Supremasi Keselarasan
– II
Mohon jangan salah
sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi sekedar titipan salah
satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang Kiai yang bernama Kiai
Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan amanat itu kepada
Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa saudaranya Kiai
Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?
Ceritanya begini.
Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 November 15 tahun silam. Saya juga mengenal
orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir.
Tetapi semua itu
pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas
professional atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini.
Saya merasa bahwa
yang menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan malam
ini adalah 'sekedar' nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Alhasil, sebenarnya
saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini, sehingga saya
memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi, meminta restu,
syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya.
Ternyata beliau
memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya di terima, beliau
langsung menyeret saya, didudukan di kursi, kemudian beliau omong panjang
tentang Supremasi Keselarasan itu.
"Tolong
disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya" kata beliau.
Meskipun saya sangat
bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan kado itu, sebenarnya
saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon sekedarnya, "Tapi isinya
kok penuh pesimisme, Kiai?"
Beliau menjawab,
"Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan pesimisme atau
optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani hidup dengan
tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama pesimisme atau
optimisme..."
"Aduh saya
kurang paham, Kiai", saya menyela.
"Alhamdulillah
tidak masalah, tidak paham itu tidak dosa. Yang penting kau sampaikan saja
kepada Gatra bahwa ulang tahunnya hari ini adalah ulang tahun yang sangat
indah. Gatra berulang tahun tatkala kita semua sedang berada pada momentum
zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan segera
datangnya saat dimana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan tampil
dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia"
"Wah, optimis ya
Kiai?" saya menyela lagi.
"Kamu
cengeng" jawab Pak Kiai, "Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia
asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli"
"Maksud saya,
saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang bangkitnya
Indonesia..."
"Hari-hari ini
tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah" Kiai Alhamdulillah
melanjutkan, "Perhatikan dahsyatnya kepemimpinan negaramu sekarang ini,
amati mozaik penuh cahaya kebudayaan, kejujuran dan kelihaian manusia dan
bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin
pendidikan informasi persnya, progressifitas persekolahan dan kependidikannya,
cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati olahraganya,
sopan santun pariwisatanya, serta yang utama tak terbendungnya fenomenologi
pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui garda-garda post
modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan dari sejarah dari nusantara itu
akan tak bisa dielakan oleh semua masyarakat dunia bahwa Indonesia segera akan
memimpin lahirnya peradaban baru dunia....."
"Maaf ya Pak
Kiai, tadi kata sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan, karena yang
berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana mungkin dengan
kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?"
"Jangan kawatir,
nak" jawab beliau, "Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari, Qiyamat
itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin oleh
Indonesia"
"Jadi benar akan
Kiamat ya Kiai? Apakah itu yang di maksud dengan tahun 2012?"
"Jangan
mendahului Tuhan, nanti malah di batalkan"
"Lha ya itu
maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus supaya Tuhan
tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana dengan hukum,
keadilan dan keselarasan itu, Kiai?"
Bayi Lahir Putra Ibu
Pertiwi
Kiai Alhamdulillah
tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam memandang saya, kemudian
berkata sangat serius dan pelan:
"Alhamdulillah
tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral kepada
Gatra" kata beliau. "Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu
berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari
hukum, keadilan dan keselarasan. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik
tangan, segala sesuatu bisa diubah dan diatur.
Sebentar lagi bayi
Indonesia akan segera lahir. Ibu pertiwi yang akan melahirkan, bayi itu
sekarang sudah mengalami "bukaan-2", kalau bukaan sudah sampai ke-10,
bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total refresing dari anak bungsu
Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang
sama sekali baru.
Sangat tergetar hati
saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu air ketuban pecah pada 28
oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 -- karena bangsa Indonesia
tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua di muka bumi. Kalau bangsa
Yahudi dan Arab yang sekarang menguasai keuangan dunia adalah keturunan kakek
Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa puluh atau ratus generasi sebelum
itu.
Katakanlah mungkin
sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya Kan'nan, Hasyim,
Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lahir tahun 1945,
bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara Indonesia 1945. Bangsa
Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban Lemorian dan Atlantis,
Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan jejak di Somalia,
jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan Ajisaka, Keling,
Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara atau Salakanagara. Apalagi sekedar
Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram.
Berbagai kelompok
generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam melakukan penelitian dan
eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia media tidak
memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs di dua pertiga
bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia, terutama daratan
luas dari yang sekarang di kenal sebagai jazirah Saudi hingga Irian Jaya, yang
memaparkan sebagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia sesungguhnya,
dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk ilmiah yang sejauh
ini ada.
Sebagian yang lain
sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke peradaban, untuk
mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang berlangsung menuju
puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir. Mereka menguji dan mengkaji
kembali apa yang sesungguhnya terselenggara sejak Revolusi Industri. Mereka
sedang mencari garis sambung antara /low-tech, /replikasi jasad, dan hingga ke
regulasi
Negara, high-tech
replikasi system-logic otak, automation assembly line, prinsip digital, 0 dan
1, real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan Fuzzy Logic, 8% dan 92%
wilayah fungsi otak, komputer yang secanggih-canggihnya namun tak sedikitpun
mampu membaca kerinduan, amarah, penasaran, sedih atau gembira dan semua itu
coba ditemukan konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan
struktur misbah zujajah, sistem kerja dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah,
jasadullah, mahdloh dan fenomenologi kebudayaan muamalah.
Beruntunglah ummat
manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21 yang di temani oleh wahyu
Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam, ummat manusia mencari Tuhan
sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada wacana firman. Kalian sekarang
tinggal menghapalkan /Qul huwallohu Ahad/, 99 asma Allah, di tambah dua tiga ayat,
langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal buka Kitab Suci untuk menemukan
karbon, pertemuan laut asin dan tawar, interaksi dinamis antara otak dengan
hidayah, sumber pemahaman dasar matematika, fisika, biologi dan hipnotisme.
Atau apapun saja. Anak-anak muda itu tidak mau bangsanya terpuruk tanpa
berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian itu langkah mereka ke depan adalah
merumuskan dan meletakkan kembali dasar-dasar Ideologi Negara, Ideologi
Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi Keagamaan, Ideologi Kebudayaan,
Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan Ideologi Pangan dan
Kesejahteraan" []
Emha Ainun Nadjib,
Kado Ulangtahun buat
Gatra, 22 November 2009