Kamis, 04 Agustus 2022

(Ngaji of the Day) Panduan Menyampaikan Hadits Nabi Muhammad SAW

Ada seorang khatib saat khutbah Jumat menyampaikan sebuah riwayat hadits, dengan mantab mengungkapkan kalimatnya dalam bahasa Arab berikut:


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ رَجَبَ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانَ شَهْرِيْ وَرَمَضَانَ شَهْرُ أُمَّتِيْ.


Artinya Rasulullah SAW bersabda: ”Sungguh Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”. 


Dalam kalimat tersebut, sang khatib menggunakan kata-kata, “Qâla Rasȗlullullâh Shallallâhu ‘alaihi wasallam”, bahkan dalam teks yang disampaikan di atas, ia pun menggunakan tambahan kata ”inna”, yang berarti sungguh (sesungguhnya), padahal dalam berbagai kitab, teks hadits tersebut tanpa kata ”inna”, tetapi berbunyi: ”Rajabu Syahrullâh, wa Sya‘bânu syahrî, wa Ramâdhânu syahru ummati”. Artinya: ”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadan adalah bulan umatku”.


Bagaimana status riwayat hadits ”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku?”. Bagaimana pula seharusnya cara menuturkan riwayat suatu hadits?


Teks hadits tersebut memang dikutip dalam sebuah kitab yang sering dijadikan referensi di pesantren, Bughyat al-Mustarsyidîn fî Talkhîsh Fatâwî Ba‘dh al-A’immah min al-‘Ulamâ’ al-Muta’akhkhirîn, karya al-Imâm al-Habib ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar, masyhur dengan sebutan Bâ‘alwî al-Syâfi‘î (1250-1320 H), mufti ulama muta’akhirin (kontemporer). Teks hadits dimaksud terdapat pada halaman 107, terbitan Al-Haramain Singapura-Jedah-Indonesia, tanpa tahun: 


فَائِدَةٌ وَرَدَ عَنْهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ


Dalam kitab tersebut pengutipan riwayat hadits tidak langsung dengan menggunakan kalimat: ”Qâla Rasȗlullâh Shallallâhu ‘alaihi wasallam”, melainkan kata-kata warada ‘anhu... (beredar darinya --suatu hadits--)


Syekh Bâ’alwî dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidîn menyatakan maksud hadis ini adalah bahwa Allah Suhbanahu wa Taala menampakkan ampunan kepada hamba-Nya di bulan Rajab tanpa pelantaraan (wasilah) syafaat (permohonan ampunan) dari seseorang pun, dan di bulan Sya’ban dengan wasilah Syafa’at Nabi Muhammad Saw., serta di bulan Ramadan dengan wasilah syafa’at umat (yakni orang-orang yang saleh).


Di dalam kitab ini, tidak dikemukakan status haditsnya; tampaknya diterapkan dalam konteks atau targhib (dorongan, penyemangat) melakukan amal kebaikan, termasuk bab fadhâ’ilil a‘mâl (keutamaan-keutamaan). 


Riwayat hadits di atas penting dikemukakan dengan tujuan mendudukkan dan memperingatkan status teks hadits (tanbîh). Teks riwayat hadits tersebut diulas antara lain dalam dua kitab Suni: Mawâhib al-Jalîl li-Syarh Mukhtashar al-Khalîl (Dâr ‘Âlam al-Kutub, 2003, Juz III, hlm: 321-323) karya Syams al-Dîn Abȗ ‘Abdillâh Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd al-Rahmân al-Tharâblisî al-Maghribî al-Ma‘ruf bi-al-Hithâb al-Ru‘anî (902-954 H/1497-1547 M), ulama mazhab Maliki; dan kitab Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi‘ al-Shaghîr min Ahâdits al-Basyîr al-Nadzîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, Juz IV, hlm. 25, pada teks bahasan nomor 4411), karya al-‘Allâmah Muhammad ‘Abd al-Ra’ȗf al-Munâwî (952-1031 H/1545-1621 M), ulama mazhab Syafi’i berkebangsaan Mesir. 


Dalam kedua kitab tersebut, dikemukakan bahwa hadits ”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku?”, --dan hadits-hadits semisal adalah hadits bâthil (al-ahâdits al-bâthilah). 


Dalam ilmu hadits dijelaskan bahwa hadîts bâthil adalah hadits yang dibuat berisi kedustaan atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik terhadap sabda, perbuatan maupun persetujuan (taqrir)nya, yang tidak mempunyai sumbernya dalam syariat, juga menyalahi kaidah-kaidahnya, sering kali terjadi pada ucapan perawi yang meski betul logatnya, tetapi buruk hafalannya, sungguhpun kedustaannya itu tidak disengaja.


Hadits bâthil pada satu sisi sama dengan hadits maudhȗ‘, yakni terdapat unsur kedustaan atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam perkataan, perbuatan ataupun taqrîr beliau. Keduanya tidak boleh dijadikan hujah atau dalil beragama.


Pada sisi lain, terdapat perbedaan di antara kedua hadits itu: pada hadits bâthil, kedustaan tersebut tidak disengaja, sementara pada hadits maudhȗ‘ kedustaan tersebut disengaja; pada hadits bâthil tidak ada sumbernya dalam syariat, sementara pada hadits maudhȗ‘ terkadang ada sumbernya dalam syariat.


Syekh al-Islâm Muhyi al-Dîn Abȗ Zakariyâ Yahya bin Syaraf al-Syâfi‘î (Imam al-Nawawi), lahir tahun 204 H, dan wafat di Nisabur pada 261 H,  seorang ulama paling terkemuka dalam mazhab Syafi’i, memberikan panduan dan penjelasan, terkait penyampaikan suatu hadits. Imam al-Nawawî, dalam kitabnya yang sangat terkenal, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, menuliskan:


يحرم رواية الحديث الموضوع على من عرف كونه موضوعا أو غلب على ظنه وضعه، فمن روى حديثا علم أو ظن وضعه ولم يبنه حال روايته ووضعه فهو داخل في هذا الوعيد، مندرج في جملة الكاذبين على رسول الله ، ويدل عليه أيضا الحديث السابق (من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين). 
ولهذا قال العلماء: ينبغي لمن أراد رواية حديث أو ذكره أن ينظر: فإن كان صحيحا أو حسنا قال: قال رسول الله كذا أو فعله أو نحو ذلك من صيغ الجزم، وإن كان ضعيفا فلا يقل: قال أو فعل أو أمر أو نهى وشبه ذلك من صيغ الجزم، بل يقول: روي عنه كذا أو جاء عنه كذا أو يروى أو يذكر أو يحكى أو يقال أو بلغنا وما أشبهه. والله سبحانه أعلم.


Artinya: [”Haram meriwayatkan suatu hadits maudhȗ‘ (hadis palsu) atas orang yang mengetahui bahwa keberadaan (status) hadits tersebut adalah maudhȗ‘ atau dominan (kuat) dalam prasangkanya tentang kemaudhu’an hadits itu; maka barangsiapa meriwayatkan suatu hadits (padahal) ia meyakini atau berprasangka kuat ke-maudhu’an-nya dan ia tidak menjelaskan hadits tersebut perihal kondisi periwayatannya dan kemaudhu’annya, maka ia termasuk ke dalam ancaman ini, tergolong dalam kelompok para pendusta atas Rasulullah Sahallallâhu ‘alaihi wasallam, hal itu juga ditunjukkan oleh hadits di muka (“Barangsiapa menyampaikan dariku suatu hadits yang diketahui bahwa hadits itu dusta, maka ia adalah salah seorang dari orang-orang pendusta”).


Dan oleh karena inilah Ulama berkata: ”Seyogianya bagi orang yang hendak meriwayatkan hadits atau menyebutkan hadis agar mencermati: maka jika hadis itu sahih atau hasan maka ia berkata: ‘Qâla Rasȗlullâhi Shallallâhu ‘alaiwi wasallam kadzâ” (Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda demikian), atau ”fa‘alahu” (beliau melakukannya), atau ungkapan semacamnya dari bentuk-bentuk ungkapan yang menunjukkan suatu kepastian (shiyagh al-jazm), dan tetapi jika hadis itu dhâ‘if (lemah), maka janganlah ia berkata: ”qâla” (bersabda), atau fa‘ala (melakukan), atau amara (memerintahkan), atau nahâ (melarang), dan kata-kata serupa dari jenis kata-kata yang menunjukkan kepastian (syiyagh al-jazm), namun (hendaknya) ia berkata: ”ruwiya ‘anhu kadzâ” (diriwayatkan dari beliau demikian), atau ”jâ’a ‘anhu kadzâ” (datang darinya demikian), atau yurwâ (diriwayatkan) atau yudzkaru (disebutkan), atau yuhkâ (diceritakan), atau yuqâlu (dikatakan), atau balaghanâ (sampai kepada kami), dan kata-kata yang serupa, wallâhu subhânahu a‘lam (dan Allah Yang Mahasuci yang lebih mengetahui).”] (Syaraf al-Dîn al-Nawawî, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001, Cet. ke-4, juz I, halaman 106).


Jadi, untuk menyampaikan hadits dha‘îf saja agar tidak menggunakan redaksi Qâla Rasȗlullah... dan sejenisnya, apalagi pada hadits yang bâthil, maudhȗ‘ (dusta), mungkar dan semisalnya, penggunaan kata-kata Qâla Rasulullah... dan sejenisnya sungguh sangat dihindarkan!


Hendaknya umat tidak disuguhi hadits-hadits dha‘îf, terlebih hadits bâthil, maudhȗ ‘, mungkar dan semacamnya, sebagai landasan ataupun ”bumbu” ceramah, khutbah dan semisalnya, tanpa penjelasan statusnya. Wallâhu a‘lam bi-al-shawwâb.
[]


Ustadz Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar