Kamis, 09 Agustus 2012

Gus Dur: Sikap Dasar Para Pemimpin


Sikap Dasar Para Pemimpin

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Sebagaimana kita ketahui, para pemimpin bangsa kita yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945, menyepakati Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 dengan kalimat ‘Islamis’ Piagam Jakarta di dalamnya. Namun sehari kemudian dikeluarkanlah Piagam Jakarta dari batang tubuh UUD itu, karena permintaan anggota badan tersebut yang berasal dari timur Indonesia. Mereka yang menyetujui penghilangan Piagam Jakarta tersebut adalah para wakil dari berbagai gerakan Islam; Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KHA. Kahar Muzakir (PP. Muhammadiyah), Abikoesno Tjokrosoejoso (SI), Ahmad Soebardjo (Masjumi), A. Baswedan (PAI), H. Agus Salim (ulama independen) dan A. Wahid Hasjim (NO). Hal itu terjadi karena sebelumnya mereka telah sepakat dengan yang lain-lain untuk mendirikan sebuah negara merdeka. Sikap ini adalah sikap dasar yang disepakati oleh semua anggota.


Jika keinginan mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat adalah pendapat asal, tentu saja pendapat berikut tentang bentuk dan sifat negara menjadi pandangan berikutnya. Sesuai dengan ketentuan “Hal asal/semula, tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan” (al-asl la yuzalu bi al-syak), maka dapat dimengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam itu tidak dapat menolak argumentasi yang menghendaki negara ini bukan negara Islam (NI). Kalau Piagam Jakarta, sebagai pandangan yang berikutnya lalu dihapus, dengan demikian gagasan semula yaitu mendirikan negara yang bukan NI harus tetap dipertahankan, karena ketentuan agama menyatakan “Asal-usul sesuatu adalah tetapnya keadaan seperti sediakala” (al-ashlu baqa-u ma kana ‘ala ma kana).


Dari contoh di atas, dapat dilihat adanya kekesatriaan para wakil berbagai gerakan Islam itu, atas prinsip yang telah disetujui bersama, yaitu terbentuknya negara. Padahal dapat diketahui, betapa kokohnya pendirian para founding father negara ini yang lebih mementingkan sebuah hal sebagai dasar pemikiran yaitu kepentingan bersama (common interest). Mereka boleh berbeda dalam ideologi, berbeda dalam cara berpikir dan bersikap, dan berlainan dalam pendapat, namun yang mengikat mereka semua adalah kokohnya pendirian untuk kembali kepada prinsip semula, hingga terjadi persetujuan. Sikap mulia ini yang justru memungkinkan lahirnya dasar pemikiran untuk bertahan pada wujud/eksistensi negara, 7000 km (barat ke timur) dikalikan 1500 km (dari utara ke selatan) membentang kawasan negara kita, yang hanya dapat diwujudkan melalui sikap tolak-angsur yang demikian kreatif, antara para pemimpin bangsa kita itu. Hanya dengan sikap tolak-angsur seperti itu, eksistensi Republik Indonesia dapat dipertahankan, dan selanjutnya dijaga antara lain oleh mereka yang semula tidak menginginkan negara kesatuan.



****


Sikap membela kepentingan bersama itu memang ada sebelumnya. Mari kita perhatikan contoh berikut; salah seorang pendiri dan pemimpin NU KH. M. Hasjim Asj’ari, dimintai konsultasi anaknya, KHA. Wahid Hasjim –yang saat itu ditanya oleh Laksamana Maeda dari pemerintah pendudukan Jepang: “siapakah orang yang sebaiknya mewakili bangsa Indonesia, jika tentara sekutu dapat menduduki kepulauan Jepang sendiri, untuk menegosiasikan kemerdekaan negara kita?” Beliau bukannya menunjuk anak kandungnya sendiri (KHA. Wahid Hasjim) juga bukan orang lain yang se-aliran (golongan Islam) Melainkan justru menunjuk kepada “orang lain” yang tidak “berjuang untuk Islam”, tanpa ragu-ragu beliau menyebutkan nama Soekarno. Beliau tidak mementingkan apa yang diinginkan golongan Islam -yaitu NI-, namun lebih mementingkan terbentuknya sebuah Negara yang meliputi berbagai budaya, bahasa, tradisi dan keyakinan yang sangat beragam.


Sikap dasar seperti itu sekarang tampak sebagai kesetiaan kepada Pancasila, walaupun sebenarnya entitas dengan nama itu baru belakangan dikenal orang. Setelah gagasan tentang NI ditolak dan tidak dikembangkan lebih jauh, barulah kemudian mereka semua sibuk mencari nama yang tepat bagi kompromi politik yang telah dicapai, yaitu Pancasila. Sekarang memang dikatakan Pancasila adalah falsafah negara, tetapi dahulu belum dikenal penggunaannya dalam kapasitas tersebut. Waktu itu berlangsung pergulatan antara gagasan NI dan entitas yang bukan NI. Dicarilah sebuah kompromi politik, yang kemudian dinamai Pancasila. Dengan cara menemukan rumusan kompromistik itu, para pendiri negeri kita menunjukkan sebuah kualitas pribadi yang sangat tinggi: tidak mementingkan diri atau golongan sendiri. Hanya dengan cara itulah kebersamaan kita sebagai bangsa dapat dipertahankan.


Jelas, sikap seperti itu mengharuskan adanya pengorbanan terhadap prinsip bersama yang benar-benar dihormati oleh semua pihak. Kepentingan diri atau golongan sendiri di-nomor-dua-kan, karena memang ia nomor dua. Inilah rahasia yang menjawab pertanyaan, mengapakah kita sebagai bangsa yang demikian heterogen/beragam dapat membuat sebuah Negara dengan kawasan yang demikian rapuh dan perbedaan-perbedaan demikian besar. Jika saja kepentingan golongan atau ambisi politik pribadi yang dikejar, tentu kita akan masih terpecah-belah dan akan terbagi dalam beberapa Negara yang hidup berdampingan. Itulah yang dikehendaki orang-orang lain sekarang dan tentunya juga di masa-masa yang akan datang. Terpulang kepada kita semua apakah kita masih ingin mempertahankan sebuah entitas bernama Republik Indonesia (RI) dengan penduduk beragam dengan nama bangsa Indonesia.



****


Pertanyaan utama kita sekarang adalah mampukah kita mengenyampingkan perbedaan yang ada, guna mempertahankan entitas kita sendiri yang mendapatkan tambahan predikat ‘demokratis’. Tambahan predikat inilah yang sekarang ini mencerai-beraikan kita sebagai bangsa. Adanya yang menginginkan negara kesatuan, adapula yang menghendaki diri kita sebagai negara federal. Ada yang menghendaki hendaknya mempertahankan pemisahan negara dari agama dan ada yang masih menghendaki adanya NI. Ada yang menginginkan hukum nasional “dibebaskan” dari hubungan saling mempengaruhi dengan hukum agama, tetapi ada pula yang menuntut diberlakukannya Syari’ah, tanpa ada kejelasan apa yang dimaksudkan. Dan demikian seterusnya, persoalan besar kita dipertikaikan tanpa terlihat adanya keinginan untuk mencapai kompromi yang dapat diterima semua pihak.


Seolah-olah mereka yang menginginkan pemisahan negara dari agama menjadi musuh Tuhan yang harus dijauhi; dan yang menghendaki syari’ah adalah orang yang dibenci kepada hukum nasional. Padahal tidak demikian halnya, mereka yang menginginkan pemisahan agama dari negara, hanya bermaksud agar hukum agama tidak “otomatis” menjadi hukum yang diundangkan oleh negara. Mereka menyadari bahwa hukum agama dan akhlak yang baik membentuk sistem nilai, yang akan melahirkan hukum nasional yang jiwa-nya Berketuhanan, walaupun tidak dirumuskan terbuka seperti itu. Mereka yang menghendaki Syari’ah berlaku, juga tidak serta merta ingin mengganti rumusan-rumusan lama yang ada dalam redaksi UU kita itu, melainkan ingin agar rumusan-rumusan tersebut mengandung jiwa berke-Tuhan-an. Jadi bukan hukum nasional yang lepas sama sekali dari kaidah-kaidah moral dan keyakinan agama.


Kesalahpahaman antara berbagai kalangan seperti itu, sebenarnya dapat dihindarkan. Jika komunikasi antar mereka yang sama-sama bekerja untuk kepentingan semua pihak, seharusnya dijalin dengan sungguh-sungguh, apalagi jika mereka menamakan diri “wakil rakyat”. Mereka bukanlah hanya “wakil parpol” yang harus memenangkan golongan sendiri, melainkan juga wakil rakyat yang harus merumuskan kepentingan rakyat.. Ternyata pembaharuan hukum nasional sebagai salah satu proses demokratisasi memang mudah dikatakan akan “berjalan mulus dan cepat”, tetapi dalam kenyataan sangat sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 10 November 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar