Setiap Nabi memiliki kisah berbeda. Ada sebagian yang rasional, bisa diterima dan dipercaya akal, ada juga irasional, tidak bisa diterima akal namun dipercayai dan diimani. Di antaranya adalah kisah perjumpaan Nabi Musa as dan Nabi Khidlir as. Kisah luar biasa yang sulit dinalar akal manusia. Nabi Khidlir as berperan sebagai guru bagi Nabi Musa as, namun ajaran-ajarannya sangat bertentangan dengan ajaran Taurat.
Kisah tersebut bermula ketika Nabi Musa as khutbah kepada Bani Israil. Dalam
Khutbahnya ia menyampaikan ajaran dan risalah kepada umatnya, dari ibadah,
pendekatan diri kepada Allah swt, dan juga mengajak mereka untuk menambah
ketaatan kepada-Nya. Setelah khutbah selesai, ada salah satu orang bertanya,
“Wahai Nabi Musa! Apakah ada di muka bumi ini orang yang lebih alim darimu?”
“Tidak ada”, tegas Nabi Musa, seolah di dunia hanya dia yang paling alim.
Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini, atau yang lebih dikenal Syekh
al-Alusi (wafat 1270 H) menjelaskan, pada waktu yang sama Allah memarahi Nabi
Musa karena jawabannya yang dinilai sombong. Ia lupa, bahwa semua ilmu yang
dimilikinya merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh dijadikan
kesombongan. Allah memberikan wahyu kepadanya:
إِنَّ
لِي عَبْدًا بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ عَلَى السَّاحِلِ عِنْدَ صَخْرَةٍ هُوَ
أَعْلَمُ مِنْكَ
Artinya, “Sungguh Aku punya hamba yang ada di pertemuan dua laut pada suatu
pantai di samping batu, dia lebih alim daripada dirimu.” (Syihabuddin Mahmud
al-Alusi, Tafsîrul Alusi, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2015], juz I,
halaman 305).
Firman Allah itu merupakan teguran kepada Nabi Musa as, bahwa setinggi apapun ilmu
yang dimiliki, ia tidak layak menyombongkannya. Sifat sombong merupakan hak
preogratif milik Allah selaku Dzat Yang Maha Mengetahui. Manusia hanya memiliki
sedikit ilmu, bahkan tak ternilai sama sekali bila dibandingkan dengan ilmu
yang dimiliki-Nya. Allah berfirman:
وَمَآ
أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلاً (الإسرَاء : 85)
Artinya, “Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS al-Isra’: 85).
Syekh Muhammad bin Ali asy-Syaukani menjelaskan, setelah mendapatkan teguran
Nabi Musa as bertanya; “Ya Allah, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu
dengan hamba-Mu itu?”
Allah menjawab:
تَأْخُذُ مَعَكَ حُوتًا فَتَجْعَلُهُ فِي مِكْتَلٍ، فَحَيْثُمَا فَقَدْتَ الْحُوتَ فَهُوَ ثَمَّ
Artinya, “Bawalah seekor ikan kemudian letakkan di dalam keranjang dari daun kurma, maka apabila ikan tersebut melompat, maka di situlah hamba-Ku berada.” (Asy-Syaukani, i, [Beirut, Dârul ‘Ilmi: 2009], juz III, halaman 355).
Sejurus kemudian Nabi Musa as berangkat ke tempat itu ditemani salah satu
muridnya, Yusya' bin Nun. Nabi Musa as membawa seekor ikan yang diletakkan di
dalam keranjang dari daun kurma. Keduanya berjalan kaki menuju tempat yang
diperintahkan. Ketika sampai di sebuah batu besar, keduanya pun tertidur lelap.
Tiba-tiba ikan dalam keranjang melompat keluar, lalu masuk ke air laut,
sebagaimana diceritakan Al-Qur’an:
فَلَمَّا
بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي
الْبَحْرِ سَرَبًا (الكهف: 61)
Artinya, “Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya,
lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” (QS al-Kahfi: 61).
Saat itu, Allah menahan air yang dilalui ikan tersebut, sehingga menjadi
seperti terowongan. Akhirnya mereka berdua melanjutkan perjalanannya siang dan
malam. Namun rupanya murid Nabi Musa as lupa memberitahukannya bahwa ikan telah
melompat di tempat dilalui mereka. Pagi harinya Nabi Musa as berkata kepadanya:
“Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini.”
“Tahukah Anda tatkala kita mencari tempat berlindung di batu besar tadi,
sungguh saya lupa menceritakan ikan itu, dan tidak ada yang membuat saya lupa
menceritakannya kecuali setan. Ikan itu talah mengambil jalannya ke laut dengan
cara yang sangat aneh”, jawab murid.
Kemudian Nabi Musa as berkata, sebagaimana diceritakan Al-Qur’an:
قَالَ
ذلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ (الكهف: 64)
Artinya, “Dia (Musa) berkata, ‘Itulah (tempat) yang kita cari’.” (QS al-Kahfi:
64).
Lalu mereka kembali menelusuri jejak semula. Setelah tiba di batu besar mereka
melihat seorang lelaki sedang tertidur berselimut kain, yang tak lain adalah
Nabi Khidlir as. Nabi Musa mengucapkan salam, lalu Nabi Khidhir asbertanya
kepadanya:
“Dari manakah salam dan negerimu?”
“Saya adalah Musa”, jawab Nabi Musa as.
“Musa Bani Israil?” tanya ulang Nabi Khidhir as.
“Iya”, Nabi Musa as menegaskan.
Cerita pertemuan dan percakapan mereka abadikan dalam Al-Qur’an:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70)
Artinya, “66) Musa berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk? 67) Dia menjawab, ‘Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. 68) Bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedangkan engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ 69) Dia (Musa) berkata, ‘Insyaallah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.’ 70) Dia berkata, ‘Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu’.”
Setelah menempuh perjalanan bersama, Nabi Musa as tidak bisa mengambil ilmu dan
berguru kepada Nabi Khidlir as. Bahkan Nabi Khidlir as memerintahkan Nabi Musa
as untuk berpisah dengannya. Hal itu disebabkan Nabi Musa as tidak bisa
melakukan apa yang diperintahkan Nabi Khidlir as kepadanya, sebagaimana dalam
ayat 70 di atas. Akibatnya, Nabi Musa as harus rela pergi meninggalkannya tanpa
dapat berguru perihal ilmu-ilmu yang tidak dimilikinya. Menanggapi kejadian
ini, Rasulullah saw bersabda:
وَدِدْنَا
أَنَّ مُوسَى كَانَ صَبَرَ حَتَّى يَقُصَّ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ خَبَرِهِمَا
Artinya, “Sebenarnya aku lebih senang jika Musa dapat sedikit bersabar, hingga
kisah Musa dan Khidhir bisa diceritakan kepada kita dengan lebih panjang lagi.”
(Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsûr, [Beirut, Dârul Fikr: 1993], juz V,
halaman 411).
Dari kisah di atas kita bisa mengambil pelajaran, tidak sepatutnya seorang
hamba merasa dirinya sudah sangat alim, memiliki pengetahuan, apalagi sampai
mendeklarasikan diri sebagai orang paling banyak pengetahuannya. Sebab, manusia
harus sadar bahwa semua ilmu yang dimilikinya hanyalah titipan yang Allah amanahkan
kepadanya, bukan untuk dibuat sombong. Ilmu yang dimiliki manusia tidak
bernilaii sedikit pun bila dibandingkan dengan Dzat Pemberi Ilmu itu sendiri.
Karenanya, Allah swt langsung menegur dan mencela Nabi Musa as ketika beliau
merasa bahwa di dunia tidak ada orang yang lebih alim daripada
dirinya. Wallahu a'lam. []
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar