Jumat, 02 September 2022

(Hikmah of the Day) Abu Darda’, Akhlak, dan Dosa yang Terampuni meski Tidur

Dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari (w. 256 H) memasukkan sebuah riwayat tentang Sayyidina Abu Darda radliyallahu ‘anhu yang berdoa sepanjang malam agar dibaguskan akhlaknya. Berikut riwayatnya:


حدثنا عبد الله بن محمد قال حدثنا أبو عامر قال حدثنا عبد الجليل بن عطية عن شهر عن أمّ الدرداء قالت: قام أبو الدرداء الليلة يصليّ فجعل يبكي ويقول: (اللهم أحسنتَ خَلْقي فحسّن خُلُقي) حتي أصبح. فقلتُ: يا أبا الدرداء! ما كان دعاؤك منذ الليلة إلّا في حسن الخُلُق؟ فقال: يا أمّ الدرداء! إنّ العبد المسلم يحسن خلقه حتى يدخله حسن خلقه الجنة، ويسيء خلقه حتى يدخله سوء خلقه النار، والعبد المسلم يغفر له وهو نائم. فقلت: يا أبا الدرداء! كيف يغفر له وهو نائم؟ قال: يقوم أخوه من الليل فيتهجد فيدعو الله عز وجل فيستجيب له ويدعو لأخيه فيستجيب له فيه


Abdullah bin Muhammad bercerita, ia berkata: Abu ‘Amir bercerita, ia berkata: Abdul Jalil bin ‘Athiyyah menceritakan dari Syahr, dari Ummu ad-Darda’, ia berkata:


“(Di satu waktu) Abu ad-Darda pernah menjalankan shalat malam lalu menangis dan berdoa: “Ya Allah, Engkau telah memperbagus penciptaanku, maka perbaguslah akhlakku,” (ia melakukannya) hingga pagi. Aku berkata: “Wahai Abu ad-Darda, (kenapa) doa yang (kau panjatkan) sepanjang malam hanya (tentang) kebagusan akhlak?”


Ia menjawab: “Wahai Ummu ad-Darda, sesungguhnya seorang Muslim yang berakhlak bagus maka kebagusan akhlaknya memasukannya ke surga, dan (jika) berakhlak buruk maka keburukan akhlaknya memasukkannya ke neraka. Seorang hamba yang Muslim akan diampuni meski ia (sedang) tidur.”


Kemudian aku bekata (kepada Abu ad-Darda’): “Bagaimana (bisa) ia diampuni padahal ia (sedang) tidur?”


Abu ad-Darda’ menjawab: “Saudaranya terbangun pada malam hari, melakukan (shalat) tahajud, kemudian berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah mengabulkannya, lalu dia pun mendoakan saudaranya, (dan) Allah mengabulkannya juga.” (Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Dar al-Hadits, 2005, h. 77-78)


****

 

Sayyidina Abu Darda (wafat sekitar 31-39 H) adalah sahabat nabi yang faqih, hafal al-Qur’an dan periwayat banyak hadits. Ia berasal dari kaum Anshar, dari Bani Ka’b bin Khazraj. Banyak yang meriwayatkan hadits darinya, sebut saja seperti Anas bin Malik, Abu Umamah al-Bahili, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Ummu Darda’ (istrinya), Sa’id bin Musayyab, dan lain sebagainya. Imam al-Dzahabi menyebutnya sebagai, “hakîm hadzihil ummah, wa sayyidul qurrâ’ bi dimasyq” (hakimnya umat ini dan gurunya para pembaca/pengkaji Al-Qur’an di Dimasyq) (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 2, h. 336-337)


Dalam riwayat di atas, Sayyidina Abu Darda berdoa sepanjang malam, dan permintaannya hanya satu, memohon agar dibaguskan akhlaknya sebagaimana Allah telah membaguskan penciptaannya. Hal itu membuat Ummu Darda (istrinya) penasaran, sehingga ia bertanya: “(kenapa) doa yang (kau panjatkan) sepanjang malam hanya (tentang) kebagusan akhlak?”


Sayyidina Abu Darda memang mengulang-ulang doanya sampai waktu subuh tiba. Ia tidak menyelipkan doa lain selain meminta dibaguskan akhlaknya. Mendengar pertanyaan itu, Abu Darda menjawab: “Wahai Ummu ad-Darda, sesungguhnya seorang Muslim yang berakhlak bagus maka kebagusan akhlaknya memasukkannya ke surga, dan (jika) berakhlak buruk maka keburukan akhlaknya memasukkannya ke neraka. Seorang hamba yang Muslim akan diampuni meski ia (sedang) tidur.”


Ini artinya kebagusan akhlak (husnul khuluq) adalah bagian dari realisasi ideal keimanan seseorang. Sebab, salah satu misi utama kenabian adalah “makârim al-akhlâq” (pemuliaan akhlak) dan “mashâlih al-akhlâq” (pembagusan akhlak). Di samping itu, akhlak bisa menjadi penanda atas kesempurnaan iman seseorang. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR. Imam Tirmidzi):


أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا


“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling bagus akhlaknya.”


Dimensi akhlak sangat luas. Tidak dibatasi oleh relasi yang baik-baik saja, seperti “kau baik padaku, maka aku baik padamu,” atau, “aku baik padamu, maka kau pun harus baik padaku,” tapi juga relasi yang tidak seimbang, seperti berbuat baik pada orang yang memusuhi, memaafkan kesalahannya dan menjalin kembali tali silaturahmi yang telah terputus. Rasulullah bersabda (HR. Imam Abdurrazaq dan Imam al-Baihaqi):


ألَا أدُلُّكم علي خير أخلاق أهل الدنيا والآخرة: أن تَصلَ مَن قطَعك, وتُعطيَ مَن حَرَمك، وتَعفو عمَّن ظلَمك


“Tidakkah kalian mau kutunjukkan sebaik-baiknya akhlak penduduk dunia dan akhirat; (yaitu) kau menyambung (kembali hubungan persaudaraan dengan) orang yang telah memutuskanmu, kau memberi (atau berbagi dengan) orang yang telah mencegah (atau mengambil hak)mu, dan kau memaafkan (kesalahan) orang yang telah menzalimimu.” (Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, Kairo: Markaz Hajar li al-Buhuts wa al-Dirasat al-‘Arabiyyan wa al-Islamiiyah, 2003, juz 6, h. 711)


Karena itu, dalam jawaban Sayyidina Abu Darda’, akhlak memiliki peran penting atas posisi manusia kelak. Akhlak baik (husnul khuluq) bisa memudahkan seseorang masuk surga, dan akhlak buruk (su’ûl khuluq) dapat memudahkannya masuk neraka. 


Selain itu, ada tujuan lain yang dimaksud Sayyidina Abu Darda’, yaitu terciptanya hubungan sosial yang saling memaafkan dan saling memohonkan ampun kepada Allah. Ia mengatakan: “Seorang hamba yang Muslim akan diampuni meski ia (sedang) tidur.” Perkataan ini melahirkan tanda tanya baru di benak istrinya. Ia bertanya lagi: “Bagaimana (bisa) ia diampuni padahal ia (sedang) tidur?”


Sayyidina Abu Darda’ menjawab: “Saudaranya terbangun pada malam hari, melakukan (shalat) tahajjud, kemudian berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah mengabulkannya, lalu dia pun mendoakan saudaranya, (dan) Allah mengabulkannya juga.”


Ini menunjukkan pertalian kuat antara husnul khuluq (akhlak yang baik) dengan kesadaran personal manusia. Bagi orang yang telah terbangun akhlaknya, ia tidak berminat untuk selamat seorang diri. Ia pun tidak berminat untuk memutus tali silaturahmi atau membiarkan tali itu tetap putus meski di dalam doa. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, bahwa sebaik-baik akhlak adalah meluaskan maaf, melebarkan kemurahan hati dan memanjangkan persaudaraan, meski ia disakiti, dizalimi dan dimusuhi.


Di sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita tentang iman yang mewujud dalam tindakan dan rasa. Iman yang diaktualisasikan dengan cinta kepada saudaranya sebagaimana cinta terhadap dirinya sendiri (lâ yu’minu ahadukum hattâ yuhibba li akhîhi mâ yuhibba li nafsihi). Semua manusia ingin diampuni dosa-dosanya, ingin dirahmati, ingin dijauhkan dari siksa neraka, dan ingin menikmati surga. Keinginan yang semula bersifat personal, karena dorongan iman, meluas menjadi keinginan bersama. Seorang yang beriman, tidak akan hanya mementingkan keselamatannya sendiri. Oleh karenanya, meskipun sedang tidur, seorang mukmin dapat diampuni dosa-dosanya karena doa dari saudaranya yang lain. Doa dari orang-orang beriman yang berlaku di atas cinta dan akhlak yang baik. 


Itu artinya, seorang yang berada di jalan akhlak, akan selalu mengingat dan mengharapkan keselamatan untuk saudara-saudaranya, dari mulai yang baik kepadanya, yang memusuhinya, sampai yang tidak dikenalnya sama sekali. Pertanyaannya, sudahkah kita berada di jalan itu? 


Wallahu a’lam bish-shawwab.
[]


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar