Selasa, 07 Agustus 2012

(Ngaji of the Day) Makna Ramadhan, dari Religi, Ekonomi sampai Televisi


Makna Ramadhan, dari Religi, Ekonomi sampai Televisi

Oleh: Fariz Alniezar



Tak Pelak, Gegap Gempita menyambut bulan Ramadhan sudah kian terasa mulai dari aktivitas religius “ngarak keliling” dengan membaca syair-syair pujian bagi Allah dan Rasulnya sampai dengan persiapan-persiapan –meminjam istilah Junaidi (2012)—religiustainment di jagat hiburan kita.


Ramadhan memang begitu seksi, ia tak hanya sekedar dinanti oleh masyarakat yang benar-benar tulus merindukannya lebih dari itu ia juga dirindukan oleh dunia di luar ranah religius sama sekali semisal jagat ekonomi juga jagat hiburan.


Maka sampai di sini ada semacam pembagian atau garis demarkasi tentang makna Ramadhan, yakni Ramadhan religius, Ramadhan ekonomi dan yang terakhir Ramadhan hiburan.



Ramadhan Religius


Makna Ramadhan bagi masyarakat yang benar-benar merindukannya adalah bagaimana mengisi Ramadhan dengan cara bermesraan dengan Tuhan via aktivitas-aktivitas religius yang bernilai tidak hanya ibadah tapi juga rasa cinta dan rasa syukur kepada sang Pencipta.


Biasanya model tipikal masyarakat yang seperti ini menghabiskan waktu Ramadhannya dengan pelbagai kegiatan yang sifatnya sangat religius, yang dimaksud dengan religius di sini adalah ibadah an sich. Tak ada pamrih atau kepentingan apapun yang mendasari semangat ibadah masyarakat golongan ini kecuali hanya mengahrapa ridho Allah semata.


Maka tipikal masyarakat dengan pemaknaan Ramadhan seperti inilah yang dalam adagium agama di sebut dengan shooimun nahar, qooimul lalil yakni masyarakat yang waktu siangnya habis untuk berpuasa sedangkan malamnya mutlak untuk beribadah.


Atau dalam perspektif filsafat jawa dengan piranti ilmu otak atik gathuk istilah Puasa itu secara leksiko-filologi diambil dari kata poso (Istilah Jawa), lha kata poso ini merupakan akronim dari topone roso (bersemedinya rasa) artinya puasa adalah proses mengheningkan cipta seluruh anggota tubuh terlebih hati. Maka dalam pandangan orang Jawa puasa tak hanya proses menahan lapar dan haus tapi lebih dari itu puasa juga menahan “rasa” yang bisa kita terjemahkan dengan misalanya persangka buruk, rasa benci, rasa ingin marah dan lain sebagainya.


Ramadhan Ekonomi


Makna Ramadhan kedua bagi sebagian masyarakat adalah Ramadhan ekonomi, Ramadhan jenis ini bisa diterjemahkan sebagai satu output dari Ramadhan yakni Idul Fitri secara sosial yang berarti dimaknai dengan baju baru, kemeja baru, kain sarung baru, peci baru ataupun atribut-atribut jasadiyah yang lain.


Lebih dari itu sebagaimana kita ketahui bersama dari perspektif ekonomi entah mengapa sebabnya daya konsumsi kita pada bulan Ramadhan jauh meeningkat daripada bulan-bulan biasa. Daya konsumsi kita misalnya tatkala menyantap hidangan berbukan tak hanya sebatas makan minum ala kadarnya tapi lebih dari itu kita juga menyediakan aneka es, kolak, kurma, makanan ringan sampai dengan buah-buahan yang lebih dari cukup ---kalau tidak mau dikatakan berlebihan--.


Maka ada sindiran halus tentang distorsi makna Ramadhan dan puasa pada masyarakat seperti ini yakni puasa bukanlah persolan bagaimana kita konsentrasi penuh menahan lapar haus dan hal-hal yang membatalkannya tapi puasa adalah bagaimana kita merubah pola dan waktu makan.


Berjejelnya hidangan berbuka puasa di meja tatkala bedug maghrib berkumandang sudah sangat mewakili pola pikir tentang bagaimana masyarkat ini memandang ramadhan, tapi hal yang demikian memang dibenarkan oleh Lucia King (2000) bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia memang berjiwa konsumeris.


Ramadhantainment


Jenis yang ketiga bagi pemaknaan Ramadhan adalah menafsirkan Ramadhan sebagai hiburan, ini yang mewabah di hampir seluruh lapisan masyarakat kita mulai kelas elit, menengah sampai dengan kelas bawah rata memaknai ramadhan sebagai hiburan.


Jagat hiburan memang seakan-akan menemukan momentumnya tatkala Ramadhan datang, pelbagai jenis tayangan yang mengafiliasikan diri kepada agama berhamburan berebut jam tayang, komedian, pelawak, ustadz, selebritis laris manis. Apapun tayangannya ujung-ujungnya adalah komedi yang miskin sekali akan nilai-nilai edukasi.


Pada momentum Ramadhan “hiburan” inilah televisi seakan-akan masuk Islam, apapun tanyangannya di Islamkan, tak ada yang tak Islam, tak ada yang tak religi. Artist–artis berjejalan menggunakan simbol-simbol keislaman yang seakan-akan mereka ikut berkata bahwa ini lho saya, keislaman saya tak kalah dengan yang lainnya.


Menjadikan bulan Ramadhan sebagai lumbung hiburan inilah produk kebudayan mutakhir kita yang tak pernah kita kaji dengan serius. Hampir tak pernah kita mempersoalkan gaya lawakan yang cenderung menjelek-jelekkan lawan main, menyinggung ras atau semisalnya. Karena disadari atau tidak tanyangan-tanyangan yang tidak edukatif inilah yang menginjeksi serta pada gilirannya nanti akan mengonstruksi pola pikir kita.


Lebih tak masuk akal lagi para pelaku ramadhantainment ini juga tak hanya dari orang yang pemahamannya agamanya masih setangah-setengah tapi juga kalangan Ustadz yang dalam kontelasi tatanan religi masyarakat kita dijadikan rujukan pola hidupnya. Tak berhenti pada tataran itu yang lebih miris adalah tentu Ustadz-Ustadz itu mafhum bahwa ia sedang dijadikan objek eksploitasi kapitalisme media berbau religi.


Maka dalam gegap gempita budaya yang cenderung menggerus nurasi kesadaran kita semacam ini tak ada hal perlu kita lakukan selain melakukan counter hegemoni terhadap produk kebudayaan apapun yang cendenrung destruktif. Selain itu setidaknya apa yang dialkukan oleh kementerian agama yang berinisiatif memanggil para dai-daiyah televisi ihwal agar mengurangi serta memperbaiki metode dakwahnya dalam bulan ramadhan perlu kita apresiasi.


Selebihnya, tugas kita sebagai individu adalah act locally bertindak semampu yang kita jangkau dengan melakukan tidakan-tindakan preventif terkait makna ramadhan yang sesungguhnya agar kita tak semakin terjerumus terhadap pemaknaan ramadhan yang kian hari kian dangkal. Wallahu al’lam bis showab


* Nahdliyyin Alumnus PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, Esais dan Peneliti di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar