Rabu, 07 November 2012

(Ngaji of the Day) Haji Bukan Wisata Religi


Haji Bukan Wisata Religi

Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)


Selain sebagai ibadah suci, haji merupakan ibadah yang istimewa. Karena ibadah haji memang bukan sembarang ibadah. Haji menjadi ibadah istimewa karena hanya bisa dilakukan oleh orang yang mampu. Kategori mampu pun bermacam-macam. Orang yang hendak haji harus mampu secara finansial, fisik maupun mental.


Haji juga merupakan pilar (Rukun) Islam yang ke-lima. Orang yang mengaku islam tulen, belum dikatakan sempurna islamnya sebelum melaksanakan haji. Namun bukan berarti semua yang belum berhaji bisa dikatakan belum sempurna islamnya. Predikat belum sempurnanya islam di sini adalah bagi mereka yang memiliki kemampuan (Biaya, Jiwa, dan Raga) namun enggan untuk melaksanakan haji.


Namun, kebanyakan umat Islam memiliki cara pandang yang cenderung keliru. Mereka berhaji lebih diniatkan hanya mengejar derajat (Sebutan) “Pak Haji” atau “ Bu Haji” dari pada mengedepankan niat karena Allah SWT. Itu terbukti banyaknya jamaah haji sepulang dari tanah suci tidak jauh berbeda dengan sikap mereka sebelum menunaikan haji. Dalam konteks ini, mereka bisa dikategorikan sebagai haji yang hanya bertujuan wisata. Lebih tepatnya wisata religi.


Agar haji tidak dianggap hanya sebagai wisata religi tentunya harus dapat mencapai derajat mabrur. Tujuan haji jelas adalah untuk memperoleh haji yang mabrur. Kerena haji mabrur merupakan cita-cita dari kebanyakan orang Islam yang telah menjalankan ritual ibadah haji. Kalau tidak mabrur, maka hajinya akan berdampak sia-sia. Kata para pemuka agama, buahnya hanya diunduh di dunia, seperti sanjungan dengan sebutan 'pak haji' dan 'bu hajah'. Sedangkan di akhirat, dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali penyesalan. Tentunya mereka akan rugi.


Tujuan haji mabrur itu tidak akan diperoleh jika para jamaah haji tidak memiliki niat yang benar. Dalam hadist popular disebutkan bahwa niat adalah pangkalnya ibadah. Inamal A’malu Biniat. Jika niatnya salah, bukan karena Allah, maka akan berdampak negatif. Tujuan mereka hanya berkeinginan mendapat prestise 'haji' yang dijadikan sebagai alat memperkuat status sosialnya, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat. Mereka tersihir dengan predikat haji sehingga menjadikan dirinya sombong kepada yang belum haji. Songkok putih yang seharusnya menjadi simbol putihnya akhlak telah dikotori dengan sifat-sifat tercela. (Amirul Ulum: 2012)


Diterawang dari segi etimologi, mabrur (bahasa Arab) berasal dari kata barra-yaburru-barran yang mempunyai arti taat berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia karya Ahmad Warson Munawwir dijelaskan kata-kata albirru artinya ketaatan, kesalehan atau kebaikan. Sedangkan mabrur sendiri artinya haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT. Berkaitan dengan hal itu Nabi Muhammad SAW bersabda, "Haji yang mabrur tiada balasan kecuali surga." (HR Bukhari dan Muslim)


Agar haji tidak dianggap sebagai wisata religi setidaknya ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi: Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata mengharap ridlo Allah SWT. Kedua, biaya yang digunakan untuk ibadah haji, baik biaya perjalanan maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan diperoleh dengan cara yang halal, bukan berasal dari cara haram. Ketiga, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, yakni syarat, rukun, wajib bahkan sunah ibadah tersebut harus terpenuhi.


Keempat, ini yang paling penting, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji. Kelima yang tak kalah pentingnya juga, predikat “Pak Haji” atau “Bu Hajah” tidak menjadikannya larut dalam sanjungan dan kesombongan.


Haji mabrur juga dapat dicapai oleh orang yang melaksanakannya sesuai dengan syarat, wajib dan rukunnya. Dan ketika melaksanakan, dia tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal. Rafats bukan sekadar hubungan seksual tapi termasuk bicara yang porno, matanya juga harus dijaga. Fusuq adalah perbuatan fasik yang maksiat, misalnya, membicarakan kejelekan orang lain atau mengadu domba. Sementara jidal artinya berkelahi. (Amirul Ulum: 2012). Pokoknya selama di Tanah Suci, mereka bisa menahan hawa nafsu untuk tidak menimbulkan amarah orang sehingga dia harus banyak bersabar.


Menggapai haji mabrur memang sangat sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun bukan berarti para jamaah haji tidak bisa meraih derajat itu. Selagi ada niat yang tulus karena Allah SWT, dan didasari dengan hati yang ikhlas, serta mempunyai progress kearah yang lebih baik tentu Haji Mabrur akan dapat disandang. Mudah-mudahan jamah haji tahun ini menjadi haji yang tidak sekedar berwisata religi. Semoga !


* Akademisi di Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar