-fakta hukum yang menjadi landasan vonis Pengadilan Negeri Tangerang,
Pengadilan Tinggi Bandung dan Kasasi MA plus rekomendasi MA atas permohonan grasi
Ola itu sendiri. Tentu saja akan menjadi kontroversi jika rekomendasi para
pembentu presiden lebih mengacu pada bisikan informasi yang entah dari siapa
datangnya dan sudah pasti tidak memiliki kekuatan hukum untuk dipertimbangkan.
Wajar jika muncul kecurigaan bahwa Kantor
Presiden tidak bersih. Dalam kasus pemberian grasi untuk Ola, publik yang awam
akan menilai bahwa Presiden kecolongan. Dengan demikian, terbitnya grasi
Ola mengindikasikan kantor presiden telah disusupi sindikat kejahatan narkoba, yang
berupaya memperjuangkan keringanan hukuman anggota sindikat. Apalagi, kasus
pengampunan atau pengurangan hukuman bagi terpidana narkoba bukan hanya untuk
Ola. Masih segar dalam ingatan publik perihal grasi untuk Schapelle Leigh
Corby, terpidana narkoba asal Australia.
Karena itu, tidak juga berlebihan jika kepada
presiden disarankan untuk memerintahkan sebuah penyelidikan internal di
kalangan para pembantu terdekatnya. Presiden, sebagaimana pernyataannya di
Bali, memang sudah mengambilalih tanggungjawab di seputar persoalan grasi Ola.
Namun, jika presiden menyatakan tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, sikap
demikian pun tidak bijaksana, dan juga belum menyelesaikan masalah. Publik akan
beranggapan presiden menutup-nutupi perilaku menyimpang yang dilakukan para
pembantu terdekatnya.
Masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang
sesungguhnya terjadi. Siapa saja yang terlibat dalam merekomendasikan grasi
untuk Ola? Siapa yang membisik ke telinga Presiden bahwa Ola itu sekedar Kurir?
Dari mana informasi itu diperoleh? Lantas, bagaimana para pembantu presiden
memperlakukan dokumen vonis mati Ola oleh pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi, yang kemudian diperkuat kasasi MA?
Jika semua pertanyaan ini terjawab, publik
dengan mudah akan menyimpulkan bahwa kantor presiden tidak bersih. Lebih
ekstrim lagi, muncul anggapan kalau kantor presiden sudah disusupi sindikat
narkoba. Kalau anggapan-anggapan ini tidak dibantah dengan fakta-fakta yang
berasal dari sebuah penyelidikan internal di kantor presiden, taruhannya adalah
reputasi dan kredibilitas presiden. Publik akan menilai bahwa presiden tidak
cukup cakap karena kantornya bisa disusupi sindikat narkoba yang berusaha
memperoleh keringanan hukuman bagi anggota sindikat yang sudah divonis oleh
pengadilan.
Terus Merangsek
Kemampuan sindikat kejahatan narkoba menyusup
ke tubuh birokrasi negara sudah menjadi fakta terbantah. Sejumlah penjara atau
Lembaga Pemasyarakatan (LP) di tanah air sudah dijadikan basis pengendalian
bisnis narkoba oleh para bandar besar. Bahkan fakta tentang hal ini didapatkan
sendiri oleh Wamenkum-Ham Denny Idrayana dari serangkaian inspeksi mendadak
(Sidak) yang dilakukan ke beberaa LP. Kalapas Nusakambangan sudah dijerat pihak
berwajib karena terlibat bisnis narkoba. Sejumlah sipir penjara pun dijerat
polisi karena melakukan hal yang sama. Ada oknum jaksa yang ditangkap karena
dugaan terlibat jual beli narkoba hasil sitaan. Belum lagi ratusan oknum polisi
yang terlibat kasus narkoba. Bahkan oknum hakim pun kedapatan mengonsumsi
narkoba.
Bagaimana seharusnya memaknai fakta-fakta
seperti ini? Kalau sekadar dimaknai sebagai penyimpangan perilaku oknum
birokrat, sama artinya dengan menyederhanakan persoalan. Pemaknaan terhadap
fakta-fakta itu harus berdasarkan kalkulasi yang strategis dan antisipatif,
bertolak dari apa saja yang menjadi kepentingan sindikat narkoba untuk
memuluskan bisnis mereka di Indonesia. Operasi penyusupan mereka ke tubuh
birokrasi negara dimulai dengan menggarap oknum sipir penjara. Begitu merasakan
nikmatnya uang suap dari terpidana narkoba, si oknum sipir akan menggoda
atasannya. Maka, Kalapas Nusakambangan pun tak mampu mengelak. Bukankah
bisnis narkoba mengelola uang yang sangat besar?
Dengan demikian, tidak berlebihan jika
muncul anggapan bahwa orang-orang kepercayaan SBY yang merekomendasikan
pengampunan hukuman bagi Ola pun memiliki motif atau kepentingan. Sebelum
dokumen yang memuat rekomendasi pengampunan itu sampai ke meja kerja presiden
untuk ditandatangani SBY, sudah pasti terjadi serangkaian kegiatan dan
pertemuan yang melibatkan orang-orang kepercayaan SBY dengan kuasa hukum dan
kawan-kawan Ola. Ada lobi-lobi dan saling memberi komitmen. Kalau targetnya
adalah pengampunan hukuman atau grasi bagi seorang terpidana narkoba,
kemungkinan motifnya adalah imbalan uang dalam jumlah sangat besar.
Bagaimana pun, harus diakui bahwa kekuatan
jaringan Ola luar biasa, karena bisa menembus kantor presiden. Seorang
terpidana narkoba yang ingin mendapatkan akses ke kantor presiden tentunya
harus mengeluarkan dana tidak sedikit. Kemungkinan ini sangat berbahaya. Kalau
para pembantu presiden sudah berani berkompromi atau bernegosiasi dengan
anggota sindikat kejahatan narkoba, SBY harus lebih waspada.
Sebelum sindikat narkoba mencengkram
birokrasi negara, harus segera diambil inisiatif untuk melakukan pembersihan.
Pemerintah tidak bisa lagi pasif, karena sindikat kejahatan narkoba terus
merangsek, tidak hanya memperluas pasarnya di Indonesia, tetapi juga terus
berupaya memperlemah kekuatan negara dalam pemberantasan narkoba. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar