Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
MANUVER politik Sekretaris Kabinet Dipo Alam
jika tanpa dilengkapi bukti akurat, dapat disebut hanya untuk mencari sensasi
menjelang 2014. Manuver tersebut juga dapat menghadirkan risiko yang bisa saja
menjadi amat berbahaya bagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak
tanggung-tanggung, sebab taruhannya adalah mereduksi soliditas kabinet,
menimbulkan suasana tidak kondusif di kementerian dan memunculkan benih
keretakan koalisi Parpol pendukung pemerintah yang dibangun SBY.
Per moral, apa yang dilakukan Dipo Alam tidak
salah, bahkan harus didukung. Ketika rakyat menyaksikan inkonsistensi dan
ambivalensi pemberantasan korupsi dewasa ini, Dipo Alam tampil memacu semangat
baru penegakan hukum. Dia bahkan langsung menggelar perang baru melawan
korupsi, dengan mengungkap praktik kongkalikong pengaturan anggaran antara DPR
dan kader partai politik di kabinet dan pejabat kementerian.
Kalau sebelumnya Menteri Negara BUMN Dahlan
Iskan menyerang DPR dengan isu oknum anggota DPR memeras BUMN, giliran Dipo
Alam yang juga menyerang DPR serta beberapa kementerian. Namun, pada manuver
Dipo Alam, yang tampak adalah episode tentang Sekretaris kabinet menyerang dan
mencoreng kabinet dimana dia adalah anggota kabinet itu sendiri. Tentu saja
menjadi pemandangan yang tidak lazim.
Seperti diketahui, Dipo Alam telah melapor ke
KPK perihal dugaan kongkalingkong pengaturan anggaran antara DPR dan kader
parpol yang berada di kabinet dan pejabat kementerian. Kongkalikong ini
berpotensi menggerus APBN. Sejumlah media sudah mengidentifikasi kementerian
apa saja yang dilaporkan Dipo. Dibanding Laporan Dahlan, Dipo lebih progresif
karena, katanya, dilengkapi bukti-bukti. Kalau benar, laporan Dipo lebih
bermutu dalam konteks penegakan hukum.
Namun, republik bertambah gaduh karena ingar
bingar yang dimunculkan oleh kontroversi grasi bagi terpidana mati kasus
narkoba, Meirika Franola (Ola) belum lagi terhenti. Harus seperti itukah
langkah Dipo? Kalau sekadar menimbulkan pro kontra, itu biasa. Namun, risikonya
terhadap soliditas kabinet-lah yang seharusnya diperhitungkan. Banyak pihak
tidak bisa menerima cara Dipo karena alasan etika. Kasus dugaan korupsi yang
dikantungi Dipo memang harus diungkap dan diserahkan ke penegak hukum. Tetapi,
sebagai sekretaris kabinet, Dipo mestinya prosedural. Sebab, apa yang
dilaporkannya terkait dengan dugaan penyimpangan yang dilakukan kementerian.
Kementerian itu dipimpin oleh menteri yang nota bene adalah pembantu presiden.
Etikanya, sebelum dikemas menjadi isu di
ruang publik, temuan Dipo mestinya dilaporkan dulu ke dan dikonsultasikan
dengan presiden. Dipo pun berhak memanfaatkan kapasitasnya sebagai sekretaris
kabinet untuk berkomunikasi dulu dengan para menteri yang kementeriannya diduga
terlibat kongkalikong dalam pengaturan anggaran. Para menteri yang dibidik
dalam laporan Dipo setidaknya juga diberi kesempatan melakukan klarifikasi
kepada presiden atau kepada sekretaris kabinet. Bukankah para menteri itu
kolega Dipo juga?
Karena mekanisme seperti itu tidak dilakoni,
yang muncul adalah kesan bahwa sekretaris kabinet menyerang anggota kabinet
lainnya. Tentu saja konsekuensinya akan sangat merepotkan. Apa yang akan
terjadi di dalam kabinet sudah bisa diasumsikan banyak orang. Para menteri yang
tidak pro dengan gaya Dipo tentu saja akan mengambil posisi berseberangan.
Maka, anggota kabinet akan terkotak-kotak. Dengan berbagai alasan, para menteri
yang berseberangan bisa saja menolak untuk kooperatif dengan sekretaris
kabinet. Jadi, apa yang dilakukan Dipo berpotensi mengacak-acak kabinet.
Kalau muncul ekses dalam kabinet, yang harus
menanggung persoalannya adalah presiden, bukan Sekretaris Kabinet. Sebab, tugas
Sekretaris Kabinet tak lebih dari memberi dukungan teknis, administrasi dan
analisis kepada presiden dan wakil presiden. Juga memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan dan program, plus menyiapkan rancangan Peraturan
Presiden, keputusan presiden, serta instruksi presiden. Kalau seperti itu tugas
pokok Sekretaris Kabinet, wajar saja jika muncul pertanyaan seputar motif Dipo
menyerang anggota kabinet lainnya.
Mengancam Koalisi
Suasana di sejumlah kementerian pun pasti
tidak kondusif lagi. Terjadi saling curiga karena munculnya pertanyaan di
kalangan pegawai tentang siapa di antara mereka yang telah membuat laporan
kepada Dipo. Di sini, terlihat lagi sikap amatiran Dipo. Kalau dia profesional,
dia tak perlu mengemukakan bahwa laporan itu diperolehnya dari pegawai di
kementerian. Bukankah cara seperti itu akan mengadudomba para pegawai di
kementerian?
Mengacu pada kasus yang dilaporkan Dipo, tak
dapat ditutup-tutupi adanya tendensi menyerang oknum anggota DPR dan Parpol.
Dipo mendeskripsikan kasus yang dilaporkannya sebagai kongkalikong pengaturan
anggaran antara oknum anggota DPR dan kader parpol yang berada di kementerian.
Berarti, konstruksi kasus hukum yang dilaporkannya sebangun dengan kasus dugaan
korupsi dalam proyek Hambalang.
Fokus serangan dari laporan Dipo tentu saja
kader Parpol lain yang tidak terlibat di kasus Hambalang. Berarti ada anggota
koalisi Parpol pendukung pemerintahan yang dibidik melalui laporan Dipo ke KPK.
Sadar atau tidak, manuver seperti ini akan menggoyang keutuhan koalisi Parpol
pendukung pemerintahan saat ini. Kalau laporan Dipo akurat dan dilakukan proses
hukum bagi mereka yang memainkan anggaran, tidak akan muncul persoalan serius.
Sebaliknya, kalau laporan itu tidak akurat, anggota koalisi yang merasa
tercemar tentu tidak akan tinggal diam. Koalisi Pemerintahan bisa retak. Kalau
koalisi limbung, presiden-lah yang harus memikul persoalan dengan segala macam
konsekuensi politiknya. Kadang, membangun kembali solidoitas koalisi itu jauh
lebih rumit dan butuh banyak energi.
Dilaporkan bahwa manuver Dipo Alam itu
sebagai inisiatif pribadi, dan tidak dilaporkan ke presiden. Artinya, presiden
sama sekali tidak tahu. Kalau juru bicara kepresidenan harus buru-buru
menetralisir posisi presiden dalam kasus ini, itu menjadi indikasi bahwa istana
sadar betul tentang risiko politik dari manuver Dipo Alam jtu. Pernyataan itu
sama artinya dengan permohonan kepada Parpol anggota koalisi pemerintahan untuk
tidak menyerang atau menyalahkan presiden terkait dengan manuver Dipo. Boleh
saja istana kepresidenan mengeluarkan pernyataan seperti itu. Masalahnya,
Parpol anggota koalisi mau percaya atau tidak dengan pernyataan itu.
Sulit untuk percaya begitu saja bahwa
presiden sama sekali tidak mengetahui sedikit pun tentang apa yang sudah
dilakukan Sekretaris Kabinet dalam kasus ini. Alasan utamanya, manuver Dipo
sama sekali tidak tercantum dalam daftar tugas sekretaris kabinet. Alasan
berikutnya, apa yang dilakukan Dipo melahirkan beberapa risiko bagi presiden
dan pemerintahannya; mulai dari rusaknya soliditas kabinet, suasana tidak
kondusif di sejumlah kementerian hingga potensi retaknya koalisi Parpol
pendukung pemerintah.
Karena dikenal sebagai figur pemimpin yang
lebih mengutamakan keseimbangan pemerintahannya, Presiden SBY tidak mungkin
menolerir anak buahnya melakukan manuver seperti yang dilakukan Dipo. Lalu,
mengacu pada risiko politik tadi, tidak mungkin juga Dipo tidak melapor atau
berkonsultasi dengan presiden. Bisa disimpulkan bahwa bagi presiden SBY, risiko
politik dari manuver Dipo Alam itu terukur alias sudah diperhitungkan.
Mudah-mudahan saja perhitungannya akurat sehingga tidak muncul ekses.
Jelas bahwa dari manuver Dipo Alam itu bisa
dimunculkan kesimpulan lain; yakni para pembantu terdekat presiden dibolehkan
untuk tidak fokus pada deskripsi tugas dan fungsinya. Apa yang dilakukan Dipo
sangat jauh dari tugas utamanya sebagai sekretaris kabinet. Karena itu, jangan
heran kalau presiden kecolongan dalam kasus grasi Ola. Yang menimbulkan
aroma tidak sedap dan bau busuk karena diduga melibatkan jaringan mafia narkoba
internasional. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar