Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
KETIKA rakyat sering mempertanyakan peran dan
kehadiran pemerintah di tengah sejumlah persoalan kenegaraan dan persoalan
kemasyarakatan, pertanyaan itu sama dan sebangun dengan pernyataan tentang
buruknya kinerja pemerintah. Dengan begitu, semua upaya pencitraan tentang
keberhasilan dan kepedulian pemerintah terbantahkan oleh pertanyaan itu.
,
Kini, publik memaknai pencitraan sebagai
upaya untuk menyesatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kinerja pemerintah.
Sebab, apa yang diklaim serba baik oleh pemerintah nyata-nyata bertolakbelakang
dengan fakta dan realita. Kualitas penegakan hukum terus menurun. Perang
melawan korupsi memang belum berakhir, tetapi untuk saat ini, negara dalam
posisi kalah karena dua alasan ini; pertama, korupsi makin merajalela. Kedua,
pemerintah sangat minimalis menyikapi upaya pelemahan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Begitu pun di bidang ekonomi dan
kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi lebih ditopang konsumsi dalam negeri.
Revitalisasi sektor pertanian dan tanaman hanya sampai pada konsep, sehingga
ketergantungan pada bahan pangan impor terus meningkat. Keinginan mempercepat
pembangunan infrastruktur pun sebatas wacana di forum-forum seminar. Kemiskinan
tak kunjung berkurang. Angka Pengangguran masih tinggi. Sementara itu, konflik
horizontal di berbagai daerah dirasakan makin tinggi intensitasnya akhir-akhir
ini. Terbanyak berlatarbelakang konflik agraria.
Kalau fakta dan realitanya seperti itu,
wajarlah kalau pencitraan untuk meyakinkan publik bahwa segala sesuatunya serba
baik, dimaknai sebagai upaya menyesatkan pemahaman publik terhadap kinerja
pemerintah. Citra, sejatinya, terbentuk oleh rangkaian fakta dan rasa. Karena
itu, upaya mencitrakan kinerja pemerintah yang mumpuni atau progresif tak cukup
dengan klaim sepihak. Pun tak perlu dipidatokan atau tepuk dada. Rakyat bisa
melihat dan merasakannya. Dari situ, citra dan persepsi tentang kinerja
pemerintah akan terbentuk, negatif atau positif.
Bukan memanipulasi dan meyulap fakta buruk
menjadi suatu yang indah menurut diri sendiri. Upaya menampilkan citra yang
baik akan gagal jika dikemas dengan ketidakjujuran menyikapi dan memaknai
fakta. Maka, jangan kecewa jika pencitraan yang memuat pesan tentang
keberhasilan dan kejujuran bisa dengan mudah dimentahkan atau dibantah oleh
fakta-fakta tentang kegagalan dan rangkaian kebohongan.
Rakyat tidak bisa terus menerus dininabobokan
dengan janji-janji atau klaim sepihak mengenai kinerja progresif pemerintah di
bidang ekonomi, hukum, sosial, politik dan keamanan. Sebab, rangkaian
pencitraan bukanlah mesin yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat,
mewujudkan keadilan sosial dan membersihkan birokrasi negara dari perilaku
korup. Pencitraan pun tak akan bisa menolong warga miskin, menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan daya beli rakyat, mengatasi masalah pendidikan dan
kesehatan masyarakat. Wujud pencitraan hanya rangkaian kata plus gambar,
sedangkan plus minus kesejahateraan dan keadilan itu dirasakan langsung, baik
individu maupun komunitas. Kata orang bijak, rasa itu tak bisa dibohongi. Jadi,
kalau sesuatu yang nyata-nyata tidak enak tetap diaku enak, di situ ada
kebohongan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata
6 persen per tahun tak perlu diperdebatkan lagi. Bank Dunia memperkirakan
pertumbuhan ekonomi RI per 2012 sebesar 6,2%. Ada tantangan karena pertumbuhan
di negara mitra dagang RI dipastikan terganggu oleh ketidakpastian ekonomi
dunia akibat krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Pemerintah sendiri
mematok target pertumbuhan 6,7%, sedikit lebih tinggi dari 2011 yang 6,5%.
Keyakinan pemerintah bisa bertahan dari dampak krisis utang Eropa patut
diapresiasi.
Namun, sudah berulangkali masyarakat bertanya
tentang siapa saja yang menikmati pertumbuhan tinggi itu? Seberapa kuat
pertumbuhan yang tinggi itu menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli
pekerja? Mampukah pertumbuhan itu merespons masalah kemiskinan di dalam negeri?
Boleh percaya boleh tidak, BPS mengumumkan
bahwa hingga Februari 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari
tercatat 6,32%, dan jumlah Jumlah penduduk miskin per September 2011
tercatat 29,89 juta orang (12,36 persen). Kalau klaim BPS itu dihadakan dengan
data tentang program beras untuk warga miskin (Raskin) dan jumlah Rumah Tangga
Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) yang berhak mendapatkan Raskin, gambaran
kemiskinan versi BPS itu terjungkirbalikan.
Untuk tahun ini, kantor Menko Kesra
mengumumkan bahwa Program Raskin 2012 menyediakan beras bersubsidi kepada
17.488.007 RTS-PM dengan kondisi sosial ekonomi terendah di Indonesia (kelompok
miskin dan rentan miskin). Katakanlah minimal per RTS-PM beranggotakan empat
orang. Maka, jumlah warga miskin sebenarnya bisa lebih dari 70 juta jiwa.
Maka, angka kemiskinan versi BPS bukan hanya
tidak realistis, tetapi jelas-jelas lebih bertujuan pencitraan. Angka-angka BPS
itu ingin mengatakan bahwa pemerintah berhasil menurunkan jumlah warga miskin.
Tetapi, program Raskin berikut RTS-PM yang dirancang pemerintah justru
membantah klaim BPS itu. Kalau program pengentasan kemiskinan hanya berpatokan
pada angka BPS, pembangunan nasional akan sesat jalan dan sesat sasaran?
Kesimpulannya, tingginya pertumbuhan ekonomi
RI dalam beberapa tahun terakhir sama sekali tidak bermutu. Buruknya kualitas
pertumbuhan ekonomi tergambar dari pembangunan yang belum merata. Masih menurut
BPS, hingga triwulan I/2012, struktur perekonomian Indonesia masih
didominasi oleh kelompok provinsi di Jawa dan Sumatra. Kelompok provinsi di
Jawa memberikan kontribusi 57,5% terhadap PDB, diikuti Pulau Sumatra
23,6%, Kalimantan 9,8%, Sulawesi 4,5%, Bali dan Nusa Tenggara 2,4%, dan Maluku
dan Papua sebesar 2,2%.
Hadir dan Melindungi
Rasa keadilan rakyat pun sudah
tercabik-cabik, karena kualitas penegakan hukum yang buruk. Masyarakat di
sejumlah daerah konflik merasa pemerintah dan institusi penegak hukum tidak
pernah hadir ketika mereka terperangkap dalam persoalan sengketa agraria
yang berpotensi memicu konflik horizontal. Ketika masyarakat
berhadap-hadapan dengan kekuatan bisnis yang besar, alat-alat negara justru
tidak independen karena cenderung berpihak pada pemodal. Kecenderungan ini
tampak begitu nyata dalam tragedi berdarah di Mesuji maupun konflik agraria di
daerah lain.
Moral pemerintahan SBY memerangi korupsi pun
praktis sudah rontok. Apa yang terjadi sekarang adalah perang semu melawan
komunitas koruptor. Negara ini sudah kehilangan konsistensinya dalam perang
melawan korupsi, karena pemerintah tidak all out melindungi KPK dari upaya
pelemahan yang dilakukan dengan berbagai cara dan modus.
Menyikapi buruknya kinerja institusi penegak
hukum, presiden hanya bisa prihatin. Padahal, presiden punya wewenang dan
kapasitas untuk membenahi kinerja institusi penegak hukum. Akan tetapi, karena
wewenang itu tidak digunakan, memburuknya kualitas penegakan hukum tak
terhindarkan. Itu sebabnya proses hukum terhadap sejumlah kasus besar, seperti
skandal Bank Century dan Mafia Pajak, tidak berkepastian hingga kini.
Setiap kali didesak menggunakan wewenangnya
memperbaiki koordinasi dan sinergi antarinstitusi penegak hukum, presiden
selalu menghindar dengan argumentasi ‘tidak ingin mengintervensi’. Kini, argumentasi
seperti itu sudah dilihat sebagai pencitraan yang ngawur. Intervensi terhadap
bawahan yang lamban menyelesaikan tugasnya jelas tidak sama dengan makna
‘intervensi proses hukum’.
Dalam sejumlah kasus atau masalah, masyarakat
sudah berulangkali mempertanyakan peran dan kehadiran pemerintah, baik sebagai
penengah maupun fasilitator. Kehadiran presiden atau pemerintahannya
sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah. Presiden dan
pemerintahannya harus bersikap, berketetapan, dan berkeputusan atau menetapkan
kebijakan agar setiap masalah bisa diselesaikan. Wacana tidak diperlukan,
karena wacana cenderung menjadi upaya pencitraan. Kalau para pembantu presiden
tidak juga bisa menyelesaikan masalah bersangkutan, presiden harus mengambilalih
persoalan dan menuntaskannya. Jangan menggantung masalah dengan membiarkan para
pembantu berseteru. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar