Menjaga dan melestarikan lingkungan berupa ruang hidup bersama (atau biasa dikenal dengan istilah ruang publik) sejatinya kewajiban seluruh elemen masyarakat secara umum dan para pengambil kebijakan secara khusus. Hal ini tak lain karena kenyamanan lingkungan akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Pun demikian sebaliknya, ketidaknyamanan di ruang publik akan berdampak dan dirasakan langsung oleh semua masyarakat.
Pada zaman seperti sekarang, kesadaran untuk menjaga lingkungan menjadi
tantangan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam kota-kota
besar, contohnya, kemacetan lalu lintas telah menjadi kenyataan hidup
sehari-hari. Karena sudah menjadi kebiasaan, kemacetan lalu lintas kerap tidak
dianggap sebagai masalah serius yang berkaitan dengan lingkungan.
Begitu juga dengan persoalan banjir. Pada musim hujan, tempat-tempat yang
awalnya tampak angkuh dan megah, tak jarang berubah menjadi kolam air yang
disertai dengan tumpukan sampah yang sangat mengganggu pemandangan dan
kesehatan. Bahkan jalan-jalan yang lebar dan asri pun berubah menjadi
selokan-selokan besar yang mengulari perkotaan.
Sementara di sisi lain, pembangunan terus digalakkan hampir di semua sudut
kota. Pelbagai macam alat-alat berat terus beroperasi di mana-mana untuk
menciptakan gedung-gedung mewah atau mengeruk aneka macam kekayaan alam.
Sebagai pemegang amanah dari rakyat dan kekuasaan, pemerintah di semua lapisannya
merupakan pihak yang terkait langsung dengan pelestarian atau pun penjagaan
lingkungan. Dengan kata lain, pemerintah harus berada di barisan terdepan dalam
upaya menciptakan lingkungan yang bermaslahat bagi semua elemen
masyarakat. Yaitu melalui tata kota yang terencana, terukur, dan memerhatikan
kemaslahatan bersama.
Dalam perspektif Islam, kebijakan pemerintah atau seorang pemimpin harus
memerhatikan kemaslahatan masyarakat. Karena kemaslahatan masyarakat merupakan
salah satu tujuan utama dan terutama dari sebuah kepemimpinan ataupun
pemerintahan. Inilah yang dalam kaidah hukum Islam (fikih) dikenal dengan
istilah
تَصَرُّفُ
اْلامَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
"Kebijakan pemerintah ataupun pemimpin terhadap rakyat atas dasar kemaslahatan
mereka."
Dalam semangat kepemimpinan sebagaimana di atas, kebijakan pemerintah terkait
dengan pembangunan harus dirancang dan dijalankan sesuai dengan kemaslahatan
lingkungan berupa ruang publik. Yaitu dengan perencanaan yang matang dan terukur
terkait dengan tata kota; mana wilayah pembangunan dan mana wilayah serapan.
Pemilahan-pemilahan seperti di atas sangat penting untuk memerhatikan hak-hak
dan fungsi lingkungan. Hingga pada berkembangan berikutnya lingkungan tidak
merampas hak-hak hidup masyarakat dalam bentuk musibah-musibah alam. Allah swt
berfirman:
وَمَانُرْسِلُ
المُرْسَلِيْنَ إِلَّا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ
فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْن (الأنعام: 48)
"Dan Kami tidak mengutus para Rasul kecuali sebagai pembawa kabar gembira
dan peringatan. Maka barangsiapa beriman dan berbuat kemaslahatan, maka bagi
mereka tidak akan takut dan sedih." (Qs. al-An’âm [6]: 48)
Ayat al-Quran di atas menegaskan tentang misi diutusnya para Rasul: tidak lain
untuk membawa kemaslahatan bagi umatnya melalui kabar gembira dan peringatan
yang akan menuntun hidup mereka. Misi yang mulia tersebut dijamin oleh Tuhan
dengan surga di hari akhirat nanti.
Dalam kitab tafsir Mafâtîh Al-Ghayb, Imam ar-Razi menegaskan ayat tersebut
hendak meneguhkan misi kenabian yang di dalamnya menggabungkan antara dimensi
iman dan dimensi kemaslahatan umat. Keduanya merupakan kekuatan yang
mahadahsyat dalam rangka membangun masyarakat yang dicintai Allah swt. Yaitu
masyarakat yang makmur dan mendapatkan berkah-Nya.
Seluruh manusia mempunyai kewajiban yang kurang lebih sama untuk menjaga dan
memerhatikan kemaslahatan lingkungan. Yaitu dengan melakukan hal-hal yang
bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat luas, sekaligus menghindari hal-hal
yang bersifat negatif terhadap lingkungan dan kehidupan bersama.
Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusia, terutama kemaslahatan yang
berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Dalam Islam, gagasan kemaslahatan
dimaksudkan untuk mendorong umatnya agar senantiasa melakukan kebaikan sebanyak
mungkin. Walaupun kebaikan tersebut menyangkut hal-hal yang sederhana.
Dalam sebuah Hadits disebutkan bahwa perbuatan menyingkirkan duri yang dapat
mengganggu orang di jalan merupakan bagian dari keimanan. Sebaliknya, dalam
konteks keburukan disebutkan bahwa seorang yang sengaja mengurung kucing bisa
menyebabkannya masuk neraka.
Prinsip kemaslahatan dalam Islam diabadikan oleh Imam An-Nawawi dalam kumpulan
hadis 40, yang dikenal dengan Hadis al-Arba’în al-Nawawî:
لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الْاِسْلاَمِ
"Tidak ada kemudharatan dan memudharatkan dalam Islam"
Hadits tersebut ingin memastikan, bahwa sebagai umat Islam kita diperintahkan
agar senantiasa melaksanakan sesuatu yang membawa manfaat bagi orang lain.
Sedangkan hal-hal yang membawa dampak bahaya atau kemudaratan hendaknya
dijauhi. Sebab Islam sama sekali tidak menoleransi berbagai tindakan yang
merugikan orang lain.
Dalam konteks seperti ini, membuang sampah pada tempatnya sebagai bagian nyata
dari perhatian terhadap lingkungan mempunyai makna yang sangat penting,
walaupun perbuatan tersebut mungkin tampak sederhana. Dengan membiasakan diri
membuang sampah pada tempatnya, masyarakat sesungguhnya telah berperan besar
dalam upaya menjaga kemaslahatan ruang publik.
Harus diperhatikan bersama, pada awalnya kebiasaan membuang sampah tidak pada
tempatnya mungkin tidak terasa dampaknya. Apalagi sampah tersebut hanyalah
berkas-berkas atau pun hal-hal kecil lainnya.
Namun demikian, tidak ada hal kecil apabila terus dilakukan, apalagi orang lain
kemudian turut melakukannya. Dengan kata lain, membuang sampah ringan tidak
pada tempatnya pada akhirnya akan menimbulkan gunung sampah bila terus
dilakukan. Apalagi perbuatan seperti ini kemudian dilakukan oleh banyak orang.
Tatkala kejahatan yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan sudah
melampaui batas kewajaran, alam pun pada akhirnya membalasnya dalam
bentuk-bentuk musibah yang terjadi. Sebagaimana telah disampaikan, ketika
musibah terjadi, dia tak lagi memerhatikan siapa yang baik atau siapa yang
buruk, siapa yang melakukan sampah tidak pada tempatnya dan siapa yang membuang
sampah pada tempatnya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar