Telah sama kita ketahui bahwa diskusi atau perdebatan di bidang aqidah merupakan hal yang sangat tidak disukai oleh Nabi Muhammad Saw. Di antara yang paling terkenal ialah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi melarang membicarakan soal takdir.
Abu Hurairah meriwayatkan:
خَرَجَ
عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ
نَتَنَازَعُ فِي الْقَدَرِ فَغَضِبَ حَتَّى احْمَرَّ وَجْهُهُ حَتَّى كَأَنَّمَا
فُقِئَ فِي وَجْنَتَيْهِ الرُّمَّانُ فَقَالَ أَبِهَذَا أُمِرْتُمْ أَمْ بِهَذَا
أُرْسِلْتُ إِلَيْكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا
فِي هَذَا الْأَمْرِ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَلَّا تَتَنَازَعُوا فِيهِ مِنْ
مَجْلِسِهِ
Artinya : “Rasulullah SAW keluar menemui kami sementara kami sedang berselisih
dalam masalah takdir, kemudian beliau marah hingga wajahnya menjadi merah
sampai seakan-akan pipinya seperti buah delima yang dibelah, lalu beliau
bertanya, ‘Apakah kalian diperintahkan seperti ini atau apakah aku diutus
kepada kalian untuk masalah ini? Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum
kalian adalah lantaran perselisihan mereka dalam perkara ini. Karena itu, aku
tekankan pada kalian untuk tidak berselisih dalam masalah ini.’” (HR:
Al-Tirmidzi)
Meskipun demikian, sejarah mencatat bahwa semasa hidup Nabi, pada saat beliau
masih sehat wal afiat, terjadi dua perdebatan tentang aqidah yang di kemudian
hari menciptakan perbedaan pemahaman Aqidah di kalangan umat Islam. Atau dengan
kata lain, perdebatan ini merupakan bibit-bibit munculnya kelompok-kelompok di
luar Ahlusunnah wal Jamaah.
Pertama ialah peristiwa Dzu al-Khuwaisirah. Nama lengkapnya ialah Dzu
al-Khuwaisirah al-Tamimi. Ia merupakan seorang muslim pedesaan yang merasa
dirinya lebih baik dari Rasulullah Saw. hingga berani menyuruh Nabi untuk
berbuat adil. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi sedang membagi-bagikan harta
rampasan (ghanimah) pasca perang Hunain. Dalam Shahih Bukhari diceritakan:
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا، فَقَالَ ذُو الخُوَيْصِرَةِ، رَجُلٌ
مِنْ بَنِي تَمِيمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ، قَالَ: «وَيْلَكَ، مَنْ
يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ» فَقَالَ عُمَرُ: ائْذَنْ لِي فَلْأَضْرِبْ
عُنُقَهُ، قَالَ: «لاَ، إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا، يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ
مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ
كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ
Artinya: “Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu, dia berkata;
"Ketika kami sedang bersama Rasulullah Saw. yang sedang membagi-bagikan
pembagian (harta rampasan), datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari
Bani Tamim, lalu berkata; "Wahai Rasulullah, engkau harus berlaku
adil". Maka beliau berkata: "Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat
adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami
keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil". Kemudian 'Umar
berkata; "Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!.
Beliau berkata: "Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki
teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding
shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur'an namun
tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya
anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari)
Pelanggaran yang yang dilakukan oleh Dzu al-Khuwaisirah ini secara Aqidah ialah
merasa bahwa pendapat dirinya lebih baik ketimbang keputusan Rasulullah Saw.
kelak di kemudian hari, orang-orang semacam dia akan ikut berperang bersama
dengan Ali Ra. pada saat perang Shiffin dan sesudah peristiwa tahkim, mereka
berpendapat bahwa semua yang terlibat dalam peristiwa tersebut layak dibunuh
karena telah kafir. Mereka kemudian berhasil membunuh Ali Ra. dan menciptakan
kelompok baru yang disebut sebagai Khawarij.
Kedua ialah perdebatan seputar aqidah yang terjadi pada saat peristiwa perang
Uhud. Diceritakan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran 154-156, pada saat itu
terdapat sekelompok orang munafik yang memperdebatkan soal qadar:
يَقُولُونَ
هَل لَّنَا مِنَ ٱلْأَمْرِ مِن شَىْءٍ
Artinya: Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur
tangan) dalam urusan ini?"
Dilanjutkan dengan perdebatan mereka:
يَقُولُونَ
لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَٰهُنَا
Artinya: “Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur
tangan) dalam urusan ini?’"
Serta perdebatan mereka:
لَّوْ
كَانُوا۟ عِندَنَا مَا مَاتُوا۟ وَمَا قُتِلُوا۟
Artinya: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati
dan tidak dibunuh."
Imam al-Syahrastani dalam Kitab al-Milal wa al-Nihal menyatakan bahwa
perdebatan yang diajukan oleh kaum munafik itu adalah cikal bakal kelompok
Qadariyah yang beranggapan bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang lepas
dari kuasa Allah Swt.
Sebelum secara resmi kelompok ini membentuk barisan teologis mereka di masa
akhir abad Sahabat, jauh sebelumnya Nabi telah mengidentifikasi kelompok ini.
Beliau bersabda:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رضِي الله عنْهُما عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : ( الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ ، إِنْ مَرِضُوا
فَلا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلا تَشْهَدُوهُمْ
Artinya: Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma dari Nabi sallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Al-Qadariyah adalah majusi umat ini, kalau mereka sakit jangan
dikunjungi. Kalau mereka meninggal dunia, jangan disaksikan (jenazahnya).
Di sisi lain, terdapat sekelompok kaum musyrik yang berkata tentang
keterpaksaan kehidupan manusia. Pernyataan mereka disebutkan dalam Al-Qur’an
surat al-Nah: 35:
لَوْ
شَآءَ ٱللَّهُ مَا عَبَدْنَا مِن دُونِهِۦ مِن شَىْءٍ نَّحْنُ وَلَآ
ءَابَآؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِن دُونِهِۦ مِن شَىْءٍ ۚ
Artinya: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah
sesuatu apapun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula
kami mengharamkan sesuatupun tanpa (izin)-Nya."
Juga dalam Al-Qur’an Surat Yasin: 47:
أَنُطْعِمُ
مَن لَّوْ يَشَآءُ ٱللَّهُ أَطْعَمَهُۥٓ
Artinya: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika
Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan.”
Oleh Imam al-Syahrastani, dua argumen kaum musyrik di atas dikategorikan
sebagai argumen Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki daya
upaya dan semuanya bergantung pada kehendak Allah. Pada masa kepemimpinan Muawiyah,
pemikiran kelompok aliran teologi ini kerap dimanfaatkan oleh penguasa sebagai
alat cuci tangan perbuatan mereka.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.
[]
Ustadz Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar