Oleh: KH. As'ad Said Ali
Mencermati perkembangan gerakan Islam non-mainstream yang cukup mewabah tersebut di atas maka pertanyaan pentingnya adalah bagaimana implikasi gerakan tersebut bagi gerakan sosial keagamaan yang sudah relatif mapan di Indonesia? Jawaban pertanyaan ini untuk sementara masih bersifat spekulatif. Namun beberapa perkiraan umum dapat dilakukan. Pertama, gerakan Islam non-mainstream kemungkinan besar masih akan terus berkembang luas. Hal ini terutama ditunjang oleh jaringan internasional yang mendukungnya. Padahal gerakan Islam mainstream relatif kurang mendapat dukungan jaringan internasional.
Kedua, gerakan Islam non-mainstream kemungkinan besar akan berbenturan dengan gerakan Islam mainstream. Saling singgung dan saling menggerogoti basis kemungkinan besar akan terjadi. Basis Muhammadiyah di perkotaan umpamanya, sekarang ini sedang digerogoti oleh jamaah Ikhwan dan Hizbut Tahrir. Jamaah Tabligh menggerogoti beberapa konstituen penting NU di perkotaan. Sedangkan gerakan Salafi, berusaha mengambil jamaah NU puritan dengan pendekatan pesantren. Adapun Jamaah Tabligh sedang mengincar komunitas-komunitas sufi.
Ketiga, di antara sesama jaringan non-mainstream ternyata terjadi ketegangan yang kuat. Jamaah Ikhwan umpamanya, tidak pernah bertemu dengan Hizbut Tahrir. Sedangkan Salafi sangat getol mengecam gerakan Ikhwan, Hizbut Tahrir, maupun Jamah Tablig.
Meskipun terjadi persaingan yang serius, semua gerakan non mainstream tersebut ternyata bertemu dalam agenda terwujudnya pemerintahan Islam. Kecuali Salafi Dakwah dan Jamaah Tablig yang, untuk sementara, bersifat apolitis. Agenda terakhir ini tentu saja dapat berpotensi berbenturan dengan ideologi Nasional. Persoalannya, bagaimana negara harus menghadapi aneka ragam idelogi gerakan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ideologi nasional. Menurut hemat kami, sepanjang gagasan-gagasan tersebut masih dalam ranah privat, maka negara seharusnya tidak perlu campur tangan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan pemikiran dan gagasan yang dikembangkan oleh warga negara. Namun, apabila gagasan tersebut sudah ditransformasikan menjadi sebuah gerakan politik secara langsung, maka sudah sepantasnya negara melakukan tindakan. Tapi, tindakan itu harus tetap sesuai koridor negara hukum.
Mengacu pada TAP-MPRS III/1966 tentang larangan ajaran marxisme-leninisme-komunisme yang masih berlaku hingga sekarang, maka negara pada dasarnya mempunya kewenangan yang kuat untuk melakukan tindakan hukum bagi gerakan-gerakan yang mempunyai ideologi politik yang secara nyata bertentangan dengan Pancasila. Dalam konteks pribadi, bisa mengunakan KUHP tentang kejahatan terhadap negara. Dalam konteks keormasan, bisa menggunakan UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan dalam konteks partai politik bisa menggunakan UU No.2/2008 tentang Partai Politik. Persoalannya tinggal komitmen negara dalam melaksanakan peraturan perundangan.
(tamat)
* Wakil ketua umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar