Kamis, 16 Februari 2023

(Ngaji of the Day) 2 Wajah Bacaan dalam Qira'at Riwayat Imam Hafs

Riwayat Imam Hafs merupakan riwayat bacaan yang sangat populer dan paling banyak digunakan. Bahkan dapat dikatakan, hampir seluruh dunia Islam secara resmi menggunakan bacaan riwayat Imam Hafs, kecuali beberapa negara tertentu seperti Maroko, yang menggunakan bacaan riwayat Imam Warsy, Tunisia, dan Libya, menggunakan bacaan riwayat Imam Qalun.


Pada jalur periwayatan ilmu qira’at, Imam Hafs merupakan perawi dari qira’at Imam Ashim. Beliau yang melanjutkan estafet qira’at Imam Ashim, bahkan disebut sebagai murid yang paling mengetahui bacaan Imam Ashim di antara murid-murid yang lain. 

 

Imam Abi Hisyam al-Rifa’i (w. 242 H) berkata: “Hafs adalah murid Imam Ashim yang paling mengerti atas qira’at Ashim. (Ibnu al-Jazari, Ghayat al-Nihayah Fi Thabaqat al-Qurra’, juz I, 254.).


Selain sebagai murid, Imam Hafs juga merupakan anak tiri dari Imam Ashim. Sehingga kedekatan ini tidak hanya dalam aspek keilmuan (ideologis) tapi juga dalam aspek kekerabatan (bapak dan anak). Kedekatan inilah yang mempengaruhi bacaan keduanya. 

 

Imam Hafs menyatakan bahwa riwayat bacaannya tidak ada yang menyalahi dan bertolak belakang dengan qira’at Imam Ashim kecuali pada satu kata, yaitu pada Surat ar-Rum ayat 54 (ضعفا، ضعف). Pada kata tersebut, Imam Hafs membaca dengan dhammah (pada huruf dlad), sedangkan Imam Ashim membaca dengan fathah. (Ibnu al-Jazari, Ghayat al-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’, juz I, 254.).


Dalam masalah ini, Imam Hafs mengikuti kebanyakan ulama qira’at yang lebih memilih membaca dhammah namun juga tidak meninggalkan bacaan gurunya. Sehingga Imam asy-Syatibi pun menyampaikan terkait masalah ini, dengan memaparkan dua pendapat, yaitu dibaca dhammah dan fathah.


Dalam menerima bacaan atau mengajarkan bacaan (tahammul wa al-ada’) dari Imam Ashim, Imam Hafs tidak hanya membaca dengan satu wajah saja, tapi juga membaca dengan dua wajah atau lebih. Hal ini tidak lepas dari penerimaan bacaan yang diterima oleh Imam Ashim dari gurunya; Abu Abdurrahman as-Sullami, Zir bin Hubaysy, dan Saad bin Ilyas asy-Syaibani.


Dalam riwayat Imam Hafs terdapat dua jalur, yaitu jalur Syathibi dan jalur al-Nasyr. Jalur al Syathtibi adalah jalur yang dirumuskan oleh Imam asy-Syatihibi (w. 590 H) dalam karyanya “Hirz al Amani wa Wajh al Tahani fi al Qora’at al Sab’i”. Jalur ini hanya memilih satu thariq dari Imam Hafs dan dikenal dengan sebutan qira’at Sughra. Sedangkan jalur al Nasyr adalah jalur yang dirumuskan oleh Imam Ibnu Al Jazari (w. 833 H) yang terdokumentasi dalam karya monumentalnya “al Nasyr fi al Qira’at al Asyr”. Jalur ini memiliki dua thariq dari Imam Hafs dan dikenal dengan sebutan qira’at Kubra.


Dalam uraian berikut ini, dijelaskan riwayat Imam Hafs yang boleh dibaca dengan dua wajah dari jalur asy-Syathibi atau jalur qira’at sughra.


1. Membaca basmalah di tengah-tengah surat. 

 

Ulama qira’at, termasuk Imam Hafs, sepakat bahwa membaca basmalah di awal surat merupakan keharusan bagi orang yang hendak membaca Al Qur’an. Tapi, membaca basmalah di tengah-tengah surat selain surat at- Taubah boleh memilih antara membaca atau meninggalkannya. Yang dimaksud dengan tengah-tengah surat adalah selain ayat yang pertama.


Imam al Syathibi berkata:


وَفي الأَجْزَاءِ خَيَّرَ مَنْ تَلَا


Artinya: “Di tengah-tengah surat seorang qari’ boleh memilih membaca basmalah atau meninggalkannya”.


2. Awal surat Ali Imran (
الم) ketika dibaca washal dengan lafadz Jalalah.

 

Apabila lafadz (الم) dibaca washal dengan lafadz Allah (الله), maka huruf mim pada lafadz (الم) boleh dibaca dua wajah; panjang dua harakat atau enam harakat. Dibaca panjang enam harakat karena melihat pada asal huruf mim yang sukun. (huruf ya’ dan mim berharakat sukun). Bacaan ini disebut bacaan mad lazim harfi mukhaffaf.


Sementara itu, bila dibaca panjang dua harakat karena melihat harakat yang baru datang pada huruf mim. (dalam hal ini bacaan tersebut layaknya bacaan mad Thabi’i). Kedua bacaan tersebut merupakan bacaan yang shahih tapi bacaan panjang enam harakat lebih diutamakan. (Ahmad Hijazi, al Qaul al Sadid fi Ahkam al Tajwid/39).


Dalam bacaan ini huruf mim dibaca fathah karena menjaga bacaan tebal pada Jalalah (Allah).


3. Lafadz (
آلذكرين), (الآن) (ألله)

 

Dalam ketiga lafadz di atas, asalnya terdapat dua hamzah yang berkumpul dalam satu kalimat, hamzah yang pertama adalah hamzah istifham (pertanyaan) dan hamzah yang kedua adalah hamzah washal. Dalam riwayat Imam Hafs, ketiga lafadz di atas boleh dibaca dengan dua cara; ibdal atau tashil. 


Membaca ibdal artinya mengganti hamzah yang kedua dengan huruf alif (sehingga terkumpul dua alif sukun) dan membaca panjang 6 harakat. Sedangkan bacaan yang kedua adalah membaca tashil hamzah yang kedua dengan cara membaca antara alif dan hamzah. Bacaan ibdal diutamakan dalam talaqqi. Kedua bacaan tersebut merupakan bacaan yang shahih. Dalam hal ini, seseorang tidak akan bisa mempraktekkan bacaan tersebut secara baik dan sempurna kecuali belajar langsung dan talaqqi kepada seorang guru yang kompeten.


4.  Lafadz (
لاَتَأْمَنَّا ) surat Yusuf 11.

 

Asal kata lafadz di atas adalah (لاَتَأْمَنُنَا) – la Ta’manuna- terkumpul dua huruf nun. 


Pada lafadz di atas boleh dibaca dengan dua metode; isymam atau raom/Ikhtilas.

a. Isymam artinya meng-idgham-kan Nun yang pertama kepada nun kedua secara sempurna kemudian mengisyaratkan bacaan dhammah dengan mencucu/monyong tanpa disertai banyi suara. 
Metode isymam ini mengikuti kaidah yang menyatakan bahwa bila dua huruf yang sama bertemu, maka huruf yang pertama di-idgham-kan ke huruf yang kedua. Sebagai konsekuensi dari idgham, agar tidak menghilangkan asal katanya dan menunjukkan harakat asalnya, maka digunakan metode isymam.


b. Raom atau Ikhtilas artinya membaca cepat dhammah nun yang pertama tanpa meng-idgham-kannya. Sebagian ulama menggunakan redaksi ikhfa’ nun pertama. Sebagian ulama yang lain mengutarakan bahwa cara membaca raom ini dengan sepertiga harakat. Apapun istilahnya, pada intinya cara membaca raom ini adalah dengan membaca cepat dan samar dhammah nun yang pertama sehingga terdengar tidak sempurna sebagaimana lazimnya. 


Kedua metode di atas tidak dapat diterapkan secara sempurna dan benar kecuali dilakukan musyafahah atau talaqqi kepada seorang guru yang berkompeten.


Menurut Abdul Fattah al Mirshafi, wajah ikhtilas adalah “wajah muqaddam” atau wajah yang didahulukan. (al Mirshafi, Hidayat al Qari Ila Tajwid Kalam al Bari/260).


5. Huruf ‘Ain (
كهيعص) pada surat Maryam 1 dan surat al Syura (حم عسق)

 

Pada huruf ‘Ain di atas boleh dibaca panjang empat harakat atau enam harakat. 


6. Lafadz 
فرق (asy-Syu’ara: 63).

 

Dalam riwayat Imam Hafs, huruf ra’ sukun yang berada di tengah-tengah antara harakat kasrah dan huruf isti’la’ boleh dibaca dengan dua cara; tipis atau tebal. Dibaca tebal karena melihat adanya huruf isti’la’ yang jatuh setalah huruf ra’. Sementara itu, dibaca tipis karena melihat pada harakat kasrah huruf isti’la’ sehinga tingkat kekuatan isti’la’ menjadi rendah karena diapit oleh dua harakat kasrah. Dalam hal ini, para ulama memilih bacaan tipis lebih diutamakan. Kedua wajah bacaan tersebut berlaku ketika dibaca washal. 


Namun apabila berhenti pada lafadz (
فرق), maka ulama memerinci sebagaimana berikut;


Apabila mengikuti pendapat bahwa huruf ra’ dibaca tebal ketika washal, maka ketika waqaf hanya boleh dibaca tebal, dan apabila mengikuti pendapat bahwa huruf ra’ dibaca tipis ketika washal maka ketika berhenti boleh dibaca dua; tebal dan tipis.(al Mirshafi, Hidayat al Qari Ila Tajwid Kalam al Bari/125).


7. Lafadz (
آتان) surat al Naml 36.

 

Objek utama dalam lafadz tersebut adalah antara menetapkan huruf ya’ setelah huruf nun atau membuangnya ketika waqaf (berhenti).


Dalam riwayat Imam Hafs, ketika waqaf pada lafadz di atas boleh dibaca dua wajah; menetapkan ya’ atau membuang ya’. Menetapkan ya’ artinya membaca kasrah nun dan membaca panjang dua harakat (aataanii) layaknya mad thabi’i. Membuang huruf ya’ artinya membaca sukun huruf nun (aataan).


8. Lafadz (
ضعفا، ضعف) pada surat al Rum 54.

 

Pada lafadz di atas, huruf dhad boleh dibaca fathah atau dhammah. Bacaan fathah didahulukan dalam talaqqi. (al-Mirshafi, Hidayat al Qari Ila Tajwid Kalam al Bari: 260).


Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa hanya dalam bacaan ini Imam Hafs dan gurunya sekaligus ayah tirinya berbeda. Meskipun berbeda, kedua bacaan tersebut adalah bacaan yang shahih yang bersumber dari Nabi Muhammad saw,.


9. Lafadz (
الاسم) al Hujurat 11.

 

Dalam lafadz ini, semua ulama qira’at membaca Naql (memindahkan harakat hamzah kepada huruf sebelumnya, yaitu lam). 


Dalam riwayat Imam Hafs, ketika memulai membaca dari lafadz tersebut, maka boleh memilih salah satu dari dua wajah berikut; 

 

Pertama, membaca fathah hamzah dan membaca kasrah lam (Alismu).

Kedua, membuang huruf hamzah dan memulai dari huruf lam kasrah (lismu).

Kedua bacaan di atas adalah bacaan shahih dan benar, namun wajah yang pertama lebih diutamakan dalam talaqqi karena sesuai dengan penulisan rasm ustmani.


10. Lafadz (
المصيطرون) surat al Thur 37.

 

Dalam ayat tersebut, huruf shad boleh dibaca dengan huruf shad sebagaimana yang tertulis (: 28المصيطرون – al Mushشithirun), juga boleh diganti dengan huruf sin (المسيطرون – al-Musaithirun). 


11. Lafadz (
مَالِيَهْ (28) هَلَكَ) al Haqqah.

 

Pada kedua ayat di atas, jika dibaca washal maka boleh dibaca dengan dua cara; idhhar atau idgham.


Cara membaca idhhar: membaca sukun huruf ha’ dengan berhenti sejenak tanpa nafas (saktah latifah). Dalam hal ini, bacaan idhhar tidak akan tampak kecuali dengan berhenti sejenak. Sedangkan cara membaca idgham ialah memasukkan huruf ha’ yang pertama ke huruf ha’ yang kedua tanpa berhenti. Menurut ulama bacaan idhhar didahulukan dalam talaqqi.


12. Lafadz (
سلاسلا) surat al Insan 4.

 

Dalam riwayat Imam Hafs, ketika berhenti pada ayat di atas, boleh dibaca dengan dua wajah; menetapkan alif atau membuangnya. 


Menetapkan alif artinya membaca panjang huruf lam yang kedua (Salaasilaa), membuang alif artinya membaca sukun pada huruf lam yang kedua (
سalaasil).

 

13. Lafadz (نخلقكم) surat al Mursalat 20.

 

Dalam lafadz di atas boleh dibaca dengan idgham kamil atau idgham naqis. Idgham kamil artinya meng-idgham-kan huruf qaf kepada huruf kaf secara sempurna. Sedangkan idgham naqis artinya menampakkan sifat isti’la’ huruf qaf terlebih dahulu (tanpa qalqalah) dan meng-idgham-kanya ke dalam huruf kaf. Dikatakan iqgham naqis karena huruf qaf adalah huruf yang kuat sedangkan huruf kaf tidak sekuat huruf qaf. Dalam kaidah ilmu tajwid, huruf yang kuat tidak bisa meng-idgham-kan huruf yang tidak kuat. Imam Ibnu al Jazari mengatakan bahwa membaca idgham kamil lebih diutamakan. []

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, Ustadz Moh. Fathurrozi, Founder Al-Qur’an Khairu Jalis; pegiat kajian ilmu qiraat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar