Senin, 12 November 2012

BamSoet: Fakta Membantah Citra

Fakta Membantah Citra

 

Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI

 

KETIKA rakyat sering mempertanyakan peran dan kehadiran pemerintah di tengah sejumlah persoalan kenegaraan dan persoalan kemasyarakatan, pertanyaan itu sama dan sebangun dengan pernyataan tentang buruknya kinerja pemerintah. Dengan begitu, semua upaya pencitraan tentang keberhasilan dan kepedulian pemerintah terbantahkan oleh pertanyaan itu.

                                             ,

Kini, publik memaknai pencitraan sebagai upaya untuk menyesatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kinerja pemerintah. Sebab, apa yang diklaim serba baik oleh pemerintah nyata-nyata bertolakbelakang dengan fakta dan realita. Kualitas penegakan hukum terus menurun. Perang melawan korupsi memang belum berakhir, tetapi untuk saat ini, negara dalam posisi kalah karena dua alasan ini; pertama, korupsi makin merajalela. Kedua, pemerintah sangat minimalis menyikapi upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Begitu pun di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi lebih ditopang konsumsi dalam negeri. Revitalisasi sektor pertanian dan tanaman hanya sampai pada konsep, sehingga ketergantungan pada bahan pangan impor terus meningkat. Keinginan mempercepat pembangunan infrastruktur pun sebatas wacana di forum-forum seminar. Kemiskinan tak kunjung berkurang. Angka Pengangguran masih tinggi. Sementara itu, konflik horizontal di berbagai daerah dirasakan makin tinggi intensitasnya akhir-akhir ini. Terbanyak berlatarbelakang konflik agraria.

 

Kalau fakta dan realitanya seperti itu, wajarlah kalau pencitraan untuk meyakinkan publik bahwa segala sesuatunya serba baik, dimaknai sebagai upaya menyesatkan pemahaman publik terhadap kinerja pemerintah. Citra, sejatinya, terbentuk oleh rangkaian fakta dan rasa. Karena itu, upaya mencitrakan kinerja pemerintah yang mumpuni atau progresif tak cukup dengan klaim sepihak. Pun tak perlu dipidatokan atau tepuk dada. Rakyat bisa melihat dan merasakannya. Dari situ, citra dan persepsi tentang kinerja pemerintah akan terbentuk, negatif atau positif.

 

Bukan memanipulasi dan meyulap fakta buruk menjadi suatu yang indah menurut diri sendiri. Upaya menampilkan citra yang baik akan gagal jika dikemas dengan ketidakjujuran menyikapi dan memaknai fakta. Maka, jangan kecewa jika pencitraan yang memuat pesan tentang keberhasilan dan kejujuran bisa dengan mudah dimentahkan atau dibantah oleh fakta-fakta tentang kegagalan dan rangkaian kebohongan.

 

Rakyat tidak bisa terus menerus dininabobokan dengan janji-janji atau klaim sepihak mengenai kinerja progresif pemerintah di bidang ekonomi, hukum, sosial, politik dan keamanan. Sebab, rangkaian pencitraan bukanlah mesin yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan keadilan sosial dan membersihkan birokrasi negara dari perilaku korup. Pencitraan pun tak akan bisa menolong warga miskin, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya beli rakyat, mengatasi masalah pendidikan dan kesehatan masyarakat. Wujud pencitraan hanya rangkaian kata plus gambar, sedangkan plus minus kesejahateraan dan keadilan itu dirasakan langsung, baik individu maupun komunitas. Kata orang bijak, rasa itu tak bisa dibohongi. Jadi, kalau sesuatu yang nyata-nyata tidak enak tetap diaku enak, di situ ada kebohongan.

 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata 6 persen per tahun tak perlu diperdebatkan lagi. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI per 2012 sebesar 6,2%. Ada tantangan karena pertumbuhan di negara mitra dagang RI dipastikan terganggu oleh ketidakpastian ekonomi dunia akibat krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Pemerintah sendiri mematok target pertumbuhan 6,7%, sedikit lebih tinggi dari 2011 yang 6,5%. Keyakinan pemerintah bisa bertahan dari dampak krisis utang Eropa patut diapresiasi.

 

Namun, sudah berulangkali masyarakat bertanya tentang siapa saja yang menikmati pertumbuhan tinggi itu? Seberapa kuat pertumbuhan yang tinggi itu menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli pekerja? Mampukah pertumbuhan itu merespons masalah kemiskinan di dalam negeri?

 

Boleh percaya boleh tidak, BPS mengumumkan bahwa hingga Februari 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari tercatat 6,32%, dan jumlah Jumlah penduduk miskin  per September 2011 tercatat 29,89 juta orang (12,36 persen). Kalau klaim BPS itu dihadakan dengan data tentang program beras untuk warga miskin (Raskin) dan jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) yang berhak mendapatkan Raskin, gambaran kemiskinan versi BPS itu terjungkirbalikan.

 

Untuk tahun ini, kantor Menko Kesra mengumumkan bahwa Program Raskin 2012  menyediakan beras bersubsidi kepada 17.488.007 RTS-PM dengan kondisi sosial ekonomi terendah di Indonesia (kelompok miskin dan rentan miskin). Katakanlah minimal per RTS-PM beranggotakan empat orang. Maka, jumlah warga miskin sebenarnya bisa lebih dari 70 juta jiwa.

 

Maka, angka kemiskinan versi BPS bukan hanya tidak realistis, tetapi jelas-jelas lebih bertujuan pencitraan. Angka-angka BPS itu ingin mengatakan bahwa pemerintah berhasil menurunkan jumlah warga miskin. Tetapi, program Raskin berikut RTS-PM yang dirancang pemerintah justru membantah klaim BPS itu. Kalau program pengentasan kemiskinan hanya berpatokan pada angka BPS,  pembangunan nasional akan sesat jalan dan sesat sasaran?

 

Kesimpulannya, tingginya pertumbuhan ekonomi RI dalam beberapa tahun terakhir sama sekali tidak bermutu. Buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi tergambar dari pembangunan yang belum merata. Masih menurut BPS,  hingga triwulan I/2012, struktur perekonomian Indonesia masih didominasi oleh kelompok provinsi di Jawa dan Sumatra. Kelompok provinsi di Jawa memberikan kontribusi  57,5% terhadap PDB, diikuti Pulau Sumatra 23,6%, Kalimantan 9,8%, Sulawesi 4,5%, Bali dan Nusa Tenggara 2,4%, dan Maluku dan Papua sebesar 2,2%.

 

Hadir dan Melindungi

 

Rasa keadilan rakyat pun sudah tercabik-cabik, karena kualitas penegakan hukum yang buruk. Masyarakat di sejumlah daerah konflik merasa pemerintah dan institusi penegak hukum tidak pernah hadir ketika mereka terperangkap dalam persoalan sengketa agraria yang  berpotensi memicu konflik horizontal. Ketika masyarakat berhadap-hadapan dengan kekuatan bisnis yang besar, alat-alat negara justru tidak independen karena cenderung berpihak pada pemodal. Kecenderungan ini tampak begitu nyata dalam tragedi berdarah di Mesuji maupun konflik agraria di daerah lain.

 

Moral pemerintahan SBY memerangi korupsi pun praktis sudah rontok. Apa yang terjadi sekarang adalah perang semu melawan komunitas koruptor. Negara ini sudah kehilangan konsistensinya dalam perang melawan korupsi, karena pemerintah tidak all out melindungi KPK dari upaya pelemahan yang dilakukan dengan berbagai cara dan modus.

 

Menyikapi buruknya kinerja institusi penegak hukum, presiden hanya bisa prihatin. Padahal, presiden punya wewenang dan kapasitas untuk membenahi kinerja institusi penegak hukum. Akan tetapi, karena wewenang itu tidak digunakan, memburuknya kualitas penegakan hukum tak terhindarkan. Itu sebabnya proses hukum terhadap sejumlah kasus besar, seperti skandal Bank Century dan Mafia Pajak, tidak berkepastian hingga kini.

 

Setiap kali didesak menggunakan wewenangnya memperbaiki koordinasi dan sinergi antarinstitusi penegak hukum, presiden selalu menghindar dengan argumentasi ‘tidak ingin mengintervensi’. Kini, argumentasi seperti itu sudah dilihat sebagai pencitraan yang ngawur. Intervensi terhadap bawahan yang lamban menyelesaikan tugasnya jelas tidak sama dengan makna ‘intervensi proses hukum’.

 

Dalam sejumlah kasus atau masalah, masyarakat sudah berulangkali mempertanyakan peran dan kehadiran pemerintah, baik sebagai penengah maupun fasilitator.  Kehadiran presiden atau pemerintahannya sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah. Presiden dan pemerintahannya harus bersikap, berketetapan, dan berkeputusan atau menetapkan kebijakan agar setiap masalah bisa diselesaikan. Wacana tidak diperlukan,  karena wacana cenderung menjadi upaya pencitraan. Kalau para pembantu presiden tidak juga bisa menyelesaikan masalah bersangkutan, presiden harus mengambilalih persoalan dan menuntaskannya. Jangan menggantung masalah dengan membiarkan para pembantu berseteru. []

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar