Perintah berbakti, bersyukur, serta berbuat baik kepada ayah dan ibu sangat jelas dalam Al-Quran dan Sunah. Begitu pun larangan membangkang, durhaka, serta bersikap kasar kepada keduanya. Antara lain dalam surat an-Nisa’ dan al-Isra berikut ini, Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, (QS. an-Nisa’ [4]: 36).
Hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya
atau keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan
sekali-kali engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan
yang baik, (QS. al-Isra’ [17]: 23).
Ibnu Abbas menjelaskan, maksud berbuat baik di sana adalah bersikap ramah dan
lemah lembut, tidak bersikap kasar, tidak memberi menyinggung perasaan, tidak
menajamkan pandangan, tidak membentak, dan seterusnya. Dengan kata lain,
seorang anak harus menunjukkan sikap rendah hati dan penuh hormat saat berada
di hadapan kedua orangnya. Sopan dalam berbicara dan santun dalam bersikap.
Masih menurut Ibnu ‘Abbas, ada tiga ayat yang turun disandingkan dengan tiga
perkara lainnya, salah satunya adalah ayat perintah syukur kepada Allah yang
disandingkan dengan perintah syukur kepada kedua orang tua.
Dua perkara itu tidak dapat dipisahkan. Artinya, Allah tidak akan menerima
syukur seorang hamba selama hamba tersebut tidak bersyukur kepada dua orang
tuanya. Karena itu, pantas Rasulullah saw mengatakan dalam haditsnya, “Ridha
Allah berada pada ridha dua orang tua, murka-Nya ada pada murka keduanya.”
(Lihat: Syekh Zainuddin al-Malaibari, Irsyadul-‘Ibad, halaman 91).
Terlebih syariat menetapkan, kedudukan ibu tiga kali lebih tinggi daripada
kedudukan ayah. Hal ini bukan berarti kita boleh menyepelekan ayah, melainkan
sosok ibu harus jauh lebih disayang dan diperhatikan dibanding ayah. Pertama,
mengingat ibu adalah seorang perempuan yang secara fisik tidak sekuat ayah;
kedua mengingat ibu adalah sosok yang paling sayang, paling perhatian, dan
paling direpotkan oleh anaknya.
Sehingga, durhaka kepada orang tua, terutama kepada ibu, ditetapkan balasannya
sebagai salah satu dosa besar dan menjadikan amal yang lain sia-sia,
sebagaimana dalam hadits Rasulullah saw.:
ثَلَاثَةٌ
لَا يَنْفَعُ مَعَهُنَّ عَمَلٌ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ،
وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ
Artinya: Tiga perkara yang membuat suatu amal tidak bermanfaat bersama
ketiganya, yaitu (1) menyekutukan Allah, (2) durhaka kepada orang tua, (3) lari
dari peperangan,” (HR. ath-Thabrani).
Dalam hadits berikutnya, disebutkan bahwa orang yang durhaka kepada orang tua
termasuk tiga dari golongan yang diharamkan masuk surga, “Tiga golongan yang
diharamkan Allah masuk surga, yaitu pecandu khamr, orang durhaka kepada orang
tua, dan orang yang dayuts,” (HR An-Nasa’i dan al-Hakim).
Bahkan, lebih berat lagi, balasan orang yang durhaka kepada orang tua
disegerakan di dunia sebelum kematiannya. Bentuknya tentu bermacam-macam,
seperti disempitkan jalan rezeki, dijauhkan dari keberkahan, diliputi berbagai
petaka serta kesedihan, dan sebagainya. Itu terekam jelas dalam hadits
Rasulullah saw.:
كُلُّ
الذُّنُوبِ يُؤَخِّرُ اللَّهُ مِنْهَا مَا شَاءَ إِلَّا الْبَغْيَ وَقَطِيعَةَ
الرَّحِمِ يُعَجِّلُهُ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ قَبْلَ الْمَمَاتِ
Artinya: Semua dosa diakhirkan balasannya oleh Allah sesuai kehendak-Nya
kecuali dosa durhaka kepada orang tua. Dia akan menyegerakan balasan tersebut
kepada pelakunya di dunia sebelum kematiannya, (HR Al-Hakim).
[]
Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah
Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin”
Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar