Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita seringkali dipertemukan dengan bermacam-macam orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Tidak jarang pula diantara mereka ada yang menunjukkan sikap baik kepada kita dengan memberikan beberapa hadiah berupa barang atau makanan untuk menunjukkan komitmen ingin dikenal baik oleh kita.
Namun sebagai seorang muslim yang penuh kehati-hatian, terkadang kita memilih
untuk selektif dalam menerima berbagai pemberian dari orang lain. Kita ingin
barang atau makanan yang diberikan oleh orang lain pada kita dapat terjamin
kehalalannya. Sekiranya pemberian tersebut didapatkan dari sumber yang halal,
bukan dari proses yang diharamkan oleh syara’.
Berangkat dari sudut pandang demikian, tidak heran jika kita memilih untuk
bertanya terlebih dahulu kepada pemberi tentang status barang atau makanan yang
diberikan pada kita. Sudahkah makanan tersebut halal? Apakah benda ini
didapatkan dengan cara yang halal? pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi
sangat relevan tatkala terbesit dalam hati kita rasa curiga terhadap orang yang
memberikan barang atau makanan tersebut.
Dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas rasanya dapat membuat
hilangnya keraguan dan kebimbangan pada diri kita atas status pemberian dari
orang lain.
Namun di samping itu, sebenarnya bagaimana tinjauan syara’ berkaitan dengan hal
ini? Kapan sebenarnya dianjurkan bertanya tentang status kehalalan sebuah
makanan yang diberikan oleh orang lain?
Sebelum menjawab secara langsung tentang poin pertanyaan di atas, baiknya kita
simak Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat Ayat 11 berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka buruk,
sesungguhnya sebagian prasangka buruk itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian
yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 11)
Ayat di atas menegaskan larangan berburuk sangka terhadap orang lain. Dalam
salah satu hadits bahkan disebutkan secara tegas larangan mencari pembenaran
atas sikap buruk sangka kita pada orang lain:
إذا
ظَنَنْتَ فَلَا تُحَقِّقْ
Artinya, “Apabila kamu berburuk sangka, maka janganlah kamu nyatakan (mencari
pembenaran),” (HR Thabrani).
Dari dua dalil di atas dapat kita pahami bahwa melontarkan pertanyaan tentang
kehalalan suatu makanan hasil pemberian dari orang lain, apabila berangkat dari
berburuk sangka adalah hal yang dilarang dalam hukum syara’.
Lebih rinci lagi, Imam Al-Ghazali menyebut bahwa hukum menanyakan pada orang
lain tentang kehalalan sebuah makanan disesuaikan dengan dua hal, yakni keadaan
orang yang memberi makanan dan wujud makanan itu sendiri. Menanyakan kehalalan
makanan menurutnya, ada kalanya wajib, haram, sunnah dan makruh. Berikut
penjelasan secara rinci berkaitan dengan hal ini:
(فَرْعٌ)
قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ إذَا قَدَّمَ لَك إنْسَانٌ طَعَامًا
ضِيَافَةً أَوْ أَهْدَاهُ لَك أَوْ أَرَدْت شِرَاءَهُ مِنْهُ وَنَحْوَ ذَلِكَ لَمْ
يُطْلَقْ الْوَرَعُ فَإِنَّك تَسْأَلُ عَنْ حِلِّهِ وَلَا يُتْرَكُ السؤال قَدْ
يَجِبُ وَقَدْ يَحْرُمُ وَقَدْ يَنْدُبُ وَقَدْ يكره وضابطه مَظِنَّةَ السُّؤَالِ
هِيَ مَوْضِعُ الرِّيبَةِ
Artinya, “(Cabang Permasalahan) Imam al-Ghazali berkata dalam kitab Ihya’:
“Ketika ada seseorang yang menyuguhimu sebuah makanan atau memberikan makanan
kepada kamu, atau engkau hendak membeli makanan kepadanya serta keadaan
sesamanya, maka sikap wira’i tidak berlaku secara mutlak dalam hal ini dengan
cara engkau selalu menanyakan kehalalan makanan tersebut dan tidak pernah
meninggalkan pertanyaan (tentang status kehalalan makanan pada pemberi). Tapi
bertanya tentang status makanan ada kalanya wajib, haram, sunnah dan makruh.
Batasannya bahwa pertanyaan dilontarkan disesuaikan dengan keadaan di mana
seseorang merasa ragu (terkait status makanan tersebut).”
وَلَهَا
حَالَانِ (أَحَدُهُمَا) يَتَعَلَّقُ بِالْمَالِكِ (وَالثَّانِي) بِالْمِلْكِ
(أَمَّا) الْأَوَّلُ فَالْمَالِكُ ثَلَاثَةُ أَضْرُبٍ (الضَّرْبُ الْأَوَّلُ) أَنْ
يَكُونَ مَجْهُولًا وَهُوَ مَنْ لَيْسَ فِيهِ عَلَامَةٌ تَدُلُّ عَلَى طِيبِ
مَالِهِ وَلَا فَسَادِهِ فَإِذَا دَخَلْت قَرْيَةً فَرَأَيْت رَجُلًا لَا تَعْرِفُ
مِنْ حَالِهِ شَيْئًا وَلَا عَلَيْهِ عَلَامَةُ فَسَادِ مَالِهِ وَشَبَهِهِ
كَهَيْئَةِ الْأَجْنَادِ وَلَا عَلَامَةُ طِيبَةٍ كَهَيْئَةِ الْمُتَعَبِّدِينَ
وَالتُّجَّارِ فَهُوَ مَجْهُولٌ - وَيَجُوْزُ الشِّرَاءُ مِنْ هَذَا الْمَجْهُولِ
وَقَبُولُ هَدِيَّتِهِ وَضِيَافَتِهِ وَلَا يَجِبُ السُّؤَالُ بَلْ لَا يَجُوزُ
وَالْحَالَةُ هَذِهِ لِأَنَّهُ إيذَاءٌ لِصَاحِبِ الطَّعَامِ فَإِنْ أَرَادَ الورع
فليتركه وان كان لابد مِنْ أَكْلِهِ فَلِيَأْكُلْ وَلَا يَسْأَلْ فَإِنَّ
الْإِقْدَامَ عَلَى تَرْكِ السُّؤَالِ أَهْوَنُ مِنْ كَسْرِ قَلْبِ مُسْلِمٍ
وَإِيذَائِهِ
Artinya, “Dalam hal ini ada dua keadaan. Pertama, berhubungan dengan pemilik
makanan (yang hendak memberikan atau menjual makanan tersebut pada kita).
Kedua, berhubungan dengan makanan tersebut. Keadaan pertama secara umum terbagi
menjadi tiga pembagian:
Pertama, pemberi makanan tidak diketahui identitasnya, yakni orang yang tidak
ditemukan tanda-tanda kehalalan hartanya dan tidak ditemukan tanda rusaknya
(haramnya) hartanya. Ketika engkau masuk di sebuah desa, lalu engkau melihat
seorang lelaki yang tak kau ketahui identitas apapun darinya dan tidak
ditemukan tanda keharaman hartanya, seperti pada keadaan bala tentara. Serta
tidak ditemukan tanda kehalalan hartanya, seperti keadaan orang-orang yang ahli
ibadah dan para pedagang. Maka orang dalam keadaan demikian disebut orang yang
majhul.
Boleh melakukan transaksi pembelian dengan orang dalam kategori ini, begitu
juga menerima hadiah dan menerima suguhan darinya. Dan tidak wajib bertanya
tentang hartanya, bahkan melontarkan pertanyaan dalam keadaan demikian tidak
diperbolehkan, sebab akan menyakiti hati pemilik makanan.
Jika orang yang berkomunikasi dengannya memilih jalan wira’i (kehati-hatian)
maka hendaknya menjauhi makanan darinya. Jika ia berada dalam keadaan mendesak,
maka boleh memakan pemberian darinya dan hendaknya tidak menanyakan status
makanan tersebut. Sebab bersikap untuk tidak bertanya lebih mudah dari pada
menyakiti hati seorang muslim.”
(الضَّرْبُ
الثَّانِي) أَنْ يَكُونَ مَشْكُوكًا فِيهِ بِأَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ دَلَالَةٌ
تَدُلُّ عَلَى عَدَمِ تَقْوَاهُ كَلِبَاسِ أَهْلِ الظُّلْمِ وَهَيْئَاتِهِمْ أَوْ
تَرَى مِنْهُ فِعْلًا مُحَرَّمًا تَسْتَدِلُّ بِهِ عَلَى تَسَاهُلِهِ فِي الْمَالِ
فَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ يَجُوزُ الْأَخْذُ مِنْهُ مِنْ غَيْرِ سُؤَالٍ وَلَا
يَحْرُمُ الْهُجُومُ بَلْ السُّؤَالُ وَرَعٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ لَا
يَجُوزُ الْهُجُومُ وَيَجِبُ السُّؤَالُ قَالَ وَهُوَ الَّذِي نَخْتَارُهُ
وَنُفْتِي بِهِ إذَا كَانَتْ تِلْكَ الْعَلَامَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَكْثَرَ
مَالِهِ حَرَامٌ فَإِنْ دَلَّتْ عَلَى أَنَّ فِيهِ حَرَامًا يَسِيرًا كَانَ
السُّؤَالُ وَرَعًا
Artinya, “Kedua, pemberi makanan adalah orang yang diragukan kehalalan
hartanya. Seperti ditemukan tanda ketidak takwaannya, seperti ia mengenakan
pakaian orang-orang yang zalim dan bertingkah laku layaknya mereka, atau engkau
melihat ia melakukan perbuatan haram yang merupakan indikasi atas sikap
meremehkannya dalam persoalan harta. Maka dalam keadaan demikian mungkin untuk
dikatakan bahwa boleh mengambil makanan dari orang tersebut tanpa menanyakan
padanya (tentang kehalalan makanan tersebut) terlebih dahulu dan tidak haram
untuk langsung mengonsumsinya, bahkan menanyai keadaan makanan tersebut adalah
sikap wira’i.”
Mungkin pula untuk dikatakan bahwa tidak boleh langsung mengonsumsinya dan
wajib menanyai padanya terlebih dahulu.
Imam Ghazali berkata bahwa kemungkinan hukum kedua ini adalah yang kami pilih
dan akan kami fatwakan ketika ditemukan pertanda bahwa hartanya yang paling
dominan berupa harta haram. Jika ditemukan pertanda bahwa harta haramnya hanya
sedikit, maka menanyai status makanan yang akan diberikan adalah bentuk sikap
wira’i.
(الضَّرْبُ
الثَّالِثُ) أَنْ يَعْلَمَ حاله بِمُمَارَسَةٍ وَنَحْوِهَا بِحَيْثُ يَحْصُلُ لَهُ
ظَنٌّ فِي حِلِّ مَالِهِ أَوْ تَحْرِيمِهِ بِأَنْ يَعْرِفَ صَلَاحَ الرَّجُلِ
وَدِيَانَتِهِ فَهُنَا لَا يَجِبُ السُّؤَالُ وَلَا يَجُوزُ أَوْ يَعْرِفَ أَنَّهُ
مُرَابٍ أَوْ مُغَنٍّ وَنَحْوُهُ فَيَجِبُ السُّؤَالُ
Artinya, “Ketiga, diketahui dengan penulusuran (pada hartanya) dan sesamanya.
Sekiranya muncul dugaan kuat atas kehalalan hartanya atau keharaman hartanya.
Seperti diketahui kesalehan dan ketaatan lelaki tersebut pada ajaran agama,
maka dalam keadaan demikian tidak wajib bahkan tidak boleh menanyai status makanan
pemberian itu padanya. Atau diketahui bahwa lelaki tersebut adalah orang yang
meragukan (ajaran Agama) atau seorang penyanyi (yang haram) serta profesi
sesamanya maka wajib menanyai keadaan makanan yang diberikannya.”
(الْحَالُ
الثَّانِي) أَنْ يَتَعَلَّقَ الشَّكُّ بِالْمَالِ بِأَنْ يَخْتَلِطَ حَلَالٌ
بِحَرَامٍ كَمَا إذَا حَصَلَ فِي السُّوقِ أَحْمَالُ طَعَامٍ مَغْصُوبٍ
وَاشْتَرَاهَا أَهْلُ السُّوقِ فَلَا يَجِبُ السُّؤَالُ عَلَى مَنْ يَشْتَرِي مِنْ
تِلْكَ السُّوقِ إلَّا أَنْ يَظْهَرَ أَنَّ أَكْثَرَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ حَرَامٌ
فَيَجِبُ السُّؤَالُ وَمَا لَمْ يَكُنْ الْأَكْثَرُ حَرَامًا يَكُونُ التَّفْتِيشُ
وَرَعًا لِأَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَمْ يَمْتَنِعُوا مِنْ
الشِّرَاءِ مِنْ الْأَسْوَاقِ وَكَانُوا لَا يَسْأَلُونَ فِي كُلِّ عَقْدٍ وَإِنَّمَا
نُقِلَ السُّؤَالُ عَنْ بَعْضِهِمْ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لِرِيبَةٍ كَانَتْ
Artinya, “Keadaan Kedua, keraguan muncul pada harta (yang diberikan). Dengan
gambaran harta yang halal bercampur dengan harta yang haram. Seperti halnya di
pasar ada tumpukan makanan hasil ghasab, lalu orang-orang pasar membeli
tumpukan makanan itu, maka orang yang membeli di pasar itu tidak wajib bertanya
(tentang status barang/makanan yang ia beli), kecuali tampak tanda-tanda bahwa
mayoritas harta yang mereka miliki adalah harta haram, maka wajib untuk
bertanya. Dan ketika mayoritas harta mereka bukan harta haram, maka meneliti
harta atau makanan (yang akan dibeli) adalah bentuk sikap wira’i, sebab Para
Sahabat tidak membatasi diri mereka dari berbelanja di pasar dan mereka tidak
bertanya (tentang status barang yang akan dibeli) pada setiap akad. Melontarkan
pertanyaan hanya dinukil dari sebagian sahabat dalam beberapa keadaan karena
adanya keraguan (dari mereka)” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’
‘ala Syarh al-Muhadzab, juz IX, halaman 345).
Dari referensi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa menanyakan tentang
kehalalan makanan pemberian dari orang lain tidak dapat digeneralisir dalam
satu hukum. Tapi sangat ditentukan oleh beberapa faktor.
Menanyakan status makanan bisa saja wajib ketika muncul keraguan pada hati kita
karena pemberi dikenal oleh kita sebagai orang yang terbiasa melakukan maksiat
atau tidak taat pada ajaran Agama dan hartanya didapatkan dengan cara yang
haram seperti dengan mencuri, menipu dan lain sebagainya. Bisa pula berimbas
pada hukum haram, ketika pemberi adalah orang yang terkenal sebagai orang yang
taat beribadah dan hartanya didapatkan dari pekerjaan yang halal.
Bisa pula dihukumi makruh ketika kita tidak mengenalnya dan tidak ditemukan
tanda-tanda kehalalan ataupun keharaman dari hartanya. Dan bisa pula dihukumi
sunnah ketika hartanya bercampur antara yang halal dan haram, namun harta yang
haram miliknya hanya sedikit.
Hal yang dapat dapat dijadikan parameter dalam menentukan kapan kita menanyakan
kehalalan makanan pemberian adalah hati kita. kapan kita merasa ragu pada
makanan tersebut karena pemberi secara penampilan atau kepribadian tampak
seperti bukan orang baik maka sebaiknya kita menanyakan kehalalan makanan
tersebut padanya.
Sebaliknya, jika hati kita tidak memunculkan rasa ragu, atau muncul rasa ragu
tapi tanpa berdasarkan pijakan yang jelas, maka tidak dianjurkan baginya untuk
bertanya. Berkaitan dengan hal ini, dalam kitab Mauidzhat al-Mu’minin yang
merupakan ringkasan kitab Ihya’ Ulumiddin menjelaskan:
أن
المطلوب ثقة النفس والمفتى هو القلب في مثل هذا الموضع وللقلب التفاتات إلى قرائن
خفية يضيق عنها نطاق النطق فليتأمل فيه فإذا اطمأن القلب كان الإحتراز حتما واجبا
اهـ
Artinya, “Hal yang dijadikan pijakan adalah kemantapan diri dan hal yang
dijadikan pijakan fatwa adalah hati dalam persoalan ini. Hati tentu dapat
mempertimbangkan beberapa pertimbangan berdasarkan pertanda-pertanda yang samar
dan tidak dapat dijelaskan oleh oleh ucapan, angan-anganlah hal ini. Ketika
hati sudah mantap (atas kehalalan makanan) maka menjaga (untuk tidak bertanya)
adalah hal yang pasti dan wajib” (Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi,
Mauidzhat al-Mu’minin, [Beirut, Darul Kutub al-‘ilmiyyah: 1995 M], halaman
124). Wallahu a’lam. []
Ustadz M Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah,
Kaliwining, Rambipuji, Jember, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar