Setiap perempuan yang berpisah dari suaminya, baik karena perceraian maupun karena suaminya meninggal dunia, harus menjalani masa iddah atau masa tunggu. Di dalam menjalani masa iddah ini ada berbagai macam larangan yang tidak boleh dilanggar oleh mereka atau oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka seperti wali dan orang-orang yang menghendaki menikah dengan mereka.
Perempuan yang ditalak raj’i misalnya selama masa iddah dilarang untuk menikah
lagi dengan laki-laki lain. Pun laki-laki lain yang menginginkan untuk
menikahinya tidak diperbolehkan mengungkapkan keinginannya itu, baik secara
samar maupun terang-terangan, selama perempuan itu belum habis masa iddahnya.
Ini dikarenakan selama masih dalam masa iddah perempuan yang ditalak raj’i pada
dasarnya masih menjadi istri bagi suaminya.
Sementara seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya selama masa iddahnya
tidak diperbolehkan melakukan berbagai hal seperti berhias diri, menggunakan
wewangian, dan keluar rumah kecuali untuk suatu kebutuhan. Sedangkan seorang
laki-laki yang memiliki kehendak untuk menikahinya maka selama perempuan itu
masih dalam masa iddah sang laki-laki tidak boleh menyatakan keinginannya itu
dengan kalimat yang jelas. Ia hanya boleh menyatakannya dengan bahasa sindiran.
Dengan demikian maka perempuan yang ditinggal mati suaminya dan masih dalam
masa iddah haram menerima pinangan apalagi menikah dengan laki-laki lain. Itu
semua adalah aturan yang telah ditetapkan oleh syari’at yang mesti ditaati oleh
semua pihak.
Namun kenyataannya banyak terjadi di masyarakat tindakan yang melanggar
aturan-aturan itu. Tidak jarang seorang perempuan yang masih dalam masa iddah
menyatakan kehendaknya untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki lain pada
tanggal tertentu yang bahkan tanggal pernikahan itu juga masih dalam masa
iddahnya.
Sudah adanya keinginan untuk menikah ini menunjukkan adanya rentetan peristiwa tertentu yang jelas melanggar aturan syari’at, seperti adanya pengungkapan rasa cinta dan keinginan menikah dari laki-laki lain, terjadinya pertemuan dan komunikasi dengan laki-laki lain untuk merencanakan pernikahan, hingga usaha-usaha untuk mewujudkan pernikahan itu. Dan keinginan serta usaha untuk mewujudkan itu semua kemudian diwujudkan secara nyata dalam bentuk mendaftarkan diri ke Kantor Urusan Agama (KUA). Jelas semua itu merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Lalu apa tindakan yang semestinya dilakukan oleh KUA ketika ada pendaftaran
nikah dari seorang perempuan janda yang masa iddahnya masih belum selesai?
Tindakan yang semestinya dilakukan oleh KUA adalah menolak kehendak mereka
sejak dari proses yang paling awal yakni pendaftaran. Meskipun bila melihat
rencana tanggal pernikahannya akan jatuh pada saat masa iddah telah selesai
penyampain kehendak nikah melalui proses pendaftaran harus ditolak dan tidak
bisa diterima. Menerimanya sama saja dengan membolehkan dan menyetujui
tindakan-tindakan yang dilarang syari’at sebagaimana disebutkan di atas.
Larangan ini secara tegas disampaikan oleh Allah di dalam Surat Al-Baqarah ayat
235:
وَلا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya: “Janganlah kalian menginginkan akad nikah hingga ketentuan Allah
sampai pada waktunya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam
hati kalian maka berhati-hatilah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Mengetahui.”
Para ulama tafsir menjelaskan ayat ini sebagai larangan menyatakan keinginan
untuk menikah dengan seorang perempuan yang masih dalam masa iddah sampai
selesainya masa iddah tersebut.
Muhammad Ali As-Shabuni dan Imam Fakhrudin Ar-Razi menjelaskan bahwa ayat ini
merupakan penekanan (mubalaghah) dalam melarang pernikahan yang dilakukan dalam
masa iddah. Menurut keduanya bila keinginan di dalam hati (azam) untuk menikah
saja dilarang, maka larangan tersebut menjadi lebih kuat terhadap penyampaian
keinginan untuk menikah. (Fakhrudin Ar-Razi, Mafȃtihul Ghaib, [Kairo: Darul
Hadis, 2012], jilid III, halaman 362) dan (Muhammad Ali
As-Shabuni, Rawȃi’ul Bayȃn, [tp. tt.], jilid I, halaman 375).
Lebih jauh Syekh Nawawi Banten dalam kitab tafsirnya menyatakan bila perempuan
yang berpisah dari suaminya menikah lagi di dalam masa iddah maka wajib
hukumnya bagi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Bila tak
memiliki kemampuan untuk mencegahnya maka wajib baginya untuk meminta bantuan
pemerintah. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tafsȋr Al-Munȋr, (Beirut: Darul Fikr,
2007), juz I, hal. 73).
Dari sini menjadi sangat jelas bahwa tindakan mendaftarkan diri untuk menikah dari seorang perempuan yang masih dalam masa iddah harus dicegah oleh siapapun yang memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Bila tidak ada pihak yang mampu mencegahnya maka campur tangan pemerintah—dalam hal ini KUA—mesti diperlukan.
Dalam praktik dan konteks pencatatan nikah di Indonesia tindakan pencegahan ini
semestinya dimulai dari pihak keluarga. Bila tak dapat dilakukan oleh keluarga
maka pencegahan ini mesti dilakukan oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N),
modin, lebe atau nama lainnya (setiap daerah namanya berbeda-beda) ketika calon
pengantin meminta jasanya untuk menguruskan rencana pernikahannya.
Bila masih belum bisa mencegahnya juga maka KUA adalah pihak yang paling dapat
diharapkan dan paling berwenang untuk melakukan pencegahan dengan menolak
berkas pendaftaraannya.
Dengan demikian penolakan nikah yang dilakukan oleh KUA bukan saja karena
tanggal rencana ijab kabulnya masih di dalam masa iddah, tapi lebih dari itu
karena membicarakan, merencanakan, dan mendaftarkan nikah, serta melakukan
pemeriksaan berkas calon pengantin yang masih dalam masa iddah adalah sesuatu
yang dilarang oleh syari’at.
Pencegahan ini menjadi sangat penting dan perlu diperhatikan mengingat pada ayat di atas Allah juga menyampaikan kalimat yang mengingatkan hal ini dengan cukup keras:
وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
Artinya: “Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati kalian,
maka berhati-hatilah kepada-Nya.”
Menurut As-Shabuni ayat tersebut mengandung makna intimidasi dan ancaman dari
Allah. Karenanya beliau mengingatkan untuk takut akan siksa-Nya dan tidak
menentang perintah-Nya. (As-Shabuni: 371). Wallȃhu a’lam.
[]
Ustadz Yazid Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan
Surakarta. Kini ia aktif sebagai penghulu di Kantor Kementerian Agama Kota
Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar