Selasa, 20 November 2012

(Ngaji of the Day) Marhaban Ya Muharram


Marhaban Ya Muharram

Oleh: Ali Syahbana*


Tanpa terasa kita telah berada dibulan Muharram. Sebuah bulan yang merupakan awal dari penanggalan Islam. Ialah bulan yang jatuh sebelum bulan safar dan muncul setelah bulan Zulhijah. Dan tidak kalah penting, dialah bulan yang dimuliakan keberadaannya oleh Allah swt.


Bulan Muharam berarti tahun baru dalam Islam. Berbeda dengan tahun baru Masehi, tahun baru Islam (tahun baru Hijriyah, red.) tidak semarak tahun baru Masehi. Dalam menyongsong kehadiran tahun baru Masehi banyak manusia sibuk mengatur diri, mengikat janji dengan teman, kerabat ataupun sanak famili. Bahkan bila tahun baru itu tiba, mereka menyambutnya dengan suka cita. Bertumpah ruah dijantung-jantung kota seakan kedatangan tamu agung yang sebetulnya tidak layak diagungkan. Kedatangan tamu mulia yang sejatinya jauh dari kemuliaan.


Bagaimana dengan Tahun baru Hijriah?


Tentu amat kontras jika dibandingkan tahun baru Masehi. Kehadiran tahun baru yang jatuh pada bulan yang secara sah dimuliakan Allah ini hanya dimeriahkan segelintir orang. Bagi mereka yang dianugrahi kesadaran, akan memanfaatkan peralihan tahun tersebut dengan bermacam kegiatan positif. Ada diantara mereka yang menggelar istighasah (berdoa bersama mengharap pertolongan Allah swt. terhadap segala sesuatu), muhasabah an-nafs (introspeksi diri). Atau melakukan hal paling sederhana seperti menggelar doa awal dan akhir tahun sebagaimana yang ditradisikan di beberapa mushala dan pesantren.


Terlepas dari hal tersebut, ada satu hal yang biasa dilakukan oleh Sosok panutan sejati, Rasululah saw., saat Bulan Muharam tiba. Beliau saw. melakukan puasa pada tanggal sepuluh Muharam atau biasa dikenal dengan istilah “puasa ‘asyura”. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim bahwa Aisyah r.a. pernah ditanya tentang puasa 'asyura, ia menjawab: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah (keutamaan) pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam."


Cikal bakal puasa ‘asyura sendiri berawal dari aktivitas kaum Yahudi -mengikuti jejak Nabi Musa a.s.- yang berpuasa pasca selamatnya Nabi Musa dan kaumnya serta ditenggelamkannya Fir’aun la’natullah ‘alaih oleh Allah swt. Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., Beliau saw. melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah saw. bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa."Rasulullah saw. bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian." (HR. Abu Daud).


Selain puasa ‘asyura, Nabi saw juga menganjurkan agar umatnya melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Muharam meskipun beliau sendiri belum sempat melakukannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. melakukan puasa 'asyura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, "Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharam." Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).


Hikmah dari pensyari’atan puasa pada tanggal sembilan Muharam, sebagaimana tertera dalam kitab I'anah At-Thalibin karya Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syata Ad-Dimyathi, ialah sebagai bentuk kehati-hatian dikarenakan adanya salah perhitungan dalam menentukan awal bulan. Sebab boleh jadi tanggal sembilan tersebut ternyata tanggal sepuluh Muharam. Selain itu, Berpuasa tanggal sembilan Muharam bisa menjadi pembeda dari apa yang diamalkan kaum Yahudi yang hanya melakukan puasa tanggal sepuluh Muharam. Hal ini merujuk dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Berpuasalah pada hari 'asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyura dan sehari sesudahnya." (HR. Ahmad).


Waba’du, berkaca dari potret kehidupan Rasulullah saw. dan para sahabatnya dalam menghidupkan bulan Muharam, yang kebetulan merupakan tahun barunya Islam, marilah kita mencoba memulai tahun baru ini dengan bernostalgia bersama Sang Pencipta melalui jalur puasa. Dengan penuh harap semoga puasa tersebut bisa menjadi perantara penghapusan dosa-dosa setahun yang lalu sesuai dengan apa yang disabdaka Rasulullah saw. melalui riwayat Imam Muslim Dari Abu Qatadah r.a. tentang keutamaan puasa ‘asyura. Selamat Tahun Baru Hijriyah. Wallahua’lam bis shawab.


* ‘Santri’ di Universitas Ibn Tofail Kenitra, Maroko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar