Peringatan hari lahir (harlah) biasanya dijadikan sebagai momentum untuk merefleksikan perjalanan hidup seorang individu maupun sebuah kelompok. Begitu pula bagi kader dan alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dalam momen harlah kerap diisi dengan refleksi kiprah PMII, baik dilakukan dengan diskusi maupun menuliskannya dalam sebuah catatan atau bahkan buku.
Beberapa buku memuat judul dengan menyebutkan peringatan tahun, sebagai penanda
usia PMII kala buku itu ditulis. Semisal Lima Tahun Sejarah Perjalanan PMII (PP
PMII, 1965), Almanak Sewindu PMII (PC PMII Ciputat, 1968), Fragmen Seperempat
Abad PMII (DSC PMII Surakarta, 1985), dan lain sebagainya. Namun, sebagian lagi
tidak secara langsung menyebutkannya pada judul, seperti buku yang ditulis pada
peringatan harlah PMII ke-30, berjudul Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan
Persepsi.
Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (Majalah NU Aula, 1991)
Sampul yang didominasi warna kuning dan biru, senada dengan warna logo
organisasi yang dibentuk pada tanggal 17 April 1960 itu, seolah membuat
penegasan bahwa buku ini memang ditulis untuk membahas PMII. Penyusunnya adalah
dua alumni PMII, yang juga jurnalis, A Effendy Choirie dan Choirul Anam.
Pada halaman sampul juga memuat gambar seorang pria yang tengah menenteng buku,
pena besar, dan juga perisai besar (logo) PMII. Entah apa maksud dari
pembuatnya. Barang kali hendak mengilustrasikan betapa PMII yang kala itu,
semakin beranjak besar dan dewasa. Sebesar badan pria dewasa tersebut.
Ketua PP PMII yang pertama, H Mahbub Djunaidi didapuk untuk memberikan kata
pengantar. Melalui esai berjudul PMII: Belajar dan Berpolitik, Mahbub mengawali
tulisannya dengan kalimat: “Dengan membaca pelbagai pendapat yang tercantum
dalam buku ini, akan jelaslah bagi kita betapa aneka ragam pandangan dan
langkah-langkah yang sudah dilakukan PMII, sejak ia lahir 30 tahun lalu.”
Ia mencontohkan, berbagai perbedaan pendapat tersebut semisal ketika membincang
soal independensi PMII. “Sejak independensi 1973, masih saja jadi persoalan apa
manfaatnya PMII melepaskan diri dari NU dan apakah tidak lebih baik jika PMII
kembali melepaskan independensinya, pada saat NU tidak lagi berpolitik seperti
sekarang?”
Dalam tulisan tertanggal 1 Juni 1990 tersebut, Mahbub juga menyinggung soal
pentingnya keseimbangan antara belajar dan berpolitik bagi kader PMII.
“Berpolitik di sini berarti bermasyarakat, mengamati apa yang terjadi di
sekitar dan punya keberanian untuk bersuara membela yang benar!” tegasnya.
Deklarator PMII, H A Chalid Mawardi dalam esai berjudul PMII dan Cita-cita NU turut menyinggung soal independensi serta potensi PMII, yang kian tahun kian membesar, baik dari segi kuantitas anggota maupun persebarannya di berbagai kampus. Namun, ia di sisi lain mengingatkan akan bahaya snobisme intelektual, yakni kecenderungan dari para intelektual yang memilih menjauh dari masyarakat.
“Sebab, apabila sikap mengasingkan diri dari lingkungan NU dilakukan generasi
muda nahdliyin yang berpendidikan tinggi, maka harapan-harapan besar bagi
peranan mereka untuk memodernisir NU, sebagaimana dinyatakan pada waktu PMII
dilahirkan, akan tersia-siakan dan NU akan kehilangan grip terhadap potensi
pembaharuannya sendiri,” kata Chalid.
Senada dengan Mahbub dan Chalid, Ketua Umum PBNU kala itu, KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), dalam tulisan berjudul PMII dan Prioritas Program NU menyampaikan
beberapa hal untuk kader PMII.
Gus Dur menjelaskan beberapa transformasi zaman yang sudah, sedang, dan akan
dihadapi oleh Nahdliyin. Tahapan transformasi tersebut yakni sosial ekonomi,
kemudian sosial politik yang dimulai pada momentum Muktamar NU di Banjarmasin
tahun 1936 dan berakhir pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun1984, ketika NU
menyatakan kembali ke khittah 1926.
Sedangkan tahap transformasi ketiga, yakni transformasi sosial ekonomi, yang
menurut Gus Dur diawali setelah Muktamar ke-28 di Yogyakarta di penghujung
tahun 1989, yang kemudian akan segera disusul dengan transformasi keempat: ilmu
pengetahuan dan teknologi.
"Dalam konteks ini, PMII bisa menolong NU. Dalam segenap aspek kehidupan
transformasi yang digalakkan NU. PMII sudah tidak selayaknya selalu memikirkan
masalah-masalah yang global atau yang terlalu makro. Bahkan telah saatnya
meninggalkan cara-cara kerja seperti partai politik," kata Gus Dur.
Di akhir tulisan berjumlah empat halaman tersebut Gus Dur kembali berpesan
kepada kader PMII, agar tidak takut menjadi ‘Penganggur Intelektual’ serta
keterkaitan PMII dengan NU. Menurutnya PMII bisa menolong NU dan di NU banyak
yang bisa dilakukan.
"Dulu, ketika NU menjadi partai politik, ia banyak menjanjikan kursi di
DPR. Tapi, setelah kembali ke khittah 1926, NU menyediakan lapangan di bidang
lain, bukan lagi kursi DPR. Dan lapangan itu seluas dan selebar kehidupan masyarakat
dan bangsa Indonesia," tuturnya.
Tiga Bab
Secara isi, buku yang diterbitkan oleh Penerbit Majalah NU AULA ini berjumlah
140 halaman dan dibagi menjadi tiga bab. Bab pertama berisi Dokumen Historis
PMII, kemudian bab kedua memuat sejarah singkat PMII dari masa ke masa,
terutama susunan pengurus pada pengurus pusat/besar. Sedangkan pada bab ketiga
termaktub kumpulan tulisan dari berbagai tokoh. Sangat mirip formatnya dengan
buku Almanak Sewindu PMII.
Selain Mahbub, para ketua PB PMII dari masa ke masa, juga turut menyumbangkan
pemikirannya. H M Zamroni menuliskan artikel berjudul PMII dan Proses Orde
Baru, H M Abdullah Paddare (PMII dan Konsolidasi KNPI), H Ahmad Bagdja (PMII
dan Kelompok Cipayung), H Muhyiddin Arubusman (PMII, Mahasiswa, dan Perguruan
Tinggi).
Kemudian beberapa tokoh lainnya, seperti KH Masdar Farid Mas’udi, H Ridwan
Saidi, Fachry Ali, Didiet Haryadi juga turut menuliskan pandangannya,
masing-masing melalui artikel berjudul PMII dan Perlunya Logika Baru; HMI,
PMII, dan Independensi; Pertumbuhan Kaum Santri; dan PMII dan Pemuda Indonesia.
Sebetulnya, buku PMII dengan format antologi tulisan pemikiran para tokoh ini
bukanlah yang pertama. Pada tahun 1968, PMII Ciputat sudah mengawalinya dengan
menerbitkan buku Almanak Sewindu PMII. Kemudian dua tahun sebelum momen harlah
ke-30 PMII, Muhammad Fajrul Falaakh dkk menuliskan buku Bunga Rampai Citra Diri
PMII (Yayasan Putra Nusantara, 1988). []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar