Tidak ada yang meragukan kecerdasan sahabat Nabi Muhammad, Khalid bin Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum dalam strategi melakukan penaklukkan sebuah wilayah. Ketika Sayidina Umar bin Khattab menjadi khalifah, ia tetap mendaulat Khalid bin Walid sebagai Panglima. Amanah yang juga dipegang Khalid saat kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kala itu Khalid mendapat tugas yang amat berat dari Khalifah Umar, yaitu
menaklukkan kekuasaan Persia. Imperium besar yang dalam sejarahnya pernah
menaklukkan Kerajaan Romawi ini mampu ditaklukkan Khalid di bawah perintah Umar
bin Khattab.
Keberhasilan menaklukkan Persia disambut pesta gemilang oleh seluruh pasukan.
Namun, tidak demikian dengan Khalifah Umar. Dia membuat kaum muslimin terhenyak
ketika tiba-tiba memecat Panglima Khalid. Umar merupakan satu-satunya kepala
negara yang berani mengambil keputusan memecat Panglimanya yang hebat.
KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat dari Pesantren (2013: 688)
mengungkapkan, Khalifah Umar memecat Khalid bin Walid lantaran khawatir melihat
gejala didewa-dewakannya Khalid oleh rakyat. Sang Khalifah juga memikirkan
kepentingan pribadi Khalid. Karena gejala tersebut bisa merusak moral dan
mental Khalid sendiri sebagai manusia yang bisa lupa daratan.
Menerima kenyataan dipecat dari jabatan Panglima tidak membuat Khalid berang
maupun marah, ia malah ikhlas karena Khalifah Umar justru lebih memahami
persoalan itu. Khalid pun tetap setia mendampingi Khalifah Umar.
Khalifah Umar memang dikenal dengan ketegasannya. Tetapi di balik kharisma
kepemimpinannya, ia merupakan sosok yang sangat sederhana. Maulana Jalaluddin
Rumi dalam karyanya Al-Matsnawi, mengisahkan bahwa pada suatu ketika
seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Constantinople datang untuk
menghadap khalifah Umar bin Khattab di Madinah.
Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendikiawan, dan negarawan terkemuka.
Setelah memasuki Madinah, utusan dari Byzantium itu merasa heran karena tidak
melihat adanya istana kekhalifahan. Ia lalu bertanya kepada salah seorang penduduk
Madinah.
“Dimanakah istana raja kalian?” tanya sang utusan. Orang yang ditanya oleh
ksatria Byzantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya: “Raja kami tidak
memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya sendiri
yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa.”
Utusan kekaisaran Byzantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. “Lalu
dimanakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua,
penakluk dua imperium, Persia dan Byzantium itu?” tanya sang utusan.
“Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati
itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?”
kata seorang penduduk Madinah.
“Mengapa memang?” tanya sang utusan semakin penasaran.
“Itulah sang khalifah dambaan kami, Umar ibn Khaththab. Ia tengah memberi makan
dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda.”
Utusan itu kemudian tergetar. Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar
yang sangat bersahaja.
“Beritahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu,” kata sang utusan
Romawi.
“Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan
cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan
melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun
bisa memasuki istana itu bersamanya,”
Utusan itu kemudian mendekati Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan
kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal tersebut bisa
dilakukan oleh bawahannya?
Umar berkata: “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik
anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi
tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan
kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan
merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku ...”
Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama
ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya.
Tak lama kemudian, sang utusan Byzantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan
keislamannya di hadapan Umar. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar