Merindu Nasionalisasi
Indonesia
Oleh Emha Ainun
Nadjib
Berangkat dari Jokowi
ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia,
atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum
Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya
menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh
kesemrawutan.
Bangsa Indonesia
hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya
untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa
kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau
menarik mundur.
Yang rutin, bangsa
Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum
shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup
siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba
dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu
mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih
berganti.
Manusia berani
Manusia Indonesia
adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani
hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak
masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring
kesantunan dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia
tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang
strategi korupsinya. Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran
iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia
mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai.
Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno,
Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting.
Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa
disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar
mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidak peduli soal
mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan
Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia
mampu membikin ”siapa tahu” dan ”kalau-kalau” menjadi makanan yang
mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan
Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau
penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan ’wi’ telah menyekunderkan ’Joko’.
’Wi’ itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan
masa silam.
Sudah sangat lama
hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka
membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai
Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur.
Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
”Jokowi” itu nama
yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk
tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti
puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan
oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya,
wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun
kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana
Islam ”harus jelek” bahkan ”miskin, bodoh, dan pemarah”. Ditambah Bowo pula.
Kalau ”Prabowo” masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum
”wong Jowo”.
Begitu jadi orang
Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus
”mudik ke Jawa”.
Jawa adalah entitas
masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi
simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau
pembantu.
Bukan kendali manusia
Pasti tidak ada maksud
tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi
Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada
yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak
linier, meskipun kita menitinya melalui garis linier. Proses-proses sejarah
berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit
dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya
gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi
dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan.
Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai
dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan
benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup
dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun.
Dipacu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang
kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya
manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak
ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan
mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk
rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai
hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun
memberi legitimasi ”Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh
kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah.”
Mencari asal
Orang memilih Jokowi
mungkin setahap perjalanan di alur ”sangkan paran”, bawah sadar mencari asal
muasal, kerinduan kepada diri sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada
Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng
dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah
Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga
tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang
baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari
dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung
karena mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk
membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta
yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi
orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti
Petruk, anaknya Kiai Semar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan
Adam dengan menyatakan, ”Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di Bumi”.
Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan.
Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan
kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa
Indonesia berpikir bahwa ”bukan ini Indonesia”. Maka bawah sadar mereka
terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar