Jika para tokoh agama kita saat ini banyak dituduh sebagai penganut Syiah, pelaku bidah bahkan kerap dikafir-kafirkan, maka hal itu bukanlah perkara baru. Melainkan sudah terjadi jauh sebelumnya. Sejak masa para sahabat, tabiin dan pengikut para tabiin, hingga sampai pada masa kita hari ini. Dan, terus berlangsung entah sampai kapan akhirnya.
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha, pendiri Mazhab Hanafi itu tidak
hanya dituduh sesat dalam pemikiran. Melainkan sampai dituduh sebagai pemeluk
agama Majusi, pengikut Zoroaster (nabi asal Persia) yang mendirikan satu wadah
ajaran spiritual yang kini disebut Zoroastrianisme. Demikian dengan imam
Muhammad bin Idris as-Syafi’i, ia juga menerima tuduhan sebagai penganut ajaran
Musyabbihah, Mu’tazilah dan Rafidhah.
Namun, as-Syafi’i sangat berbeda. Ketika para imam yang lain-termasuk tokoh
agama kita dewasa ini-hanya menerima tuduhan dari golongan sendiri, bahwa
mereka penganut golongan lain. Maka as-Syafi’i waktu itu-di mana tuduhan demi
tuduhan bertubi-tubi menimpanya-tidak hanya mendapat tuduhan dari golongan
sendiri. Tetapi sekaligus diklaim oleh golongan lain bahwa ia penganut ajaran
mereka.
Dan, inilah yang menarik. Kendatipun para pengklaim tersebut terbentang masa
yang cukup jauh dengan as-Syafi’i. Seperti al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad
al-Hamdani al-Mu’tazili (w. 415 H), salah seorang pengikut as-Syafi’i dalam
bidang fikih yang hidup di abad kelima Hijriah.
Berikut beberapa klaim juga argumentasi para pembesar paham Musyabbihah,
Mu’tazilah dan Rafidhah, bahwa as-Syafi’i adalah bagian dari golongan mereka.
Serta pembelaan imam Fakhruddin ar-Rozi dalam menjawab klaim-klaim tersebut.
Dialog menarik ini kami sadur dari Irsyad at-Thalibin ila Manhajil Qawim fi
Bayani Manaqib al-Imam as-Syafi’i (halaman 91-94) karya imam Muhammad bin Umar
bin al-Hasan ar-Razi atau yang terkenal dengan Fakhruddin ar-Razi, penulis
tafsir Mafatihul Ghaib.
Klaim dan Argumentasi Penganut Musyabbihah
Paham Musyabbihah atau Mujassimah adalah satu aliran teologi Islam yang menyerupakan Allah dengan makhluk atau menyifatinya dengan sifat makhluknya. Atau, meyakini bahwa Allah adalah benda atau mempunyai sifat kebendaan. Para ulama paham ini mengklaim bahwa imam as-Syafi’i termasuk ulama yang memiliki paham seperti mereka. Dan, mereka memiliki dua argumentasi atas ini:
Pertama, mengingat, as-Syafi’i adalah orang yang sangat anti terhadap ilmu kalam, sekaligus memiliki atensi besar terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadist. Dan, sedikit pun para penggawa golongan ini tidak mendapatkan riwayat bahwa as-Syafi’i melakukan takwil. Inilah satu dasar yang membuat mereka mengklaim as-Syafi’i sebagai penganut golongan Musyabbihah.
Kedua, karena imam Ahmad bin Hambal termasuk ulama, murid sekaligus penggemar
setia as-Syafi’i yang sangat takzim kepada sang guru. Dan, Ahmad bin Hanbal
adalah orang yang menolak keras upaya tanzih (menyucikan Allah dari kesamaan
sifat dengan makhluk) yang dilakukan mazhab Mutakallimin. Ini tentu
mengindikasikan bahwa as-Syafi’i bagian dari golongan Musyabbihah.
Klaim dan Argumentasi Penganut Mu’tazilah
Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamdani al-Mu’tazili (359-415 H), dalam karya besarnya Thabaqatul Mu’tazilah-seperti yang dikutip ar-Rozi dalam Manaqib al-Imam as-Syafi’i (hal. 92)-mengatakan, bahwa imam Ibrahim bin Abi Yahya al-Muzanni adalah seorang penganut Mu’tazilah murni.
Ia adalah seorang mu’tazili 24 karat. Di antara karyanya adalah al-Mugni fi
Abwabit Tauhidi wal ‘Adli. Demikian dengan imam Muslim bin Khalid az-Zanji yang
belajar teologi kepada seorang mu’tazili bernama syekh Ghilan. Dan, imam
as-Syafi’i adalah murid dari dua ulama tersebut. Fakta inilah yang menjadi
argumentasi bahwa as-Syafi’i bagian dari Mu’tazilah.
Bahkan, sebagian ulama dari kalangan mereka tegas menyatakan bahwa as-Syafi’i
memilih qira’ah (cara baca al-Qur’an) pada beberapa ayat yang mendukung mazhab
Mu’tazilah. Di antaranya:
Pertama, dalam penggalan surah al-A’raf (7:156) yang berbunyi:
قَالَ
عَذَابِيْ أُصِيْبَ بِهِ مَنْ أَشَآءُ
Artinya, “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Kukehendaki.”
Dalam riwayat imam Hafsh, lafal terakhir pada penggalan di atas dibaca Asya’u
(menggunakan huruf syin yang berarti menghendaki). Namun, dalam tuduhan ulama
Mu’tazilah, bahwa as-Syafi’i membaca Asa’a (menggunakan huruf sin yang berarti
berlaku keji) sebagaimana qira’ah mereka. Dan, maknanya tentu jauh berbeda.
Menggunakan huruf sin menyimpan makna bahwa Allah akan mengazab siapa pun yang
selama di dunia pernah berlaku keji. Cara baca ini tentu mendukung paham mereka
bahwa pelaku kejahatan di dunia akan disiksa di akhirat sebagai konsekuensi
dari perbuatannya. Di sinilah keadilan Allah dalam membalas kejahatan dan
mengganjar kebaikan sekalian hamba-Nya.
Berbeda dengan Asya’irah yang melihat dari perpektif yang lain, bahwa siksa dan
nikmat ukhrawi adalah hak prerogatif Allah. Entah akan disiksa atau tidak,
terserah kehendak-Nya yang tidak dapat diturutcampuri oleh sekalian hamba.
Sehingga, golongan kita membacanya dengan huruf syin.
Kedua, terdapat dalam surah al-Qamar (54:49). Berikut redaksinya:
إِنَّا
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Artinya, “Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu sesuai dengan ukuran”.
Riwayat imam Hafsh membaca huruf lam pada lafal Kulla dengan dibaca nashab
(berharakat fathah). Sedang kalangan Mu’tazilah membacanya dengan ikrab rafa’
(berharakat damah). Kedua cara baca ini menyasar makna yang jauh berbeda. Bagi
yang membaca rafa’, berakhir pada rumusan seperti ini:
إنا
كل شيء هو مخلوق لنا فهو بقدر
Artinya, “Sungguh, setiap sesuatu yang mana merupakan makhluk kami, adalah
tercipta sesuai ukuran.”
Dan, tentu rumusan ini tidak bertitik fokus pada bahwa Allah bukan sebagai
pencipta segala sesuau. Karena hanya berbicara tentang makhluk ciptaan-Nya yang
diciptakan sesuai ukuran. Dan, ini sangat mendukung akidah Mu’tazilah bahwa
Allah tidak ikut campur dalam menciptakan hal-hal sederhana seperti aktivitas
memasang sendal, mengikat sepatu, dan lain-lain.
Berbeda jika dibaca nashab. Maka rumusannya menjadi:
إنا
خلقنا كل شيء بقدر
Artinya, “Sungguh, kami menciptakan segala sesuatu sesuai ukuran.”
Rumusan ini akan mengarah pada kesimpulan bahwa Allah menciptakan segala
sesuatu. Bahkan, aktivitas remeh temeh pun masuk dalam ciptaan Allah subhanahu
wa ta’ala.
Klaim dan Argumentasi Pengikut Rafidhah
As-Syafi’i diklaim masuk dalam golongan Rafidhah berawal dari tuduhan Yahya bin Mu’ayyan lantaran pernah membaca salah satu karya as-Syafi’i saat dalam sebuah perjalanan. Dalam karya itu, as-Syafi’i hanya menyebut-nyebut Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Alasan yang lain adalah karena as-Syafi’i pernah berkumpul dengan beberapa ‘Alawiyyin saat berada di Yaman. Dari sinilah muncul klaim bahwa ia bagian dari Syiah Rafidhah.
Pembelaan Fakhruddin Ar-Razi
Terkait klaim bahwa as-Syafi’i penganut Musyabbihah, jelas telah terbantahkan dengan kehadiran klaim Mu’tazilah. Mengingat, Musyabbihah dengan Mu’tazilah adalah dua golongan yang tidak pernah bersatu. Antara ujung timur dan barat.
Mu’tazilah adalah golongan yang berlebihan dalam menyucikan Allah dari segala
yang tidak layak bagi Allah dalam pandangan zahir mereka. Sangat bersilang jauh
dengan Musyabbihah yang terlampau ekstrem dalam menetapkan segala sesuatu bagi
Allah. Hingga akhirnya mereka terjerumus dalam menyamakan sifat Allah dengan
makhluk. Dari ini, jelas klaim kedua golongan tersebut tak dapat
diperhitungkan.
Sedang klaim kelompok Rafidhah sangat mudah tertepis dengan fakta bahwa
as-Syafi’i termasuk ulama yang membenarkan kepemimpinan al-khulafa’
ar-rasyidun, termasuk Sayyidina Ali. Maka menjadi sangat wajar, ketika
menghormati dan mencintai orang-orang yang mencintai salah satu dari
al-khulafa’ ar-rasyidun. Terlebih kepada golongan yang bisa mencintai semuanya.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.
[]
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar
Ngaji Lesehan di Lombok, NTB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar