Jumat, 16 September 2022

(Ngaji of the Day) Hukum Forex Online di Pasar Derivatif: Benarkah Ulama Salaf Mengharamkannya?

Pertanyaan:

 

Assalamualaikum wr.wb

Sebelumya saya sangat berterima kasih kepada Ustadz Muhammad Syamsudin yang sudah menjawab pertanyaan saya sebelumnya mengenai persamaan mata uang dengan komoditas. Sejujurnya bisnis ini sudah saya jalankan selama hampir 2 tahun dan sempat terhenti selama 2 tahun juga karena masih ragu dengan hukum forex di pasar derivatif ini.

 

Yang membuat ragu ada salah satu channel YouTube yang menyangkut-pautkan esensi forex sendiri dengan pendapat para ulama seperti Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun, dan lain lain yang berpendapat "uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang dapat diperjualbelikan".

 

Juga ada pendapat bahwa yang diperbolehkan itu investasi mata uang dengan memiliki uangnya secara langsung. Kalaupun dengan rekening ya memiliki rekening dengan nilai dasar mata uangnya langsung. Seperti halnya investasi EUR/USD. Kalau mau buy berarti ya menukarkan uang rupiah dulu dengan USD lalu menjual USD entah di money changer atau bank dengan EUR berupa uang fisik atau berupa rekening mata uang USD dan Euro. Jadi, kalaupun uang itu nilainya turun, kita tetap memilikanya utuh dengan nominal tersebut. Otomatis engak ada istilah uang hangus seperti halnya margin call dan stop out.

 

Itulah yang membuat kebimbangan saya berjalan di bisnis ini. Mohon jawabannya, Ustadz, apakah sahih pendapat para ulama tersebut. Sekian terima kasih atas jawabannya. Wassalamualaikum wr. wb

 

Jawaban:

 

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,

Penanya yang budiman. Syukur alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah swt. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Penanya yang budiman, setidaknya ada 3 hal yang akan penulis sampaikan seiring dengan pertanyaan Anda di atas. Ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut:

 

Pertama, benarkah Imam al-Ghazali melarang tukar-menukar uang?

Mungkin hadirnya pertanyaan ini adalah karena Anda mendapati sebuah pernyataan yang disandarkan kepada Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dan tertuang dalam masterpiece beliau, Ihya’ Ulumiddin, juz 4, halaman 99 berikut ini:

 

وكل من عامل معاملة الربا على الدراهم والدنانير فقد كفر النعمة وظلم لأنهما خلقا لغيرهما لا لنفسهما إذ لا غرض في عينهما فإذا اتجر في عينهما فقد اتخذهما مقصودًا على خلاف وضع الحكمة إذ طلب النقد لغير ما وضع له ظلم

 

“Setiap orang yang melakukan muamalah riba pada dirham dan dinar maka ia benar-benar telah kufur nikmat dan berlaku zalim, karena keduanya diciptakan untuk ditukar dengan selainnya dan bukan untuk sesama jenisnya. Sebab tidak ada gharadl (tujuan) penciptaannya untuk fisik keduanya. Oleh karena itu apabila kedua dinar dirham itu diniagakan atas dasar fisik (bahan penyusun) keduanya, maka tindakan itu sama halnya dengan telah menyimpang dari tujuan dasar hikmah ia diciptakan. Oleh karena itu, menjadikan nuqud (dinar dan dirham) untuk tujuan selain ia diciptakan adalah merupakan kezaliman.” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz 4, halaman 99).

 

Penting untuk kita pahami dari ungkapan yang disampaikan Hujjatul Islam di atas:

1.     Yang dilarang adalah melakukan muamalah riba pada dinar dan dirham (‘amala mu’amalatar riba). Gambaran dari hal ini adalah menukar uang 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 dirham dengan 2 dirham, maka inilah yang dimaksud sebagai riba yang dilarang.

2.     Termasuk bagian yang dilarang adalah melebur dinar untuk diambil emasnya, atau melebur dirham untuk diambil peraknya. Tindakan ini sudah barang tentu disebut sebagai menempatkan dinar dan dirham tidak sebagaimana tempatnya, disebabkan keduanya adalah medium of exchange, sementara tindakan meleburnya adalah mengubah dinar tidak lagi menjadi mata uang. Itulah yang dimaksud dengan ungkapan Imam al-Ghazali lewat لأنهما خلقا لغيرهما لا لنفسهما (sebab keduanya diciptakan untuk selain keduanya [medium pertukaran] dan bukan untuk fisik penyusunnya).

 

Jadi, pernyataan Anda yang menggarisbawahi bahwa “uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange) dan bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang dapat diperjualbelikan” kiranya merupakan buah dari kesalahan persepsi dengan mengatasnamakan Imam al-Ghazali, tanpa merujuk langsung terhadap karya beliau. Jika memang tukar-menukar uang tidak diperbolehkan, maka Anda pun juga tidak bisa menukarkan selembar uang 100 ribu sebagai 10 lembar uang pecahan 10 ribuan. Sebab bagaimanapun juga, tukar-menukar adalah bagian dari jual beli (barter).

 

Pendapat sang imam di atas kiranya juga berlaku atas pendapat Ibnu Taimiyah, al-Maqrizi, dan Ibn Khaldun. Pendapat ketiganya juga banyak disalah persepsikan. Kiranya, saran penulis adalah Anda perlu merujuk langsung ke sumber karya masing-masing secara langsung dan tidak lewat media lainnya.

 

Kedua, benarkah yang diperbolehkan adalah investasi mata uang dengan memiliki uangnya secara langsung?

 

Penting dipahami bahwa yang dinamakan investasi (istitsmari) itu adalah Anda menjalankan uang dengan jalan meniagakannya (tijarah). Jika uang itu tidak Anda jalankan, namun Anda simpan saja dalam buku rekening, maka itu tidak disebut sebagai harta / modal investasi, melainkan termasuk jenis harta kanzin (harta mengendap).

 

إن الاكتتاب أو الاستثمار عقد مشاركة، أما المضاربة فهي بيع وشراء، وهناك فرق بين المشاركة وبين البيع

 

"Sesungguhnya iktitab (bergabung dalam saham) dan investasi itu merupakan akad musyarakah. Sementara mudlarabah merupakan gabungan dari akad penjualan dan pembelian. Di sinilah terletak perbedaan antara musyarakah dan jual beli itu sendiri.” (Majmu’at al-Muallifiin, Fatawi wa Istisyarat al-Islam al-Yaum, juz 9, halaman 81).

 

Saat uang Anda berlaku sebagai harta kanzin memang Anda tidak perlu berpikir mengenai perubahan kurs dan sejenisnya. Dan ketika terjadi perubahan kurs pun, saldo rekening Anda akan tetap serta tidak terpengaruh.

 

Namun, bila Anda memutuskan investasi lewat niaga (tijarah/trading), maka sudah pasti ada kemungkinan bahwa Anda akan mengalami untung (ribhun) dan rugi (khusran). Keuntungan dan kerugian terjadi sebab uang Anda niscaya digunakkan sebagai modal guna dibelanjakan komoditas di satu waktu dan dijual di waktu yang lain, guna mendapatkan keuntungan (ribhun).

 

التجارة لغة: التقليب في المال. وشرعًا: التقليب في المال المملوك بمعاوضة، لغرض الربح، مع نية التجارة عند كل تصرف

 

"Tijarah secara bahasa bermakna pemutaran harta. Secara syara’, tijarah (trading) adalah usaha memutar harta yang dimiliki dengan jalan melakukan “pertukaran” untuk mendapatkan keuntungan sembari disertai niat niaga di tiap-tiap pembelanjaannya.” (Durriyatu al-Aithah, Fiqh al-Ibadat ‘ala al-Madzhab al-Imam al-Syafii, juz 2, 125).

 

Ketiga, Apakah Anda harus memiliki uangnya secara langsung?

 

Dalam konteks ini, kita perlu merenungkan bahwa “utang” adalah bagian dari harta yang ada dalam tanggungan (ma fi al-dzimmah). Pertukaran antara utang dengan utang (bai’ dain bi al-dain atau bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah) adalah boleh dengan catatan tidak ada praktik riba di dalamnya.

 

Akad pertukaran utang dengan utang yang tanpa disertai riba ini disebut dengan istilah akad hiwalah. Dan ini merupakan bagian yang legal dalam syariat Islam serta tertuang dalam semua kutub al-turats keislaman. Legalitas praktik hiwalah adalah terletak pada relasi keterjaminan penunaiannya, dan bukan pada rekeningnya.

 

فإذا قلتُ: بعتك هذا الكتاب بهذا الكتاب فهذا بيع معين بمعين، وإذا قلتُ: بعتُك هذا الكتاب بعشرة ريالات فهذا بيع معين بما في الذمة. وهذا يشمل أيضًا: بيع ما في الذمة بما في الذمة

 

"Saat saya berkata: Saya tukar kitab ini dengan kitab itu, maka akad pertukaran ini disebut akad bai’ mu’ayyyan bi mu’ayyan (jual beli fisik dengan fisik). Namun, bila saya katakan: “aku tukar kitab ini dengan 10 real, maka ini artinya akad bai’ muayyan bi ma fi al-dzimmah (jual beli fisik dengan sesuatu yang dijamin / utang). Akad kedua ini juga memuat akad bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah (jual beli barang yang dijamin dengan barang yang dijamin).”

 

Di dalam Taisir al-’Allam, juz 2, halaman 6, Kitab al-Buyu’, disebutkan mengenai definisi jual beli secara syara’, yaitu:

 

واصطلاحًا (شرعًا): اختلف الفقهاء في تعريفه…...ولعل أجمع تعريف هو: مبادلة مال ولو في الذمة أو منفعة مباحة -كممر في دار بمثل أحدهما- على التأبيد غير ربا وقرض

 

"Secara istilah syara’: para fuqaha berbeda-beda dalam mendefinisikan jual beli….. Namun, barangkali definisi yang paling mewakili keseluruhan adalah sebagai berikut: “jual beli merupakan pertukaran harta dengan harta baik berupa sesuatu yang dijamin atau berupa manfaat yang mubah - misalnya talang air rumah yang ditukar dengan sejenisnya, atas dasar kepemilikan selamanya dan tanpa disertai adanya relasi riba dan utang.” (Abdullah bin Bassam (w. 1423 H), Taisir al-Allam Syarah ‘Umdat al-Ahkam, juz 2, halaman 6).

 

Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa pertukaran uang dengan uang tidak mensyaratkan adanya rekening, melainkan yang terpenting adalah adanya keterjaminan (fi al-dzimmah) dan tidak ada riba. Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar