Para Kekasih Iblis
Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Semakin banyak orang
tahu bahwa dunia ini bergerak menuju “Indonesia harus terus hidup, tapi jangan
sampai besar dan kuat. Negara Indonesia harus lemah, bangsa Indonesia harus
kerdil”.
Maka orasi seorang
tokoh tua di sebuah “rapat gelap” ini mungkin justru merupakan ungkapan cinta
yang mendalam dan pembelaan kepada Indonesia:
“Kita bangsa
Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum Indonesia benar-benar total
kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita amandemen terus sampai berapa kalipun
sampai kelak nasionalisme dan kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis”.
“Setiap bikin
undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah
manapun, di tingkat paling atas sampai bawah, sebaiknya dipastikan menuju proyek
besar sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik paling nadir”.
“Demikian juga policy
dan penanganan segala bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan, pendidikan,
kebudayaan, sampaipun cara berpikir dan selera makan, hendaknya jangan
memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan
ketangguhannya siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak
mungkin dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa
berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis
sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali. Kita memerlukan
tempo yang lebih tinggi untuk menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan
kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup nyaman dalam
kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri”.
“Dialektika
Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai
perusahaan yang memanipulasi dan mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan
tanah air dengan segala kekayaannya harus dijadikan ideologi utama”.
Pasti itu bukan pernyataan
politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak,
pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik: yang
terutama menangis adalah “orang”. Adalah “manusia”. Adapun Negara, pemerintah,
ssstem, nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga tak menanggung
apa-apa. Yang menanggung duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak
lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia, dengan derita hatinya,
tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat,
kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga pihak yang
bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga IBlis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata :
“Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk pertama
yang berdusta. Para pendusta di bumi adalah sahabatku. Dan mereka yang
bersumpah kemudian mendustakan sumpah itu, mereka adalah kekasihku”.
Kurang jelaskah
pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang
tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental banyak pejabatnya,
pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga manipulasi kebijakan yang
sangat tidak bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an,
apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah yang memamerkan wajahnya,
menyorong punggungnya, menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin, selain
sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak
dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita. Malah
Tuhan yang jaraknya cenderung semakin menjauh dari kita, kecuali pas kita
perlukan untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi muka.
Akan tetapi dalam
kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya
abastraksi untuk menuding “kambing hitam”. Atau Tuhan kita perlukan untuk
kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah dan industri
zakat, kostum religi perbankan dan bermacam-macam lagi dusta liberal
penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi
“dongeng”. Segera Ia akan masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan Iblis.
Peta mitos. Khayalan tentang suatu pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis,
Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing.
Sebab pada makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing
adalah binatang yang baik, tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan
tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan bahwa anjing masuk neraka. Bahkan
dalam faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu Dharmakusuma yang hidupnya
sangat ikhlas dan sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih tinggi
sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami
sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi
Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis diidentifikasi sebagai “idiom” untuk
menyebut segala jenis keburukan dan kejahatan manusia — dan itu tidak
sepenuhnya benar. Sedangkan “arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya “rupa
datu” yang tampak oleh mata, yang tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang
segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya
tinggal di wilayah “arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”, sebab ia
berada pada syariat utama kehidupan manusia, yakni darah yang mengalir di dalam
tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata
Iblis suatu hari, “tak akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena aku bisa
memasuki darah mereka tanpa mereka bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku
minta kepada Allah agar menganugerahiku kemampuan untuk mengalir di dalam darah
manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang
menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh itu
lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh tidak pada tempatnya menyuruh musuh.
Allah menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta kepada Muhammad, menjawab
pertanyaan dengan jujur, serta membuka semua rahasia tugasnya dari Allah di
medan kehidupan manusia.
Coba ingat kata-kata
Iblis “Akulah makhluk pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang pertama
adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam. Penolakan untuk menghormati manusia
ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat kepada Tuhan: “Kenapa Engkau
ciptakan manusia, yang kerjanya merusak bumi dan menumpahkan darah”. Andai
di-kalimat-kan, Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud kepada Adam”.
Kemudian Allah
mengizinkan Iblis yang meminta “tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk kelak
membuktikan bahwa setelah menjalani sekian peradaban, manusia terbukti tidak
punya kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh Iblis dan para Malaikat.
Dan Iblis hari ini tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai Kiamat, datang
saja ke Indonesia tanggal berapa bulan apa saja untuk menemukan bahwa penolakan
bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang
lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat
jahat, kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian itu tidak faktual.
Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki
“Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar dan jujur.
Kayaknya salah satu
kesalahan manusia yang paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal seluruh
keburukan yang kita ludahkan itu bukan bikinan Iblis, melainkan produk keputusan
kita sendiri.
“Aku tidak diberi
kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada
Muhammad, “Aku hanya membisiki dan menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk
menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa satu orangpun yang menjadi pengikutmu.
Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada
manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah
hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan untuk memberi hidayah,
tak akan ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak —
mengacu ke Borobudur — fakta “rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata mereka
tak melihatnya. Udara yang ia hirup, suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu
melihat mata, paling jauh ia melihat bayangannya di cermin, tapi bukan diri
mata itu sendiri. Jangankan lagi dengan semakin canggihnya teknologi
ultra-modern sekarang: kita bingung siaran televisi itu berasal dari
“rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”, ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”.
Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain: software di komputer, lalulalang
Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka telegram itu dikirim
kertasnya meluncur nyantol lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan
se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita, bahkan di dalam diri kita, bahkan
ia mengalir di dalam darah kita.
Maka sebagaimana
formula “casting” Iblis, orasi tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak
dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin dialektika berpikir yang
zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat seniman kita “Nasionalisme
Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia
lahir kembali” adalah sisipan cita-cita mulia di tengah deretan pernyataan yang
seolah-olah mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya,
“Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para
pemakan riba”. Sangat jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”.
Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah
Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya untuk menangani perilaku
tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang
sihir”. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di
Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk
idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-ustadzan,
Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk
kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir
kita: “Gosip dan adu-domba adalah hobiku”.
Ada baiknya kita
undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional, dengan syarat: “Aku mendatangi
semua manusia, yang bodoh maupun pintar, yang durjana atau yang salah, yang
bisa membaca atau buta huruf. Semuanya, kecuali orang ikhlas”.
Yogya 25 September
2012
Dimuat di Kolom,
Majalah Gatra No. 49 XVIII 11 Oktober – 17 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar