Rabu, 21 November 2012

Gus Dur: Pandangan Jernih dalam Berpolitik


Pandangan Jernih dalam Berpolitik

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Semasa masih menjadi Presiden negeri ini, penulis mendengar kedatangan Paul Krugman seorang ekonom terkemuka yang mengajar di sebuah universitas “papan atas” A.S, datang ke Jakarta untuk sebuah seminar. Segera penulis, melalui orang-orang tertentu, mengundang ia datang ke Istana. Karena penulis pernah bertanya kepada Datuk Seri Dr. Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia waktu itu, mengapa ia berani menarik Malaysia keluar dari IMF (Dana Moneter Internasional)? Jawabnya, ia mengikuti nasehat Paul Krugman . Penulis sangat tertarik pada orang ini, yang kemudian menjadi kolumnis pada The International Herald Tribune yang terbit di New York. Ia menyatakan kepada penulis, Malaysia dapat keluar dari IMF, karena memiliki birokrasi yang kecil dan bersih (lean and clean bureaucratie). Sebaliknya Indonesia, katanya, birokrasinya sangat besar dan bobrok. Karena itu janganlah keluar dari IMF, sambungnya.


Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat itu, Krugman adalah seorang yang tajam dalam pengamatan dan mendalam penilaiannya. Mungkin karena itu, ia tidak menulis buku teks klasik di bidang ekonomi seperti Paul Samuelson, atau ekonomi pembangunan seperti Kindle Berger. Tetapi pengamatanya yang tajam dan pengertiannya yang mendalam itu ternyata dituangkan dalam kolom-kolom yang ditulisnya. Misalnya saja tulisannya tentang demokrasi di Venezuela. Negara minyak yang demokratis itu, ternyata memilih Hugo Chavez sebagai Presiden beberapa tahun yang lalu dan ternyata tetap bertahan hingga hari ini. Ia tidak disenangi A.S yang mencoba menggulingkannya melalui “kudeta tak berdarah” beberapa tahun yang lalu oleh A.S, melalui sekelompok penentangnya.


Berbeda dengan Krugman yang mempertahankan konstitusi Venezuela, tetapi tidak menyukai Chavez. Penulis justru melihat sesuatu yang istimewa pada Chavez. Karena Chavez adalah keturunan Indian pertama yang menjadi Presiden melalui pemilihan umum yang bebas di negeri Amerika Latin itu, berarti ia dipilih oleh mayoritas Indian dan keturunan Indian, maka penulis bersimpati kepadanya. Bahkan penulis berharap agar ia, terpilih kembali menjadi Presiden negeri itu. Chavez berani berhadapan dengan oligarki “keturunan” Spanyol, seperti Simon Bolivar lebih adari 100 tahun yang lalu menandai bangkitnya “demokrasi” di Amerika Latin. Karena itu Chavez bagi penulis adalah seperti Nasser dari Mesir bagi dunia Arab dan pertama kalinya, orang miskin menjadi Presiden di negeri minyak Amerika Latin itu.


Sudah tentu hal itu tidak dirasakan oleh seorang kulit putih seperti Krugman. Tapi, penulis sangat menghargai pendapat Krugman dalam hal-hal lain. Hal itu terlihat dari kolom-kolomnya, yang menunjukkan dua hal sekaligus: Keteguhannya untuk berpegang kepada kapitalisme yang telah mengalami modifikasi/perubahan; dan keberanian moralnya untuk tetap berpegang pada acuan tersebut. Ini terlihat antara lain dalam penolakannya kepada pendapat Bush-Cheney yang terlalu ‘mementingkan’ perusahaan-perusahaan minyak dunia saat ini. Dalam kasus krisis energi di California dua-tiga tahun yang lalu, komisi Cheney mengusulkan penghapusan aturan-aturan lingkungan hidup yang ada dan pemberian subsidi puluhan miliar dollar kepada perusahaan-perusahaan energi yang beroperasi di negera bagian tersebut. Krugman menentang hasil-hasil komisi tersebut, dan dibuktikan kebenarannya dari perkembangan keadaan sekarang.

 

****


Dalam pembukaan rapat konsolidasi wilayah V LPP (Lembaga Pemenangan Pemilu) PKB di Lombok, beberapa waktu yang lalu penulis menyampaikan 4 buah sasaran PKB yang akan dicapai jika PKB menang dalam pemilu. Pertama, Demokratisasi Indonesia terutama melalui penegakan hukum dan perlakuan yang sama terhadap semua warga Negara di hadapan undang-undang. Kedua, kepemimpinan Indonesia dalam dunia Islam. Hal ini ditempuh melalui dialog yang jujur dan terbuka antara negara-negara besar dan kecil tentang arti yang dipakai untuk beberapa peristilahan internasional, seperti globalisasi. Dan ketiga, menaikkan tingkat pendapatan bangsa Indonesia menjadi rata-rata sepuluh ribu dollar Amerika tiap tahun per orang. Untuk mencapai sasaran seperti itu, tentu diperlukan kerja keras kita semua. Untuk menentukan sasaran seperti itu saja sudah merupakan keberanian luar biasa.


Penulis berani menetapkan sasaran itu, setelah melihat kekayaan sumber-sumber alam yang kita miliki. Hasil hutan, barang tambang dan hasil laut kita yang ternyata sangat berlimpah ruah. Hanya saja selama ini sumber alam itu telah dikelola secara salah oleh serangkaian kebijakan yang merugikan rakyat, menggunduli hutan-hutan kita, dan membuat kita tidak menerima manfaat apapun dari barang-barang tambang kita sendiri. Akhirnya, untuk memulai pembangunan ekonomi kita secara rasional, kita mau tidak mau harus menoleh kepada pengelolaan yang benar atas kekayaan laut kita sendiri. Seorang ahli kehutanan telah menyatakan kepada penulis, menurut perhitungannya dibutuhkan lima hingga sepuluh tahun untuk membenahi kembali hutan-hutan kita. Termasuk di dalamnya menjadikan propinsi-propinsi NTB dan NTT, kembali memiliki hutan-hutan yang lebat, seperti ratusan tahun yang lampau.


Demikian pula, seorang ahli pertambangan telah menyatakan kepada penulis, diperlukan waktu sampai 5 tahun untuk memperbaiki kesalahan kontrak-kontrak kerja yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan asing saja, kecuali mengenai minyak bumi. Itu pun, kontrak kerjanya masih harus diperbaiki, karena hanya mengutungkan pihak asing saja dan merugikan kita sebagai bangsa. Penetapan perusahaan asing yang beroperasi di sini, dan hanya menguntungkan segelintir pejabat pemerintahan saja, harus diperbaiki kembali dan uangnya masuk ke dalam kas negara. Tentu saja ini memerlukan waktu dan kerja keras kita bersama, baik dalam tubuh Pertamina, PT PGN (Perusahaan Gas Negara), PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan lain-lain. Pertimbangan inilah yang membuat penulis berani menetapkan bangsa kita memperoleh penghasilan perorang pertahun sepuluh ribu dollar A.S. Sesuatu yang belum pernah dicapai oleh bangsa-bangsa lain pada kurun waktu sekian itu.Dari apa yang diuraikan di atas, jelaslah mengapa penulis sangat menghargai keberanian moral Paul Krugman dengan kolom-kolom dan audio book nya itu. Memang, penulis pun memerlukan keberanian untuk itu.


Karena dunia media masih diliputi ketakutan mengatakan atau mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi, maka kolom-kolom yang berisikan keberanian moral mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap “lumrah” haruslah dihargai sepatutnya. Sampai hari inipun, tidak ada kolom di negeri ini yang berani mempertanyakan “pemindahan” kasus hukum secara tiba-tiba dijadikan kasus politik melalui MPR-RI, yang dialami penulis melalui dua Pansus di DPR-RI sewaktu menjabat Presiden, apakah itu melanggar konstitusi atau tidak? Ini semua tentu harus diselidiki di masa depan bagi kepentingan bangsa dan negara.


Keberanian Paul Krugman untuk menudingkan jari ke arah wakil Presiden A.S Dick Cheney harus dilihat dalam konteks ini. Bukan melalui kerangka politik Partai Republik melawan Partai Demokrat di negeri Paman Sam itu. Memang, menegakkan demokrasi berarti menegakkan kedaulatan hukum sedangkan menegakkan kedaulatan hukum memerlukan keberanian moral yang besar. Karena itu penulis sangat menghargai didirikannya Aliansi Anti Politisi Busuk yang sekarang tersebar di mana-mana di negeri kita. Mudah-mudahan perjuangan mereka berhasil, karena memang itu adalah salah satu tugas berat yang menunggu kita. Karena penulis diperintahkan mendirikan partai politik oleh beberapa orang kyai dan oleh PBNU beberapa tahun yang lalu, tugas ini membuat penulis tidak dapat terlibat langsung perjuangan kawan-kawan yang mendirikan aliansi tersebut. Tapi jika memang dalam tubuh partai politik yang penulis dirikan bersama sejumlah kawan memang terdapat politisi seperti itu, penulis pun akan mengambil tindakan hukum terhadap mereka, seperti yang mungkin diambil oleh aliansi di atas. Memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan? []


Jakarta, 19 Januari 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar