Surat Al-Ikhlas adalah salah satu surat paling populer di kalangan umat Islam Indonesia, terlebih bagi warga Nahdliyyin. Surat Al-Ikhlas menjadi bacaan wajib dalam rangkaian bacaan tahlil. Surat ini memang memiliki keistimewaan tersendiri. Al-Bukhari dan Muslim sampai membuat bab khusus tentang keutamaan membaca surah tersebut dalam kedua kitab Shahih mereka. Salah satu keutamaan surat ini adalah sebagaimana disabdakan Rasulullah saw:
قُلْ
هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Artinya, “Qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas) sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an”
Hadits ini diriwayatkan dengan berbagai redaksi oleh banyak ulama. Keenam kitab hadits induk yang dikenal dengan istilah Al-Kutubus Sittah memuat hadits ini. Kiranya hadits inilah yang menjadi dasar dari anggapan yang beredar di masyarakat bahwa pahala membaca Al-Ikhlas tiga kali sama dengan pahala mengkhatamkan Al-Qur’an. Benarkah anggapan yang beredar tersebut?
Para ulama berbeda-beda dalam memaknai sabda Rasulullah saw di atas. Ada lebih
dari lima pendapat yang dikemukakan para ulama. Namun secara umum dapat
disimpulkan menjadi 3 pendapat:
1. Al-Ikhlas sebanding dengan sepertga Al-Qur’an dari segi makna;
2. Al-Ikhlas sebanding dengan sepertga Al-Qur’an dari segi pahala;
3. Al-Ikhlas memiliki keistimewaan pahala namun bukan berarti membacanya tiga kali sama dengan mengkhatamkan Al-Qur’an.
Para ulama yang menjelaskan hadits di atas, hampir semuanya mengutip pendapat
pertama dan kedua.
Pendapat Pertama
Maksud Al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an dari segi makna adalah bahwa keseluruhan kandungan Al-Qur’an berisi tiga hal, yaitu tauhid, hukum, dan cerita. Sedangkan Al-Ikhlas menjelaskan tentang tauhid. Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menukil pendapat ini dari Al-Mazari. An-Nawawi juga menyebutkan riwayat lain dari hadits ini yang memperkuat pendapat ini:
وفي
الرواية الأخرى: إِنَّ اللهَ جَزَّأَ الْقُرْآنَ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ فَجَعَلَ
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ جُزْءًا مِنْ أَجْزَاءِ الْقُرْآنِ
Artinya, “Dalam riwayat lain disebutkan: “Allah swt membagi Al-Qur’an menjadi tiga bagian, lalu menjadikan Al-Ikhlas menjadi satu dari tiga bagian Al-Qur’an”.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, [Beirut, Dar Ihya’ut Turatsil ‘Arabiy: 1972], juz VI, halaman 94).
‘Abdurra’uf Al-Munawi dalam Faidhul Qadir tampak cenderung pada pendapat ini.
Bahkan beliau memberi kritik terhadap pendapat kedua.
ينبغي
أن يعلم أنه لا يلزم من تشبيه قارئها بمن قرأ القرآن كله أن يبلغ ثوابه ثواب
المشبه به إذ لا يلزم من تشبيه شيء بشيء أخذه بجميع أحكامه ولو كان قدر الثواب
متحدا لم يكن للقارئ كله غير التعب
Artinya, “Perlu diketahui bahwa menyamakan orang yang membaca Al-Ikhlas tiga kali dengan orang yang membaca keseluruhan Al-Qur’an bukan berarti menyamakan pahalanya. Menyamakan suatu hal dengan hal lain tidak berarti menyamakan kedua hal tersebut dalam segala hukumnya. Sebab jika demikian, maka tidak ada keistimewaan bagi orang yang membaca Al-Qur’an seluruhnya, selain kelelahan”. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Mesir, Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra: 1937], juz VI, halaman 201).
Al-Ghazali juga mengemukakan pendapat yang sama dalam Ihya’nya. Namun beliau
berbeda pendapat mengenai tiga kandungan Al-Qur’an. Menurut beliau, tiga hal
tersebut adalah pengetahuan (ma’rifah) tentang Allah swt, sifat-sifat-Nya, dan
perbuatan-Nya (af’al). Dari ketiga hal tersebut, Al-Ikhlas berisi
pengetahuan tentang Allah swt. (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut,
Darul Ma’riah], juz IV, halaman 343).
Begitu juga Al-Qurthubi, beliau memandang perbandingan antara Al-Ikhlas dan Al-Qur’an pada hadits di atas sebagai perbandingan dari segi makna. Beliau juga sependapat dengan Al-Ghazali mengena tiga pokok kandungan Al-Qur’an. Namun, Al-Qurthubi menjelaskannya lebih detail. Menurut beliau, Al-Ikhlash mengandung sepertiga makna Al-Qur’an berupa pengetahuan tentang dzat Allah swt dikarenakan dalam surah tersebut terdapat dua nama Allah yang tidak ditemukan dalam surat-surat lain, yaitu Al-Ahad yang bermakna satu dan As-Shamad yang berarti dibutuhkan. Al-Ahad menunjukkan eksistensi Allah yang tunggal, sedangkan As-Shamad menunjukkan segala kesempurnaan pada Allah swt. (Al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1959], juz IX, halaman 61).
Al-Qasthalani menyebutkan kritik atas pendapat pertama ini. Jika Al-Ikhlash
sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an karena berisi tentang tauhid, seharusnya
ayat kursi dan surah Al-Hasyr juga demikian, namun nyatanya Rasulullah saw
tidak mengatakan Al-Hasyr dan Ayat Kursi setara dengan sepertiga Al-Qur’an.
Kemudian kritik ini beliau jawab dengan menukil pendapat Al-Qurthubi di atas.
Yaitu karena Al-Ikhlash mengandung dua nama Allah yang tidak ditemukan dalam
surah lain, termasuk Al-Hasyr dan Ayat Kursi. (Al-Qasthalani, Irsyadus
Sari, [Mesir Al-Mathba’ah Al-Kubra Al-Amiriyyah], juz VII, halaman
463).
Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa pahala membaca surah Al-Ikhlas dilipatgandakan hingga setara dengan membaca sepertiga Al-Qur’an. Pendapat ini didukung oleh ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi dan Al-Qasthalani dalam Irsyadus Sari. Al-Qasthalani menyampaikan:
وظاهر
الأحاديث ناطق بتحصيل الثواب مثل من قرأ القرآن
“Secara lahiriah, hadits-hadits tentang keistimewaan Al-Ikhlas menunjukkan bahwa pahala membacanya sama dengan pahala membaca sepertiga Al-Qur’an.” (Al-Qasthalani, Irsyadus Sari, juz VII, halaman 463).
Pendapat ini disanggah oleh Ibn ‘Aqil sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Qasthalani, menurut Ibn ‘Aqil hal tersebut tidak bisa terjadi, dengan
berdasar pada hadits:
فَاقْرَءُوْا
الْقُرْآنَ فَإِنَّكُمْ تُؤْجَرُوْنَ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ
Artinya, “Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya kalian mendapat sepuluh kebaikan dari
setiap huruf yang kalian baca.” (Al-Hakim, Al-Mustadrak, [Beirut,
Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1990], juz I, halaman 755).
Agaknya karena alasan tersebut sebagian ulama berpendapat bahwa pahala
membaca Al-Ikhlas dilipatgandakan hingga setara dengan pahala membaca
sepertiga Al-Qur’an, andai pahala dari sepertiga ini tidak dilipatgandakan.
Namun pendapat ini dibantah oleh Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Menurut beliau itu adalah
klaim tanpa dalil. Justru beberapa riwayat tentang hadis keistimewaan
Al-Ikhlas menunjukkan sebaliknya, yaitu mengatakan pahalanya sama seperti
pahala membaca sepertiga Al-Qur’an. Tanpa ada embel-embel “andai pahala dari
sepertiga Al-Qur’an tidak dilipatgandakan”. (Al-‘Asqalani, Fathul Bari,
juz IX, halaman 61).
Pendapat Ketiga
Pendapat ini mengatakan bahwa surah Al-Ikhlas memang memiliki keistimewaan dari segi pahala dibanding surah yang lain. Keistimewaan ini diberikan oleh Allah swt agar kita termotivasi untuk mempelajarinya, bukan berarti pahalanya sama dengan membaca sepertiga Al-Qur’an. Pendapat ini dinukil oleh Syekh ‘Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih sebagai berikut:
وإليه
ذهب أحمد وإسحاق بن رهويه فإنهما حملا الحديث على أن معناه أن لها فضلا في الثواب
تحريضا على تعلمها لا أن قراءتها كقراءة القرآن فإن هذا لا يستقيم ولو قرأها مائتي
مرة
Artinya, “Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuwaih memahami hadits surah Al-Ikhlas bahwa surah tersebut memiliki keistimewaan dari segi pahala dibanding surah lain, sebagai motivasi untuk mempelajarinya. Bukan berarti membacanya tiga kali sama pahalanya dengan mengkhatamkan Al-Qur’an, itu tidak bisa terjadi bahkan jika dibaca hingga 200 kali.”
(‘Ali Al-Qari, Mirqatul Mafatih, [Beirut, Darul Fikr: 2002], juz IV,
halaman 1466). Wallahu a'lam. []
Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar