Koruptor Hambalang:
“Citius, Altius, Fortius!”
Jum'at, 02 November
2012 , 19:07:00 WIB
Oleh: Adhie M.
Massardi
CITIUS, Altius,
Fortius. Tiga kata bahasa Latin ini artinya: lebih cepat, lebih tinggi, lebih
kuat. Baron Pierre de Coubertin, pendiri Komite Olimpiade Internasional (IOC),
pada 1894, menjadikan “tiga kata” ini sebagai motto Olimpiade.
Pada mulanya citius,
altius, fortius itu merupakan kredo bagi para atlet yang berlaga di Olimpiade.
Harapan Coubertin, dalam setiap event Olimpiade, muncul semangat untuk mematok
rekor baru.
Tapi dalam
perkembangannya, semboyan itu akhirnya dipakai di dunia olahraga. Makanya,
citius, altius, fortius juga terpampang di gerbang utama Gelanggang Olahraga
Bung Karno (GBK) di Senayan, Jakarta.
Tapi di Indonesia,
para koruptor yang sudah menguasai manajemen penyelenggaraan event dan sarana
olahraga yang dibiayai negara, tepatnya oleh orang-orang di Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga, juga memakai motto ini. Tentu saja ada sedikit modifikasi
dan penyesuian dengan konteksnya.
Citius maknanya
menjadi: Lebih cepat dalam melakukan patgulipat dan kongkalikong. Altius: Lebih
tinggi anggaran yang dipakai dari jumlah yang seharusnya. Fortius: Lebih kuat
dalam membentengi diri. Sehingga bisa mengintervensi BPK untuk menyulap hasil
audit, dan meredam KPK agar tidak segera masuk ke pusat korupsi.
Sejak dikuasai
jaringan koruptor, olahraga di negeri ini memang mengalami perubahan haluan.
Tak ada lagi fairness, apalagi fair play. Makanya, jangan heran bila pembesar
negara secara terbuka menyuruh timnas PSSI yang hendak bertanding away di luar
negeri untuk mencuri poin. Ya, mencuri poin, dan bukan berjuang mengalahkan
lawan!
Mencuri, menipu, juga
menunggu kelengahan lawan, sudah menjadi bahasa baku dalam kamus olahraga kita.
Makanya, dalam setiap event olahraga, seperti PON (Pekan Olahraga Nasional),
yang dulu merupakan batu loncatan atlet nasional mengukir prestasi guna
menembus kelas ASEAN, Asia, lalu dunia, kini menjadi ajang para koruptor
beraksi.
Makanya, dalam PON
kemarin, juga SEA Games sebelumnya, bukan rekor baru atau prestasi atlet kita
yang jadi perbincangan, tapi skandal korupsinya yang gila-gilaan. Bahkan dari
pentas SEA Games, skandal korupsi pembangunan Wisma Atlet belum dituntaskan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) sampai sekarang. Sebab otak segala korupsi di
dunia olahraga kita, masih bebas berkeliaran, dan terus merancang strategi
korupsi yang citius, altius dan fortius.
Begitulah kisah dunia
olahraga kita yang sekarang menjadi ajang para koruptor mematok rekor. Maka
jangan heran bila di SEA Games XXVI di Jakabaring, Palembang, tahun lalu, tak
terdengar bunyi prestasi, kecuali korupsinya. Demikian pula dari PON XVIII Riau
yang kacau. Sampai-sampai sejumlah rekor yang diukir para atlet dengan jerih
payah, tak diakui dunia internasional gara-gara sarananya tidak memenuhi
standar.
Ada yang menarik
karena merupakan modus operandi baru dalam setiap korupsi di event olahraga.
Persiapannya dibuat molor sampai mepet waktu penyelenggaraan. Sehingga membuat
kita terpaku pada waktu, sedangkan korupsinya tertutup oleh ketegangan menunggu
sarana dan prasarana kelar.
Sementara skandal
megakorupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Sarana Olahraga di Bukit
Hambalang, yang melibatkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng serta
Menteri Keuangan Agus Martowardoyo, proses auditnya oleh BPK yang diintervensi
sehingga jadi molor.
Kita belum tahu ke
mana arah KPK menyisir pusat korupsi di dunia olahraga kita. Kita hanya tahu,
proyek Bukit Hambalang semula hanya berbiaya Rp 125 milyar. Tapi ketika proyek
itu berada di tangan Andi Mallarangeng, biayanya meningkat pesat jadi lebih
dari dua triliun rupiah!
Citius, altius,
fortius! [***]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar