Jumat, 05 Agustus 2022

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 10

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ


Fī qulūbihim maradhun fa zādahumullāhu maradhan, wa lahum ‘adzābun alīmun bi mā kānū yakdzibūn.


Artinya, “Pada hati mereka terdapat penyakit, lalu Allah menambahkan penyakit pada mereka. Untuk mereka siksa yang pedih sebab apa yang mereka dulu dustakan.”

 

Ragam Tafsir


Al-Baghowi mengatakan dalam tafsirnya (Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil [Beirut, Darul Fikr: 2002 M/1422 H], juz I, halaman 26), “penyakit” yang dimaksud adalah keraguan dan kemunafikan. Kata “maradh” pada asalnya adalah kelemahan. Tidak heran kalau keraguan seseorang pada agamanya disebut “maradh” karena keraguan melemahkan agamanya sebagaimana penyakit melemahkan kekuatan fisiknya.


Menurut Al-Baidhawi, kata “maradh” pada hakikatnya adalah sesuatu yang merintangi organ fisik manusia sehingga membelokkannya dari fungsinya dan mencederai kerja organ.

 

Al-Baidhawi dalam tafsirnya, (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 81) mengatakan bahwa penyakit di sini adalah majas atas penyakit moral yang mencederai kesempurnaan jiwa seperti kebodohan, keburukan aqidah, kedengkian, dendam, serta kesenangan pada maksiat. Semua itu dapat mencegah seseorang untuk meraih keutamaan atau dapat mengantarkan pada hilangnya kehidupan hakiki yang abadi.


Ayat-ayat mulia Al-Qur’an ini menguraikannya. Hati orang munafik merasakan sakit terbakar atas kekuasaan yang luput dari mereka; dan kedengkian atas kemantapan dan pengaruh kuat Nabi Muhammad SAW yang mereka saksikan hari demi hari. (Al-Baidhawi: 82).


Penyakit pada hati mereka disebabkan oleh ketenangan dan kecintaan mereka kepada dunia serta kelalaian dan keberpalingan mereka dari akhirat. (Al-Qurthubi).


“Lalu Allah menambahkan penyakit pada mereka” karena Al-Qur’an ini turun bertahap, satu ayat demi satu ayat. Ketika mereka mengingkari satu ayat, maka kekufuran dan kemunafikan mereka semakin bertambah sebagaimana keterangan Surat At-Taubah ayat 125. (Al-Baghowi: 26).


Allah menambahkan kebimbangan orang munafik karena bertambahnya pengaruh dan sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW; dan menyifatkan diri mereka dengan kekufuran, keburukan aqidah, sikap permusuhan kepada Nabi Muhammad SAW, dan penyifatan lainnya. allah menambah penyakit pada hati mereka melalui penambahan beban, pengulangan wahyu, dan pertolongan Allah yang berlipat ganda. (Al-Baidhawi).


Yang dimaksud “penyakit”, kata Al-Baidhawi, bisa jadi adalah ketakutan dan penurunan semangat di dalam hati mereka ketika menyaksikan kekuatan umat Islam dan bantuan Allah melalui penguatan barisan umat Islam dengan malaikat. Allah menaruh rasa takut di hati mereka dan menambahkan kelemahan mereka dengan pertolongan untuk Nabi Muhammad SAW dalam mengatasi para musuh serta perluasan wilayah kekuasaannya. 


Mereka akan menerima siksa yang sangat pedih sehingga sakitnya menembus ke ulu hati karena pengingkaran mereka kepada Allah dan rasul-Nya secara sirr. (Al-Baghowi). Kata “dusta” berarti sebuah kabar tentang sesuatu yang berbeda dari sebenarnya. Dusta atau bohong diharamkan karena menjadi alasan keharusan mendapa siksa sebagai konsekuensi hukumnya. Adapun dusta pada riwayat hadits “Nabi Ibrahim melakukan tiga kali dusta” bermakna sindiran. (Al-Baidhawi).


Allah menyerahkan mereka kepada diri mereka sendiri dan menggenapkan kebimbangan dunia sehingga tidak tersisa ruang kosong untuk perhatian pada agama. Mereka akan mendapatkan siksa yang pedih dengan sesuatu (kebaikan) yang fana daripada yang kekal. Menurut Al-Junaid Al-Baghdadi, penyakit hati berasal dari penurutan pada hawa nafsu sebagaimana penyakit pada organ tubuh yang berasal dari penyakit badan. (Al-Qurthubi).


Al-Qurthubi dalam tafsirnya, Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, menyebutkan empat ragam pandangan ulama perihal alasan penahanan diri Nabi Muhammad dari pembunuhan terhadap orang munafiq. Pertama, Rasulullah SAW tidak membunuh orang kafir munafik karena hanya Rasulullah sendiri yang mengetahui kondisi mereka.


Kedua, pendapat sebagian murid Imam As-Syafi’i bahwa Rasulullah SAW tidak membunuh mereka karena kelompok zindik yang menyembunyikan kekufuran dan menyatakan keimanan cukup dimintakan tobat dan tidak dibunuh. Pandangan ini dibantah oleh sebagian ulama karena Rasulullah sendiri tidak melakukannya.


Ketiga, Rasulullah tidak membunuh mereka demi kemaslahatan untuk melunakkan hati mereka agar tidak menjauh. Hal ini ditunjukkan oleh sabdanya kepada Sayyidina Umar, “Aku berlindung kepada Allah dari pembicaraan orang bahwa aku membunuh sahabatku (kelompok munafik Madinah) sendiri,” (HR Bukhari dan Muslim). Ini pandangan mazhab Maliki dan mazhab lainnya.


Keempat, Allah telah para sahabatnya yang beriman dari kemungkinan mafsadat yang dapat ditimbulkan orang kafir-munafik sehingga keberlangsungan keberadaan mereka tidak menimbulkan mudharat. Tetapi kondisinya berbeda dengan hari ini di mana kita tidak memiliki rasa aman dari kerusakan yang dibuat oleh orang kafir-munafik terhadap kalangan awam dan bodoh umat Islam. (Al-Qurthubi). Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar