Selasa, 09 Agustus 2022

(Ngaji of the Day) Ilmu Falak: Integrasi Sains dan Agama

Islam merupakan agama yang memberi ruang luas dan iklim kondusif bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan. Sains merupakan hukum alam yang diletakkan Allah dan melekat pada alam (Ibn Rusyd, 1988). Dengan demikian sains juga merupakan kebenaran dari Tuhan (QS Al-Hajj: 54). Al-Qur’an pun menjanjikan kebaikan yang banyak bagi siapa saja yang dapat menemukan hukum alam secara saintifik  (QS Al-Baqarah: 269). Al-Qur’an juga memberikan tempat yang luhur bagi para saintis, dan demikian juga kepada para ulama (QS. Al-Mujadalah: 11).


Ilmu falak (astronomi) merupakan salah satu cabang ilmu yang secara nyata dapat diaplikasikan keberfungsiannya ke dalam agama Islam. Hal yang paling mencolok dan terlihat adalah ketika bulan Ramadhan hendak tiba. Pada saat itu, semua kalangan dalam Islam hampir terlibat di dalam pemanfaatan astronomi untuk kepentingan menjalankan agama Islam. Kiai dan santri, demikian pula mahasiswa dan akademisi, melakukan pemantauan terhadap posisi dan bentuk bulan (observasi atau ru’yatul hilal). Para saintis melakukan penghitungan, dan hasilnya oleh para ulama dan pemerintah kemudian digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam sidang (itsbat). Ini merupakan implikasi dari hadits Rasulullah saw yang memerintahkan:


صُوْمُوْا لرُؤْيَتِهِ وَافْتِرُوا لِرُؤْيَتِهِ. رواه مسلم


Artinya, “Berpuasalah kalian jika telah melihat (melakukan observasi) bulan, dan berhari rayalah ketika telah melihat (melakukan observasi terhadap) bulan.” (HR Muslim).

 

Di pesantren-pesantren tertentu, materi astronomi juga menjadi matapelajaran tetap yang terstruktur dalam suatu kurikulum. Seperti di Pondok Pesantren Miftahul Huda Mojosari Kepanjen Malang dalam asuhan KH. Mas Abdul Wahab. Seorang Kiai asal Semarang Jawa Tengah yang kemudian mendirikan Pesantren di desa Mojosari Kepanjen pada sekitar 1962. Kita juga mengenal nama Ajengan Falak (1842-1972) yang terkenal sebagai kiai ahli ilmu falak yang juga diajak oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama.


Kita juga mengenal para tokoh astronomi dari kalangan pesantren di Indonesia beserta karya-karya mereka pada generasi yang lebih dahulu. Di antara mereka adalah Syaikh Ahmad Dahlan as-Simarani (juga disebut sebagai At-Tirmasi). Karya beliau adalah: Tadzkiratul Ikhwân fî Ba’dhi Tawârîkhi wal a’mâlil Falakiyati bi Semarang. Terdapat pula nama Habib Usman Bin Abdillah Bin ‘aqil bin Yahya atau yang dikenal dengan Mufti Betawi. Ia menulis kitab Îqâdzun Niyâm fî mâ Yata’alaqahu bil Abillah was Shiyâm. Terdapat pula nama seperti Syekh Taher Jalaludin al-Azhari dengan karyanya, Natîjatul Ummi dan Pati Kiraan pada Menentukan Waktu yang Lima. Terdapat pula nama Muhammad Djamil Djambek dengan karyanya Diyâ-un Nirin fî mâ Yata’allaqu bil Kawâkibin (Kholilah, 2016).

 

Dalam perkembangan saat ini, kita lihat ilmu astronomi tidak saja diterapkan untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Melainkan juga untuk menentukan awal bulan yang lain. Kita juga melihat bahwa praktik ilmu falak juga telah terlembagakan dengan baik di dalam organisasi Nahdlatul  Ulama. 


Suatu hal yang sangat menggembirakan pula adalah banyak pondok pesantren yang memiliki lembaga khusus di dalamnya yang bergerak di dalam bidang kajian dan pengembangan ilmu falaq. Di antaranya adalah seperti: (1) Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes Jawa Tengah; (2) Pondok Pesantren Salafiyah Kajen Pati Jawa Tengah; (3) Pondok Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur; (4) Pondok Pesantren Lirboyo Kediri; (5) Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri Jawa Timur; (6) Pesantren Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan; dan (7) Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-bata Pamekasan.


Hal ini tentu saja menggembirakan bagi umat Islam dan khususnya bagi kalangan pondok pesantren. Kita telah melihat pula bahwa para santri telah melakukan kegiatan observasi bulan di beberapa titik pemantauan pada setiap bulan Ramadhan. Meskipun penulis belum melakukan pengukuran datanya, jumlah mereka tidak kalah besar pula dari pada para akademisi di perguruan tinggi.

 

Tahap selanjutnya, kita harap sambutan baik dari pemerintah, yang tentu saja tidak dalam semua hal, melainkan hanya dalam beberapa hal saja. Karena bagaimanapun kita setuju, bahwa di satu sisi layanan yang baik dari pemerintah akan sangat membantu, dan di sisi lain kemandirian dan integritas pesantren juga harus dijaga. Kita telah melihat peran pemerintah dalam kemajuan pesantren seperti mengenai RUU Pesantren. Demikian pula kita melihat bahwa Kementerian Agama pada tahun 2017 berkomitmen untuk memperkuat kajian falak di pesantren. Ini merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan yang harus terus dikawal. Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya. []


Ustadz R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd., Pengajar Fiqih di Pondok Pesantren Al-Fithriyah Kepanjen dan Dosen Filsafat Pendidikan Islam di STAI Nahdlatul Ulama Karangploso Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar